27.3 C
Jakarta
Wednesday, April 24, 2024

Menjadi Ayah

Hati-hatilah
menjadi ayah. Anak Anda yang masih kecil pasti memperhatikan Anda. Diam-diam.
Lalu merekam semua itu dalam kesadaran kecilnya. 

Lantas
tumbuh menjadi obsesi: ingin seperti ayah! 

Apa pun
pekerjaan sang Ayah, si anak punya keinginan mengikuti sang ayah. Termasuk
Rizal Abdi. Yang ayahnya bekerja di bengkel mobil. Pekerja bengkel.

”Cita-cita
tertinggi saya harus bisa seperti ayah: bekerja di bengkel,” ujar Rizal.

Apalagi
ketika ayahnya naik pangkat menjadi kepala bengkel. Rasanya jabatan ayahnya itulah
yang tertinggi di dunia. Di dalam hatinya terpatri seperti tidak ada jabatan
yang lebih hebat dari kepala bengkel.

Maka
Rizal pun sekolah di STM-Pembangunan. Yang saat ia kelas 3 berubah menjadi SMK.

Cita-citanya
menjadi orang bengkel seperti di depan mata ketika Rizal diterima magang di
bengkel Toyota di Surabaya. Yakni saat ia di kelas 2 STM jurusan mesin. 

Keseriusan
bapaknya bekerja di bengkel membuat Rizal bekerja keras seperti bukan sedang
magang.

Begitu
pula saat magang lagi untuk yang kedua, di kelas 3.

Rizal pun
menjadi anak magang favorit di bengkel itu. Maka begitu lulus SMK Rizal
langsung diterima untuk bekerja di situ. 

Tapi
Rizal harus kuliah dulu. Semula ingin ia rangkap. Siang bekerja di bengkel
Toyota. Malamnya kuliah di Fakultas Teknik ITATS Surabaya.

Tapi,
pulang kuliah malam itu Rizal dirampok di jalan sepi. Dekat jembatan Nginden.
Sepeda motornya dipepet dua sepeda motor. Rizal dibacok dari kanan. Untung kena
spion. Dan sedikit tangan kanannya. Berdarah. Sepeda motor yang membacok jatuh.
Rizal balik arah. Dikejar. Tapi segera sampai di pompa bensin. Rizal masuk ke
situ dan menjatuhkan diri: lemas.

Sejak itu
Rizal kuliah siang. Berhentilah dari bengkel Toyota. 

Begitu
tamat ITATS Rizal diterima di bengkel Honda.

Cita-cita
Rizal pun tercapai: kerja di bengkel. Itulah cita-cita tahap I. Ternyata ia
mampu menjadi seperti ayahnya.

Yang ia
belum mampu adalah menjadi kepala bengkel. Itulah cita-cita Rizal berikutnya.

Mungkin
perlu waktu panjang. Ia melihat terlalu banyak orang yang lebih senior di
bengkel itu.

Tapi di
saat Rizal berumur 29 tahun kesempatan itu datang. Jauh lebih cepat dari yang
ia bayangkan.

Saat itu
ada pengusaha yang membangun bengkel Honda di Mojokerto –50 Km di barat
Surabaya. 

Mula-mula
teman Rizal yang ditugaskan menjadi kepala bengkel di sana. Hanya tahan dua
minggu. Si pengusaha merasa tidak cocok. Ia minta agar Honda mengirim tenaga
yang lain.

Baca Juga :  KPU Kota Optimistis Raih Partisipasi Pemilih Sesuai Target

Pengganti
itu pun hanya tahan dua bulan. Si pengusaha minta diganti. Yang lebih bagus
lagi.

Dikirimlah
Rizal.

Waktu itu
Rizal sudah punya piagam ”juara nasional” teknisi Honda. Ia memang diikutkan
kejuaraan nasional setelah menjuarai tingkat Provinsi Jatim.

Yang
dilombakan mulai dari keramahan menyambut mobil konsumen sampai kecepatan
menyelesaikan masalah. 

Misalnya,
ia harus tahu siapa nama pemilik atau yang membawa mobil ke bengkel itu. Untuk
itu ia harus memperkenalkan diri dulu kepada tamunya.

Dengan
sikap yang ramah tapi meyakinkan. Lalu bertanya siapa nama sang tamu. Juga
dengan nada dan gaya bertanya yang sopan, menghargai dan percaya diri. 

Sejak
mengetahui nama sang tamu, petugas bengkel harus selalu menyebut nama tamunya
itu di setiap pertanyaannya. Misalnya: Bu Rina, ada keluhan apa?

Menurut
doktrin Honda, setidaknya petugas harus menyebut nama tamunya tujuh kali –dari
saat datang sampai mobil siap ditangani.

”Waktu
lomba, saya bisa sampai menyebut nama tamu sembilan kali,” ujar Rizal.

Pun saat
menyelesaikan masalah mobil sang tamu. Rizal yang paling cepat waktunya dan
benar prosesnya.

Begitu
ditugaskan menjadi kepala bengkel di Mojokerto itu Rizal pun tahu: ini bukan
lagi hanya masalah kepintaran teknis. Ini sudah menyangkut kemampuan manajemen
dan leadership.

Tapi yang
lebih penting lagi: ini menyangkut mimpi untuk bisa mendapat jabatan kepala
bengkel seperti ayahnya. 

Ia tahu
mengapa pemilik bengkel di Mojokerto itu tidak puas dengan dua temannya
terdahulu: bengkel baru dan besar itu sering kosong. Setiap bulan hanya 14
mobil yang diservis di situ. 

Rizal
tidak mempersoalkan bahwa ia harus kehilangan status sebagai karyawan bengkel
Honda. Ia harus pindah menjadi karyawan pengusaha Mojokerto itu.

Rizal
tidak peduli. Toh ini penugasan dari Honda.

Pun
ketika ternyata gajinya di Mojokerto lebih rendah dari apa yang ia terima di
bengkel Honda Surabaya.

Rizal
tahu: kalau bengkel Mojokerto itu nanti maju penghasilannya pun akan ikut naik.
Begitulah sistem pengganjian di bengkel. Selalu dikaitkan dengan prestasi dan
hasil kerja. 

Begitu
pindah ke Mojokerto Rizal pun melapor ke ayahnya: sudah berhasil menjadi kepala
bengkel. Di usianya yang 29 tahun. Jauh lebih cepat dari yang dicapai sang
ayah. Yang baru bisa menjadi kepala bengkel di umur 46 tahun. Itu pun bengkel
kecil.

Baca Juga :  Pramuka Mencetak SDM Profesional dan Proporsional

”Sepertinya
ayah saya lebih bangga dari saya sendiri,” ujar Rizal sambil senyum.

Tentu
Rizal juga memberitahu sang ibu –yang menyumbangkan 50 persen bentuk wajahnya:
antara wajah Jawa dan Tionghoa. Sang ibu memang asli Tionghoa yang lahir di
Bali. ”Tapi saya tidak bisa bahasa Mandarin seperti Ibu,” ujar Rizal.

Dulunya
sang ibu adalah kasir di depot kecil dekat sebuah bengkel. Ayahnya sering makan
di depot itu. Lalu pacaran –dan kawin. 

”Ayah-ibu
saya sangat bangga. Saya juga bahagia melihat mereka,” ujar Rizal. 

Pengusaha
Mojokerto itu pun puas. Dari hanya 14 mobil langsung menjadi 200 mobil/bulan.

Pengusaha
itu pun membuka bengkel baru di banyak kota. Semuanya sukses.

”Bulan ke
delapan, gaji saya sudah kembali sama besar dengan waktu di Surabaya,” ujar
Rizal. ”Bulan-bulan berikutnya menjadi lebih besar dan jauh lebih besar,”
tambahnya. Termasuk sudah mendapat mobil dinas. 

Tiga
tahun di Mojokerto Rizal bisa membuat bengkel itu menangani 900 mobil/bulan.
Pemilik Honda di kota-kota sekitar Mojokerto pun tidak perlu lagi ke Surabaya.
Rizal mencegat mereka di Mojokerto: lewat kepuasan konsumen. 

Kini
Rizal sudah di Jakarta. Ia menjadi general manager sebuah
grup bengkel besar. Pemiliknya orang Palembang. Bengkelnya 39 buah di seluruh
Indonesia. Termasuk bengkel terbesar di Indonesia yang ada di Palembang.

Itulah
gabungan bengkel segala merk mobil. Ada yang bengkel khusus Honda, khusus
Toyota, sampai ke yang khusus Wuling. 

Bisa
dimaklumi kalau Rizal sangat dicegah agar tidak pindah dari grup Mojokerto.
”Satu tahun kemudian saya baru dilepas,” ujar Rizal.

Ayah
Rizal sudah pensiun. Rizal tahu jiwa-raga bapaknya ada di bengkel mobil. Maka
ia bangun bengkel kecil di rumahnya. Yang tidak sampai 300 meter dari rumah
ayahnya. Di Trosobo, sedikit di luar kota Surabaya.

Tiap pagi
sang ayah menekuni hobi di rumah anaknya. Apalagi Rizal sudah memberinya satu
cucu.

Saya
tidak habis pikir: apa jadinya kalau waktu kecil Rizal hanya melihat bapaknya
menganggur duduk-duduk melamun di emperan rumah sambil merokok. 

Atau
Rizal kecil hanya melihat bapaknya tidur melulu sepanjang hari! (dahlan iskan)

 

Hati-hatilah
menjadi ayah. Anak Anda yang masih kecil pasti memperhatikan Anda. Diam-diam.
Lalu merekam semua itu dalam kesadaran kecilnya. 

Lantas
tumbuh menjadi obsesi: ingin seperti ayah! 

Apa pun
pekerjaan sang Ayah, si anak punya keinginan mengikuti sang ayah. Termasuk
Rizal Abdi. Yang ayahnya bekerja di bengkel mobil. Pekerja bengkel.

”Cita-cita
tertinggi saya harus bisa seperti ayah: bekerja di bengkel,” ujar Rizal.

Apalagi
ketika ayahnya naik pangkat menjadi kepala bengkel. Rasanya jabatan ayahnya itulah
yang tertinggi di dunia. Di dalam hatinya terpatri seperti tidak ada jabatan
yang lebih hebat dari kepala bengkel.

Maka
Rizal pun sekolah di STM-Pembangunan. Yang saat ia kelas 3 berubah menjadi SMK.

Cita-citanya
menjadi orang bengkel seperti di depan mata ketika Rizal diterima magang di
bengkel Toyota di Surabaya. Yakni saat ia di kelas 2 STM jurusan mesin. 

Keseriusan
bapaknya bekerja di bengkel membuat Rizal bekerja keras seperti bukan sedang
magang.

Begitu
pula saat magang lagi untuk yang kedua, di kelas 3.

Rizal pun
menjadi anak magang favorit di bengkel itu. Maka begitu lulus SMK Rizal
langsung diterima untuk bekerja di situ. 

Tapi
Rizal harus kuliah dulu. Semula ingin ia rangkap. Siang bekerja di bengkel
Toyota. Malamnya kuliah di Fakultas Teknik ITATS Surabaya.

Tapi,
pulang kuliah malam itu Rizal dirampok di jalan sepi. Dekat jembatan Nginden.
Sepeda motornya dipepet dua sepeda motor. Rizal dibacok dari kanan. Untung kena
spion. Dan sedikit tangan kanannya. Berdarah. Sepeda motor yang membacok jatuh.
Rizal balik arah. Dikejar. Tapi segera sampai di pompa bensin. Rizal masuk ke
situ dan menjatuhkan diri: lemas.

Sejak itu
Rizal kuliah siang. Berhentilah dari bengkel Toyota. 

Begitu
tamat ITATS Rizal diterima di bengkel Honda.

Cita-cita
Rizal pun tercapai: kerja di bengkel. Itulah cita-cita tahap I. Ternyata ia
mampu menjadi seperti ayahnya.

Yang ia
belum mampu adalah menjadi kepala bengkel. Itulah cita-cita Rizal berikutnya.

Mungkin
perlu waktu panjang. Ia melihat terlalu banyak orang yang lebih senior di
bengkel itu.

Tapi di
saat Rizal berumur 29 tahun kesempatan itu datang. Jauh lebih cepat dari yang
ia bayangkan.

Saat itu
ada pengusaha yang membangun bengkel Honda di Mojokerto –50 Km di barat
Surabaya. 

Mula-mula
teman Rizal yang ditugaskan menjadi kepala bengkel di sana. Hanya tahan dua
minggu. Si pengusaha merasa tidak cocok. Ia minta agar Honda mengirim tenaga
yang lain.

Baca Juga :  KPU Kota Optimistis Raih Partisipasi Pemilih Sesuai Target

Pengganti
itu pun hanya tahan dua bulan. Si pengusaha minta diganti. Yang lebih bagus
lagi.

Dikirimlah
Rizal.

Waktu itu
Rizal sudah punya piagam ”juara nasional” teknisi Honda. Ia memang diikutkan
kejuaraan nasional setelah menjuarai tingkat Provinsi Jatim.

Yang
dilombakan mulai dari keramahan menyambut mobil konsumen sampai kecepatan
menyelesaikan masalah. 

Misalnya,
ia harus tahu siapa nama pemilik atau yang membawa mobil ke bengkel itu. Untuk
itu ia harus memperkenalkan diri dulu kepada tamunya.

Dengan
sikap yang ramah tapi meyakinkan. Lalu bertanya siapa nama sang tamu. Juga
dengan nada dan gaya bertanya yang sopan, menghargai dan percaya diri. 

Sejak
mengetahui nama sang tamu, petugas bengkel harus selalu menyebut nama tamunya
itu di setiap pertanyaannya. Misalnya: Bu Rina, ada keluhan apa?

Menurut
doktrin Honda, setidaknya petugas harus menyebut nama tamunya tujuh kali –dari
saat datang sampai mobil siap ditangani.

”Waktu
lomba, saya bisa sampai menyebut nama tamu sembilan kali,” ujar Rizal.

Pun saat
menyelesaikan masalah mobil sang tamu. Rizal yang paling cepat waktunya dan
benar prosesnya.

Begitu
ditugaskan menjadi kepala bengkel di Mojokerto itu Rizal pun tahu: ini bukan
lagi hanya masalah kepintaran teknis. Ini sudah menyangkut kemampuan manajemen
dan leadership.

Tapi yang
lebih penting lagi: ini menyangkut mimpi untuk bisa mendapat jabatan kepala
bengkel seperti ayahnya. 

Ia tahu
mengapa pemilik bengkel di Mojokerto itu tidak puas dengan dua temannya
terdahulu: bengkel baru dan besar itu sering kosong. Setiap bulan hanya 14
mobil yang diservis di situ. 

Rizal
tidak mempersoalkan bahwa ia harus kehilangan status sebagai karyawan bengkel
Honda. Ia harus pindah menjadi karyawan pengusaha Mojokerto itu.

Rizal
tidak peduli. Toh ini penugasan dari Honda.

Pun
ketika ternyata gajinya di Mojokerto lebih rendah dari apa yang ia terima di
bengkel Honda Surabaya.

Rizal
tahu: kalau bengkel Mojokerto itu nanti maju penghasilannya pun akan ikut naik.
Begitulah sistem pengganjian di bengkel. Selalu dikaitkan dengan prestasi dan
hasil kerja. 

Begitu
pindah ke Mojokerto Rizal pun melapor ke ayahnya: sudah berhasil menjadi kepala
bengkel. Di usianya yang 29 tahun. Jauh lebih cepat dari yang dicapai sang
ayah. Yang baru bisa menjadi kepala bengkel di umur 46 tahun. Itu pun bengkel
kecil.

Baca Juga :  Pramuka Mencetak SDM Profesional dan Proporsional

”Sepertinya
ayah saya lebih bangga dari saya sendiri,” ujar Rizal sambil senyum.

Tentu
Rizal juga memberitahu sang ibu –yang menyumbangkan 50 persen bentuk wajahnya:
antara wajah Jawa dan Tionghoa. Sang ibu memang asli Tionghoa yang lahir di
Bali. ”Tapi saya tidak bisa bahasa Mandarin seperti Ibu,” ujar Rizal.

Dulunya
sang ibu adalah kasir di depot kecil dekat sebuah bengkel. Ayahnya sering makan
di depot itu. Lalu pacaran –dan kawin. 

”Ayah-ibu
saya sangat bangga. Saya juga bahagia melihat mereka,” ujar Rizal. 

Pengusaha
Mojokerto itu pun puas. Dari hanya 14 mobil langsung menjadi 200 mobil/bulan.

Pengusaha
itu pun membuka bengkel baru di banyak kota. Semuanya sukses.

”Bulan ke
delapan, gaji saya sudah kembali sama besar dengan waktu di Surabaya,” ujar
Rizal. ”Bulan-bulan berikutnya menjadi lebih besar dan jauh lebih besar,”
tambahnya. Termasuk sudah mendapat mobil dinas. 

Tiga
tahun di Mojokerto Rizal bisa membuat bengkel itu menangani 900 mobil/bulan.
Pemilik Honda di kota-kota sekitar Mojokerto pun tidak perlu lagi ke Surabaya.
Rizal mencegat mereka di Mojokerto: lewat kepuasan konsumen. 

Kini
Rizal sudah di Jakarta. Ia menjadi general manager sebuah
grup bengkel besar. Pemiliknya orang Palembang. Bengkelnya 39 buah di seluruh
Indonesia. Termasuk bengkel terbesar di Indonesia yang ada di Palembang.

Itulah
gabungan bengkel segala merk mobil. Ada yang bengkel khusus Honda, khusus
Toyota, sampai ke yang khusus Wuling. 

Bisa
dimaklumi kalau Rizal sangat dicegah agar tidak pindah dari grup Mojokerto.
”Satu tahun kemudian saya baru dilepas,” ujar Rizal.

Ayah
Rizal sudah pensiun. Rizal tahu jiwa-raga bapaknya ada di bengkel mobil. Maka
ia bangun bengkel kecil di rumahnya. Yang tidak sampai 300 meter dari rumah
ayahnya. Di Trosobo, sedikit di luar kota Surabaya.

Tiap pagi
sang ayah menekuni hobi di rumah anaknya. Apalagi Rizal sudah memberinya satu
cucu.

Saya
tidak habis pikir: apa jadinya kalau waktu kecil Rizal hanya melihat bapaknya
menganggur duduk-duduk melamun di emperan rumah sambil merokok. 

Atau
Rizal kecil hanya melihat bapaknya tidur melulu sepanjang hari! (dahlan iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru