26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Semua Negatif

Sebenarnya sudah banyak juga yang menjalani tes
virus Corona di Indonesia.

Yang di Surabaya saja sudah 10 orang. ”Semuanya
negatif,” ujar Prof. Dr. Inge Lucida, direktur International Institute of
Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga Surabaya. 

Saya pun benar-benar ikut penasaran. Mengapa
tidak ada virus Corona di Indonesia. Padahal, semua negara Asia sudah terkena.
Sampai orang di luar negeri mengejek kita sebagai negara yang tidak mampu
mendeteksinya.

Kemarin pagi, saya ke ITD Unair itu. Saya tahu
Unair memiliki laboratorium penyakit tropis terbaik. Saya ditemui dua profesor
yang ahli virus. Yakni Prof. Dr. Ni Nyoman Tri Puspaningsih dan Prof. Dr. Inge
Lucida.

Prof. Nyoman adalah Wakil Rektor I Unair.
Sedang Prof. Inge adalah direktur laboratorium penyakit tropis tersebut.

Begitu virus Corona mewabah, Unair mengadakan
kontak intensif dengan Jepang. ITD memang didirikan berrsama dengan Jepang.

Setelah serangkaian pembicaraan Unair lantas
berinisiatif membeli tiga set Primer yang bisa dipakai memeriksa virus Corona.
Belinya ya di Jepang. 

”Jadi, teknik, dan sarana pemeriksaan Corona di
Unair sama dengan di Jepang,” ujar Prof. Inge.

Hasil pengetesan itu juga dites ulang di
peralatan milik Kementerian Kesehatan. Hasilnya sama: negatif. 

Yang dibeli itu bukan mesin, tapi Primer.
Sejenis cairan tapi sudah dalam keadaan kering –agar bisa dibawa ke negara
lain.

Mesin pemeriksanya sendiri Unair sudah lebih
dulu memilikinya. Juga bantuan dari Jepang. Primer itulah yang dimasukkan ke
mesin itu. Lantas materi yang akan diperiksa dimasukkan ke dalamnya. 

Dan memang lab Unair ini bekerjasama dengan
Kobe University. Sekarang pun ada tiga ahli dari Jepang yang ada di lab itu.

Waktu membeli senyawa itu Unair sampai tidak
sabar. Terlalu lama kalau harus dikirim lewat Fedex atau EMS. Prof. Inge
memutuskan untuk mengirim seorang staf di ITD berangkat ke Kobe. 

Begitu tiba di Osaka, staf tersebut langsung ke
Kobe University. Setelah mengambil senyawa tersebut ia langsung kembali ke
Surabaya.

”Nah itu orangnya yang ke Jepang,” ujar Prof.
Inge sambil menunjuk sang utusan yang lagi bertugas di ITD.

Baca Juga :  Pemko Bakal Bangun Sentra UKM dan Oleh-oleh

Prof. Inge sendiri mendapat gelar doktor di
Kobe University. Dia adalah ”penduduk asli” Unair. Ayahnyi seorang dokter
terkenal lulusan Unair. Ibunyi seorang apoteker dari kampus yang sama. Tiga
saudaranyi juga dokter dari Unair. Hanya dua yang bukan dokter –tapi juga
apoteker dan sarjana ekonomi Unair. Yang sarjana ekonomi itu kini memiliki
bisnis lab kesehatan yang juga sangat terkenal di Surabaya.

Sekeluarga Unair semua.

Sedang Prof. Nyoman juga dikenal sebagai
peneliti hebat bidang biokimia. Prof. Nyomanlah yang menemukan enzim untuk
makanan ternak. Yang dulu pernah saya undang ke Kementerian BUMN untuk
mempresentasikannya. Gelar S2-nyi dari ITB dan S3-nyi dari IPB. Prof. Nyoman
juga pernah terpilih sebagai dosen teladan nasional selama tiga tahun.

Saat mampir ke ruang kerjanyi saya pun melihat
hasil-hasil penelitian berbagai macam virus di laptopnyi. Prinsipnya virus itu
punya kaki-kaki untuk memijakkan diri. Pijakannya adalah sel di alat penafasan
manusia.

