25.2 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Guru Penulis: Penyambung Lidah Masyarakat Pedalaman

IBADAH kepada-Nya harus kita jadikan sebagai muara dari setiap
aktivitas kita. Termasuk didalamnya, aktivitas sebagai guru penulis. Sebelum
menekan tombol pada keyboard laptop, guru penulis harus memastikan yang ia
tulis adalah hal yang benar dan tidak melanggar aturan Tuhan.

 Kegiatan menulis juga tidak boleh mengganggu
tugas pokok kita sebagai seorang guru di sekolah. Ketika kegiatan menulis
mengganggu tugas pokok seorang guru, maka tulisan tersebut tidak akan
mendatangkan keberkahan. Baik keberkahan untuk guru yang menulis, maupun untuk
orang – orang disekitarnya. Karena cara yang ditempuh dalam proses membuat
tulisan kurang tepat. Walaupun tulisan tersebut menjadi tulisan terbaik tingkat
nasional sekalipun. Misalnya, kita sibuk menulis di ruang guru, padahal disaat
bersamaan kita ada tugas mengajar di ruang kelas.  Siswa sengaja kita tinggal ke ruang guru,
tanpa pengawasan, karena kita sibuk dengan laptop kita.

Paragrap diatas merupakan niat
dan komitmen awal saya sebelum memulai kegiatan tulis menulis. Saya sadar
betul, bahwa menjalani aktifitas ganda sebagai guru, sekaligus sebagai penulis
tidak mudah. Apalagi sudah berkeluarga. Ketika di sekolah kita disibukkan
dengan tugas – tugas seorang guru. Bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik
siswa. Mengajar dan mendidik adalah dua hal yang berbeda. Mengajar hanya transfer of knowledge. Sementara,
mendidik adalah ikhtiar merubah adab. Mendidik adalah sebuah tugas, tidak hanya
di dalam ruang kelas. Tetapi, sepanjang siswa masih berada di lingkungan
sekolah. Kurang lebih 7 sampai 9 jam dalam sehari.

Ketika di rumah, kita disibukkan
dengan tugas sebagai suami, sekaligus bapak bagi anak – anak kita. Bahkan, tak
jarang seorang guru juga dituntut memainkan peran dalam kehidupan
bermasyarakat. Mulai dari pengurus masjid, dan kegiatan kemasyarakatan lain.
Mengingat, guru tidak hanya agen perubahan siswa, tetapi juga agen perubahan
masyarakat.

Sejauh ini, ada dua pemikiran
yang saya tulis. Yang pertama bertema pendidikan. Yang kedua tentang tuntutan  dari penduduk masyarakat daerah pedalaman.

Seorang guru pasti menemukan
permasalahan dalam melaksanakan tugas 
dan kewajiban yang diamanahkan kepadanya. Permasalahan – permasalahan
tersebut seringkali hanya dicari solusinya dengan cara berdiskusi sesama guru. Setelah
itu, guru lupa menulis dan mendokumentsikan permasalahan dan solusi tersebut.
Sehingga, permasalahan dan solusi permasalahan dalam menjalankan amanah tugas
sebagai guru berhenti sebagai konsumsi pribadi. Padahal, banyak guru yang lain,
kemungkinan juga mengalami permasalahan yang sama.

Baca Juga :  Maksimalkan Layanan, Kini Disdukcapil Miliki Petugas Khusus

Bagi seorang guru penulis,
masalah dan solusi permasalahan tersebut akan diabadikan dalam bentuk tulisan.
Gunanya sebagai dokumentasi dan sarana berbagi untuk guru yang lain.
Manfaatnya-pun lebih luas. Inilah yang coba saya perankan.

Penulis adalah seorang guru yang
tinggal di Desa Jaya Makmur, Kecamatan Katingan Kuala, Kabupaten Katingan,  pedalaman Kalimantan Tengah. Penduduk
pedalaman Kalimantan Tengah memiliki banyak potensi ekonomi dan budaya. Namun,
potensi tersebut tidak dapat dikembangkan secara maksimal. Alasannya, karena
keterbatasan daya dukung dalam bentuk sarana prasarana yang memadai, terutama
sarana transportasi dan fasilitas komunikasi.

Masyarakat Desa Jaya Makmur membutuhkan
waktu, biaya, dan tenaga yang besar untuk melakukan mobilitas ke daerah lain.
Apalagi, di musim kemarau. Biaya perjalanan air bisa naik dua kali lipat.
Mengingat, wilayah ini sangat bergantung pada sungai tadah yang  hujan yang dibuat oleh pemerintah (hantipan) untuk
mobiltas ke daerah lain.

Kesulitan masyarakat tersebut perlu
diperjuangkan. Guru dianggap sebagai sosok intelek yang dibutuhkan
kontribusinya oleh masyarakat pedalaman. Gagasan dan saran seorang guru untuk
kemajuan daerah ibarat pelita dalam kegelapan. Tulisan merupakan salahsatu
sarana yang dapat dijadikan oleh seorang guru memperjuangkan kehidupan
masyarakat pedalaman.

Namun, sebuah tulisan saja tidak
cukup sebagai sarana perjuangan seorang guru. Tulisan tersebut membutuhkan
panggung tempat bersuara. Media cetak dan media online adalah panggung tempat
tulisan itu berbicara.

Media cetak dan media online juga
terbatas geraknya. Maka, dibutuhkan panggung – panggung selanjutnya sebagai
sarana untuk melompatkan gagasan membangun masyarakat pedalaman. Sehingga,
suaranya di dengar oleh pemegang kuasa kebijakan pembangunan. Panggung
selanjutnya adalah kompetisi tulis menulis.

Tentunya, kementerian yang
membidangi pendidikan dan organisasi kependidikan  non pemerintah adalah panggung yang tepat bagi
seorang guru untuk menyuarakan aspirasi masyarakat pedalaman. Karena keduanya
masih dalam satu rantai dengan profesi keguruan.

Baca Juga :  Pemkab Tekankan Karhutla Jadi Tanggung Jawab Bersama

Kemendikbud dan  PGRI telah memfasilitasi panggung itu. Pada
tahun 2018, menjadi nominator opini sahabat keluarga kemendikbud. Pada Tahun
2019, menjadi pemenang pertama lomba menulis opini PB PGRI. Terimakasih kami
ucapkan atas panggung yang sudah diberikan kepada kami. Panggung ini kami
anggap penting. Bukan hanya, untuk kami secara pribadi tetapi juga konsumen
pendidikan dan masyarakat di daerah kami.

Kami berharap Kemendikbud maupun
PB PGRI menyediakan panggung – panggung berikutnya dengan beragam aneka
variasi. Panggung – panggung tersebut dapat bermanfaat untuk menyuarakan aspirasi.
 Tidak hanya aspirasi guru, tetapi juga
aspirasi masyarakat. Mengingat, bagi penulis, guru adalah penyambung lidah
masyarakat pedalaman.

Kami hadir ke ibu kota bukan
untuk rekreasi demi kepentingan pribadi semata, tetapi juga untuk menyampaikan
aspirasi masyarakat. Penulis berpikir, bukan hanya anggota dewan saja yang
dapat menyampaikan aspirasi masyarakat. Guru juga dapat menyampaikan aspirasi
masyarakat. Aspirasi masyarakat dapat disalurkan guru lewat jalan – jalan
legal. Misalnya, seperti yang penulis lakukan. Yaitu membuat tulisan.
Selanjutnya, tulisan tersebut memenangkan sebuah perlombaan. Kemudian, kita
ekspose kemenangan itu sebagai sebuah hadiah untuk masyarakat, khususnya
pedalaman.  

“Seandainya, kemarin 30/11/2019
di Stadion Wibawa Mukti Bekasi, saya diberi kesempatan untuk mengucapkan salam
kepada Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, saya akan menyampaikan: Bapak
Menteri, Mari Berkunjung ke Sekolah dan Desa Kami. Sebuah sekolah dan desa yang
terletak di pedalaman Katingan Kalimantan Tengah.

Terakhir, kami ucapkan terimakasih
kepada PB. PGRI Jakarta dan  Selamat
Menjalani Kongres kepada PW PGRI Kalimantan Tengah pada 14 Desember 2019 di
Palangkaraya. Semoga, PGRI semakin Berjaya. Memfasilitasi guru untuk bersuara.
Menyuarakan profesi dan masyarakat di sekitarnya. (*)

(Penulis adalah anggota PGRI yang bertugas di SMPN 4 Katingan Kuala.
Tinggal di Desa Jaya Makmur Kecamatan Katingan Kuala Kabupaten Katingan. Sekaligus
penulis buku : Desa dan Peradaban, Beras Jamur, Nominator Penulis Opini
Kemdikbud 2018, Pemenang I Opini PB PGRI dan Nominator Penulis BNPT 2019)

IBADAH kepada-Nya harus kita jadikan sebagai muara dari setiap
aktivitas kita. Termasuk didalamnya, aktivitas sebagai guru penulis. Sebelum
menekan tombol pada keyboard laptop, guru penulis harus memastikan yang ia
tulis adalah hal yang benar dan tidak melanggar aturan Tuhan.

 Kegiatan menulis juga tidak boleh mengganggu
tugas pokok kita sebagai seorang guru di sekolah. Ketika kegiatan menulis
mengganggu tugas pokok seorang guru, maka tulisan tersebut tidak akan
mendatangkan keberkahan. Baik keberkahan untuk guru yang menulis, maupun untuk
orang – orang disekitarnya. Karena cara yang ditempuh dalam proses membuat
tulisan kurang tepat. Walaupun tulisan tersebut menjadi tulisan terbaik tingkat
nasional sekalipun. Misalnya, kita sibuk menulis di ruang guru, padahal disaat
bersamaan kita ada tugas mengajar di ruang kelas.  Siswa sengaja kita tinggal ke ruang guru,
tanpa pengawasan, karena kita sibuk dengan laptop kita.

Paragrap diatas merupakan niat
dan komitmen awal saya sebelum memulai kegiatan tulis menulis. Saya sadar
betul, bahwa menjalani aktifitas ganda sebagai guru, sekaligus sebagai penulis
tidak mudah. Apalagi sudah berkeluarga. Ketika di sekolah kita disibukkan
dengan tugas – tugas seorang guru. Bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik
siswa. Mengajar dan mendidik adalah dua hal yang berbeda. Mengajar hanya transfer of knowledge. Sementara,
mendidik adalah ikhtiar merubah adab. Mendidik adalah sebuah tugas, tidak hanya
di dalam ruang kelas. Tetapi, sepanjang siswa masih berada di lingkungan
sekolah. Kurang lebih 7 sampai 9 jam dalam sehari.

Ketika di rumah, kita disibukkan
dengan tugas sebagai suami, sekaligus bapak bagi anak – anak kita. Bahkan, tak
jarang seorang guru juga dituntut memainkan peran dalam kehidupan
bermasyarakat. Mulai dari pengurus masjid, dan kegiatan kemasyarakatan lain.
Mengingat, guru tidak hanya agen perubahan siswa, tetapi juga agen perubahan
masyarakat.

Sejauh ini, ada dua pemikiran
yang saya tulis. Yang pertama bertema pendidikan. Yang kedua tentang tuntutan  dari penduduk masyarakat daerah pedalaman.

Seorang guru pasti menemukan
permasalahan dalam melaksanakan tugas 
dan kewajiban yang diamanahkan kepadanya. Permasalahan – permasalahan
tersebut seringkali hanya dicari solusinya dengan cara berdiskusi sesama guru. Setelah
itu, guru lupa menulis dan mendokumentsikan permasalahan dan solusi tersebut.
Sehingga, permasalahan dan solusi permasalahan dalam menjalankan amanah tugas
sebagai guru berhenti sebagai konsumsi pribadi. Padahal, banyak guru yang lain,
kemungkinan juga mengalami permasalahan yang sama.

Baca Juga :  Maksimalkan Layanan, Kini Disdukcapil Miliki Petugas Khusus

Bagi seorang guru penulis,
masalah dan solusi permasalahan tersebut akan diabadikan dalam bentuk tulisan.
Gunanya sebagai dokumentasi dan sarana berbagi untuk guru yang lain.
Manfaatnya-pun lebih luas. Inilah yang coba saya perankan.

Penulis adalah seorang guru yang
tinggal di Desa Jaya Makmur, Kecamatan Katingan Kuala, Kabupaten Katingan,  pedalaman Kalimantan Tengah. Penduduk
pedalaman Kalimantan Tengah memiliki banyak potensi ekonomi dan budaya. Namun,
potensi tersebut tidak dapat dikembangkan secara maksimal. Alasannya, karena
keterbatasan daya dukung dalam bentuk sarana prasarana yang memadai, terutama
sarana transportasi dan fasilitas komunikasi.

Masyarakat Desa Jaya Makmur membutuhkan
waktu, biaya, dan tenaga yang besar untuk melakukan mobilitas ke daerah lain.
Apalagi, di musim kemarau. Biaya perjalanan air bisa naik dua kali lipat.
Mengingat, wilayah ini sangat bergantung pada sungai tadah yang  hujan yang dibuat oleh pemerintah (hantipan) untuk
mobiltas ke daerah lain.

Kesulitan masyarakat tersebut perlu
diperjuangkan. Guru dianggap sebagai sosok intelek yang dibutuhkan
kontribusinya oleh masyarakat pedalaman. Gagasan dan saran seorang guru untuk
kemajuan daerah ibarat pelita dalam kegelapan. Tulisan merupakan salahsatu
sarana yang dapat dijadikan oleh seorang guru memperjuangkan kehidupan
masyarakat pedalaman.

Namun, sebuah tulisan saja tidak
cukup sebagai sarana perjuangan seorang guru. Tulisan tersebut membutuhkan
panggung tempat bersuara. Media cetak dan media online adalah panggung tempat
tulisan itu berbicara.

Media cetak dan media online juga
terbatas geraknya. Maka, dibutuhkan panggung – panggung selanjutnya sebagai
sarana untuk melompatkan gagasan membangun masyarakat pedalaman. Sehingga,
suaranya di dengar oleh pemegang kuasa kebijakan pembangunan. Panggung
selanjutnya adalah kompetisi tulis menulis.

Tentunya, kementerian yang
membidangi pendidikan dan organisasi kependidikan  non pemerintah adalah panggung yang tepat bagi
seorang guru untuk menyuarakan aspirasi masyarakat pedalaman. Karena keduanya
masih dalam satu rantai dengan profesi keguruan.

Baca Juga :  Pemkab Tekankan Karhutla Jadi Tanggung Jawab Bersama

Kemendikbud dan  PGRI telah memfasilitasi panggung itu. Pada
tahun 2018, menjadi nominator opini sahabat keluarga kemendikbud. Pada Tahun
2019, menjadi pemenang pertama lomba menulis opini PB PGRI. Terimakasih kami
ucapkan atas panggung yang sudah diberikan kepada kami. Panggung ini kami
anggap penting. Bukan hanya, untuk kami secara pribadi tetapi juga konsumen
pendidikan dan masyarakat di daerah kami.

Kami berharap Kemendikbud maupun
PB PGRI menyediakan panggung – panggung berikutnya dengan beragam aneka
variasi. Panggung – panggung tersebut dapat bermanfaat untuk menyuarakan aspirasi.
 Tidak hanya aspirasi guru, tetapi juga
aspirasi masyarakat. Mengingat, bagi penulis, guru adalah penyambung lidah
masyarakat pedalaman.

Kami hadir ke ibu kota bukan
untuk rekreasi demi kepentingan pribadi semata, tetapi juga untuk menyampaikan
aspirasi masyarakat. Penulis berpikir, bukan hanya anggota dewan saja yang
dapat menyampaikan aspirasi masyarakat. Guru juga dapat menyampaikan aspirasi
masyarakat. Aspirasi masyarakat dapat disalurkan guru lewat jalan – jalan
legal. Misalnya, seperti yang penulis lakukan. Yaitu membuat tulisan.
Selanjutnya, tulisan tersebut memenangkan sebuah perlombaan. Kemudian, kita
ekspose kemenangan itu sebagai sebuah hadiah untuk masyarakat, khususnya
pedalaman.  

“Seandainya, kemarin 30/11/2019
di Stadion Wibawa Mukti Bekasi, saya diberi kesempatan untuk mengucapkan salam
kepada Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, saya akan menyampaikan: Bapak
Menteri, Mari Berkunjung ke Sekolah dan Desa Kami. Sebuah sekolah dan desa yang
terletak di pedalaman Katingan Kalimantan Tengah.

Terakhir, kami ucapkan terimakasih
kepada PB. PGRI Jakarta dan  Selamat
Menjalani Kongres kepada PW PGRI Kalimantan Tengah pada 14 Desember 2019 di
Palangkaraya. Semoga, PGRI semakin Berjaya. Memfasilitasi guru untuk bersuara.
Menyuarakan profesi dan masyarakat di sekitarnya. (*)

(Penulis adalah anggota PGRI yang bertugas di SMPN 4 Katingan Kuala.
Tinggal di Desa Jaya Makmur Kecamatan Katingan Kuala Kabupaten Katingan. Sekaligus
penulis buku : Desa dan Peradaban, Beras Jamur, Nominator Penulis Opini
Kemdikbud 2018, Pemenang I Opini PB PGRI dan Nominator Penulis BNPT 2019)

Terpopuler

Artikel Terbaru