IMPLEMENTASI
otonomi
daerah dewasa ini, bila diperhatikan lebih lanjut, belum konsisten sepenuhnya.
Penulis memiliki pandangan bahwa UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
ini, memiliki sudut pandang politik yang hendak mengembalikan penarikan
kewenangan dari daerah kembali ke pusat. Melalui peran dualisme yang dimiliki
oleh Kepala daerah (Gubernur).
Tentunya, hal ini dilatarbelakangi atas berbagai landasan
pemahaman. Pertama, walaupun kini Kepala Daerah (Gubernur) memiliki kekuasan
lebih, dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah otonom kabupaten/kota
dibawahnya.
Dalam beberapa kasus, merujuk pada UU terdahulu (UU No.
32 Tahun 2004) titik berat otonomi diletakkan pada pemerintah daerah
kabupaten/kota, adanya UU 23 Tahun 2014 titik beratnya dikembalikan kepada
Kepala Daerah untuk menghindari adanya abuse power yang berlebihan di
kabupaten/kota.
Kendati demikian, pengaruh dualisme kedudukan gubernur
dalam UU ini sebagai wakil Pemerintah Pusat, dan kepala daerah acapkali pada
tataran praktik menimbulkan konflik kepentingan, termasuk kepentingan yang
datang dari penguasa (pusat) sehingga tidak sinkron dengan kepentingan daerah
secara khusus. Perlu dicermati, pada satu sisi gubernur wajib melaksanakan
Perintah Pusat, sisi lainnnya gubernur wajib mengerti keberadaannya sebagai
kepala daerah.
Adapun bila kita seksama menelaah UU No 23 Tahun 2014 dari
Pasal 1 angka 3 dan 9 dapat ditarik pemahaman bahwa gubernur sebatas wakil dari
Pemerintah Pusat, bahwa gubernur adalah penyelenggara otonomi di tingkat
provinsi. Lebih jelasnya, kedudukan provinsi sebagai daerah otonom
(desentralisasi) dan perpanjangan tangan pusat (dekonsentrasi) dipegang seorang
pejabat yaitu gubernur.
Di sisi lain, Merujuk pada Pasal 65 ayat (1) dan (2)
menentukan tugas dan kewenangan kepala daerah penulis dapat menyimpulkan
gubernur adalah memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Urusan pemerintahan yang
dimaksud adalah urusan pemerintahan konkuren sebagaimana tersebut dalam pasal
tersebut.
Artinya, ada dua latar belakang yang berbeda yang harus
diperhatikan gubernur dalam melaksanakan kewenangannya. Dualisme inilah yang
dapat menjadi terjadinya tumpeng tindih peran bilamana tidak terkoordinasi
dengan baik antara satu dan lainnya. Akibatnya, penyelenggaraan otonomi daerah
juga tidak konsisten.
Jelas dalam praktiknya, kewenangan gubernur seringkali terlebih
dahulu harus mengikuti
ketentuan-ketentuan berupa standar, norma, prosedur dan kriteria
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Setiap kebijakan yang diambil oleh gubernur
dapat dibatalkan oleh presiden jika presiden beranggapan kebijakan itu
bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh presiden sebelumnya.
Lebih lanjut dalam Pasal 69 UU No 23 Tahun 2014 ini,
disebutkan bahwa selain memiliki
kewajiban sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 67, pemerintah daerah juga wajib untuk menyampaikan
laporan penyelenggaraan pemerintah daerah yang menjadi evaluasi atas kinerja
daerah kepada pemerintah pusat. Lantas timbul persoalan dimana letak
independensi, kemandirian dan kemerdekaan daerah dalam menyelenggarakan otonomi
daerahnyas sendiri?
Oleh sebab itu, keberadaan UU No 23 Tahun 2014, jika
diperhatikan menitikberatkan pada kedaulatan negara bukan kedaulatan rakyat.
Kepentingan negara didahulukan meskipun harus mengorbankan kepentingan rakyat.
Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh gubernur harus sesuai dengan kehendak pemerintah pusat.
Praktik ini, mendistorsi keberadaan gubernur yang
sejatinya dipilih oleh rakyat dalam pilkada, untuk menyalurkan aspirasi
daripada rakyat itu sendiri. Dalam konteks negara yang menjunjung tinggi
demokrasi atau paham kerakyatan, sejatinya pemerintah daerah diberikan kebebasan yang luas dalam
menjalankan dan mengurus-urusan pemerintahannya bukan sebaliknya terkungkung
akibat pembatasan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Akibatnya, pelaksanaan
otonomi daerah yang ada belum konsisten selaras dengan hakikat tujuan otonomi
itu sendiri.
Penulis adalah warga Palangka Raya Mahasiswa Magister
Hukum FH UII Yogyakarta