Setelah kaki-kaki virus memperoleh pijakan yang
pas, barulah sang virus mengeluarkan penyakitnya.

Kalau saja tempat berpijak kaki-kaki itu tidak
tepat sang virus tidak bisa berproduksi. Ibarat orang mau berak. Kalau kakinya
tidak tepat di pijakan pupnya tidak bisa keluar.

Karena itu struktur virus tersebut harus
benar-benar diketahui. Kini struktur itu sudah diketahui. Tanpa pijakan yang
tepat virus tidak bisa berkembang. Maka obat yang akan ditemukan adalah obat
yang akan bisa menipu virus. Yakni obat yang bisa membuat pijakan yang persis
diperlukan virus. Tapi sebenarnya itu pijakan palsu. Dengan demikian virus
tidak bisa mengeluarkan ”pup” nya.

Dari 10 orang yang pernah diperiksa di lab
Unair itu sebagian adalah pasien rumah sakit. Sebagian lagi orang yang datang
untuk memeriksakan diri. Semuanya dicurigai menderita virus Corona. Hasilnya:
bersih. 

Salah satu dari mereka adalah seorang dokter.
Sang dokter seperti terkena flu. Putrinya baru pulang dari luar negeri. Maka
muncul kekhawatiran tertular virus Corona.

Baca Juga :  Pulihkan Ekonomi, Pemko Dukung Pelatihan Pengolahan Kue Berbahan Ikan

Sang dokter pun memeriksakan diri ke lab Unair.
Ternyata negatif.

Sampai sekarang pun semua yang pernah diperiksa
itu baik-baik saja.

Senyawa yang dibeli dari Jepang itu sendiri
cukup untuk memeriksa 100 orang. Hasil pemeriksaannya pun bisa diketahui dengan
cepat: 5 jam kemudian. Itu karena tidak perlu antre.

”Siapa pun bisa memeriksakan diri ke sini,”
ujar Prof. Inge, yang sehari-harinya di Pusat Penelitian Penyakit Tropik di
kampus C Unair itu. ”Tentu harus membayar. Rp 1 juta,” ujarnyi.

Dua guru besar ini juga ikut penasaran: mengapa
orang Indonesia tidak terkena virus Corona. Keduanya masih terus mencari
jawabnya.

Tapi beliau juga tidak terlalu heran. Waktu
Arab Saudi dilanda wabah virus MERS, Indonesia juga aman. Padahal, begitu
banyak jemaah haji yang ke Saudi. 

”Ribuan jemaah haji yang diperiksa saat itu.
Tidak satu pun yang terkena virus MERS,” ujar Prof. Inge.

Demikian juga saat Tiongkok dilanda virus SARS.
Indonesia nihil.

Hanya waktu ada wabah flu burung korbannya
banyak. Saat itulah Unair berjaya: menemukan obat untuk mencegah flu burung.

”Sampai sekarang pun virus flu burung itu masih
ada. Kita sering melakukan pemeriksaan atas ayam di pasar-pasar. Virus flu
burungnya masih ada di ayam. Tapi tidak ada lagi orang yang terkena flu
burung,” ujar Prof. Nyoman. ”Kita sudah kebal. Kekebalan tubuh untuk flu burung
sudah muncul,” ujarnyi.

Prof. Nyoman ini lahir di Belitung. Ayah-ibunyi
asli Bali. Saat itu orang tua bertugas di BRI Tanjungpandan.

Karir sang ayah melejit di Jakarta. Semua orang
BRI tahu beliau: I Wayan Patra –pencetus ide kredit usaha tani tahun 1970-an.
Beliau meninggal muda karena sakit ginjal. Setelah itu istri dan anak-anak
pindah ke Bali.

Prof. Nyoman pun sekolah sampai SMA di Denpasar
–dan akhirnya kuliah di Unair.

Walhasil, belum ada jawaban ilmiah soal
penasarannya banyak orang itu.

Hanya humoris yang langsung bisa menjawab:
virus itu tidak bisa masuk Indonesia karena perizinan di sini sulit! (dahlan
iskan)

Sebenarnya sudah banyak juga yang menjalani tes
virus Corona di Indonesia.

Yang di Surabaya saja sudah 10 orang. ”Semuanya
negatif,” ujar Prof. Dr. Inge Lucida, direktur International Institute of
Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga Surabaya. 

Saya pun benar-benar ikut penasaran. Mengapa
tidak ada virus Corona di Indonesia. Padahal, semua negara Asia sudah terkena.
Sampai orang di luar negeri mengejek kita sebagai negara yang tidak mampu
mendeteksinya.

Kemarin pagi, saya ke ITD Unair itu. Saya tahu
Unair memiliki laboratorium penyakit tropis terbaik. Saya ditemui dua profesor
yang ahli virus. Yakni Prof. Dr. Ni Nyoman Tri Puspaningsih dan Prof. Dr. Inge
Lucida.

Prof. Nyoman adalah Wakil Rektor I Unair.
Sedang Prof. Inge adalah direktur laboratorium penyakit tropis tersebut.

Begitu virus Corona mewabah, Unair mengadakan
kontak intensif dengan Jepang. ITD memang didirikan berrsama dengan Jepang.

Setelah serangkaian pembicaraan Unair lantas
berinisiatif membeli tiga set Primer yang bisa dipakai memeriksa virus Corona.
Belinya ya di Jepang. 

”Jadi, teknik, dan sarana pemeriksaan Corona di
Unair sama dengan di Jepang,” ujar Prof. Inge.

Hasil pengetesan itu juga dites ulang di
peralatan milik Kementerian Kesehatan. Hasilnya sama: negatif. 

Yang dibeli itu bukan mesin, tapi Primer.
Sejenis cairan tapi sudah dalam keadaan kering –agar bisa dibawa ke negara
lain.

Mesin pemeriksanya sendiri Unair sudah lebih
dulu memilikinya. Juga bantuan dari Jepang. Primer itulah yang dimasukkan ke
mesin itu. Lantas materi yang akan diperiksa dimasukkan ke dalamnya. 

Dan memang lab Unair ini bekerjasama dengan
Kobe University. Sekarang pun ada tiga ahli dari Jepang yang ada di lab itu.

Waktu membeli senyawa itu Unair sampai tidak
sabar. Terlalu lama kalau harus dikirim lewat Fedex atau EMS. Prof. Inge
memutuskan untuk mengirim seorang staf di ITD berangkat ke Kobe. 

Begitu tiba di Osaka, staf tersebut langsung ke
Kobe University. Setelah mengambil senyawa tersebut ia langsung kembali ke
Surabaya.

”Nah itu orangnya yang ke Jepang,” ujar Prof.
Inge sambil menunjuk sang utusan yang lagi bertugas di ITD.

Baca Juga :  Pemko Bakal Bangun Sentra UKM dan Oleh-oleh

Prof. Inge sendiri mendapat gelar doktor di
Kobe University. Dia adalah ”penduduk asli” Unair. Ayahnyi seorang dokter
terkenal lulusan Unair. Ibunyi seorang apoteker dari kampus yang sama. Tiga
saudaranyi juga dokter dari Unair. Hanya dua yang bukan dokter –tapi juga
apoteker dan sarjana ekonomi Unair. Yang sarjana ekonomi itu kini memiliki
bisnis lab kesehatan yang juga sangat terkenal di Surabaya.

Sekeluarga Unair semua.

Sedang Prof. Nyoman juga dikenal sebagai
peneliti hebat bidang biokimia. Prof. Nyomanlah yang menemukan enzim untuk
makanan ternak. Yang dulu pernah saya undang ke Kementerian BUMN untuk
mempresentasikannya. Gelar S2-nyi dari ITB dan S3-nyi dari IPB. Prof. Nyoman
juga pernah terpilih sebagai dosen teladan nasional selama tiga tahun.

Saat mampir ke ruang kerjanyi saya pun melihat
hasil-hasil penelitian berbagai macam virus di laptopnyi. Prinsipnya virus itu
punya kaki-kaki untuk memijakkan diri. Pijakannya adalah sel di alat penafasan
manusia.

Setelah kaki-kaki virus memperoleh pijakan yang
pas, barulah sang virus mengeluarkan penyakitnya.

Kalau saja tempat berpijak kaki-kaki itu tidak
tepat sang virus tidak bisa berproduksi. Ibarat orang mau berak. Kalau kakinya
tidak tepat di pijakan pupnya tidak bisa keluar.

Karena itu struktur virus tersebut harus
benar-benar diketahui. Kini struktur itu sudah diketahui. Tanpa pijakan yang
tepat virus tidak bisa berkembang. Maka obat yang akan ditemukan adalah obat
yang akan bisa menipu virus. Yakni obat yang bisa membuat pijakan yang persis
diperlukan virus. Tapi sebenarnya itu pijakan palsu. Dengan demikian virus
tidak bisa mengeluarkan ”pup” nya.

Dari 10 orang yang pernah diperiksa di lab
Unair itu sebagian adalah pasien rumah sakit. Sebagian lagi orang yang datang
untuk memeriksakan diri. Semuanya dicurigai menderita virus Corona. Hasilnya:
bersih. 

Salah satu dari mereka adalah seorang dokter.
Sang dokter seperti terkena flu. Putrinya baru pulang dari luar negeri. Maka
muncul kekhawatiran tertular virus Corona.

Baca Juga :  Pulihkan Ekonomi, Pemko Dukung Pelatihan Pengolahan Kue Berbahan Ikan

Sang dokter pun memeriksakan diri ke lab Unair.
Ternyata negatif.

Sampai sekarang pun semua yang pernah diperiksa
itu baik-baik saja.

Senyawa yang dibeli dari Jepang itu sendiri
cukup untuk memeriksa 100 orang. Hasil pemeriksaannya pun bisa diketahui dengan
cepat: 5 jam kemudian. Itu karena tidak perlu antre.

”Siapa pun bisa memeriksakan diri ke sini,”
ujar Prof. Inge, yang sehari-harinya di Pusat Penelitian Penyakit Tropik di
kampus C Unair itu. ”Tentu harus membayar. Rp 1 juta,” ujarnyi.

Dua guru besar ini juga ikut penasaran: mengapa
orang Indonesia tidak terkena virus Corona. Keduanya masih terus mencari
jawabnya.

Tapi beliau juga tidak terlalu heran. Waktu
Arab Saudi dilanda wabah virus MERS, Indonesia juga aman. Padahal, begitu
banyak jemaah haji yang ke Saudi. 

”Ribuan jemaah haji yang diperiksa saat itu.
Tidak satu pun yang terkena virus MERS,” ujar Prof. Inge.

Demikian juga saat Tiongkok dilanda virus SARS.
Indonesia nihil.

Hanya waktu ada wabah flu burung korbannya
banyak. Saat itulah Unair berjaya: menemukan obat untuk mencegah flu burung.

”Sampai sekarang pun virus flu burung itu masih
ada. Kita sering melakukan pemeriksaan atas ayam di pasar-pasar. Virus flu
burungnya masih ada di ayam. Tapi tidak ada lagi orang yang terkena flu
burung,” ujar Prof. Nyoman. ”Kita sudah kebal. Kekebalan tubuh untuk flu burung
sudah muncul,” ujarnyi.

Prof. Nyoman ini lahir di Belitung. Ayah-ibunyi
asli Bali. Saat itu orang tua bertugas di BRI Tanjungpandan.

Karir sang ayah melejit di Jakarta. Semua orang
BRI tahu beliau: I Wayan Patra –pencetus ide kredit usaha tani tahun 1970-an.
Beliau meninggal muda karena sakit ginjal. Setelah itu istri dan anak-anak
pindah ke Bali.

Prof. Nyoman pun sekolah sampai SMA di Denpasar
–dan akhirnya kuliah di Unair.

Walhasil, belum ada jawaban ilmiah soal
penasarannya banyak orang itu.

Hanya humoris yang langsung bisa menjawab:
virus itu tidak bisa masuk Indonesia karena perizinan di sini sulit! (dahlan
iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru