26.6 C
Jakarta
Thursday, April 25, 2024

Azan Baru

Saya menghubungi teman di Oman.
Saya minta tolong padanya untuk mengadakan kontak ke Kuwait. Soal azan yang
bunyinya berubah itu. Yang beredar luas di media sosial: apakah itu bukan hoax

”Itu benar. Bukan hoax.
Saya sudah konfirmasi ke Kuwait,” ujarnya.

Video itu diambil pada tanggal 13
Maret lalu. Hari Jumat. Di ibu kota Kuwait, Kuwait City.

Bunyi azan itu (panggilan salat
dari menara masjid dengan menggunakan pengeras suara) memang terasa aneh.
Khususnya ketika tiba di kalimat ”marilah datang untuk salat” (hayya
alash-shalah
). Hari itu bunyi kalimat tersebut menjadi ”salatlah,
di rumah masing-masing” (shollu fi buyutikum).

Seumur hidup baru sekali ini saya
mendengar azan seperti itu.

Saya lantas membayangkan: kalau
misalnya itu dilakukan di Indonesia alangkah ributnya. Bisa-bisa dinilai anti
Islam atau menghancurkan Islam.

Jangankan sampai ke soal azan.
Anjuran saya ke grup senam di lingkungan saya sendiri saja sudah dipertanyakan.
Padahal itu hanya anjuran agar untuk sementara jangan salaman. Jangan pula
cipika-cipiki.

”Salaman itu kan sudah identik
dengan budaya Islam,” katanya. ”Apakah nanti tidak berakibat merenggangkan
silaturahmi antarorang Islam,” tanya anggota senam yang rajin itu –dengan
latar belakang pendidikan S-2.

Tentu saya membenarkan salaman
itu ciri khas orang Islam –di Indonesia. Untung ada seorang ustaz terkenal di
grup senam saya itu. Maka saya minta tolong beliau saja yang menjawab: adakah
ayat Quran atau Hadits yang mewajibkan salaman.

Jangan-jangan dulunya, orang
zaman dulu, sulit mengucapkan salam (“assalamu alaikum...”).
Lalu ucapan itu dinyatakan dengan dalam bentuk bersalaman (berjabat tangan).

Saya punya teman Tionghoa. Ia
ingin sekali bisa mengucapkan salam itu di depan umum. Saya diminta untuk
melatihnya. Saya merasakan betapa sulit –dan lama– latihan untuk bisa
mengucapkan salam itu.

Baca Juga :  Kalteng Siap Sambut Event Wonderful Sail to Indonesia

Seperti juga orang dulu yang
tidak bisa mengucapkan doa panjang. Apalagi doanya harus dalam bahasa
asing/Arab. Misalnya doa agar diberi rezeki yang banyak (luwih-luwih). Maka doa itu
diwujudkan saja dalam sajian makanan. Yang di dalamnya harus ada lauk berupa
sayur dari kluwih.

Saya tidak perlu menjelaskan asal
usul salaman. Pasti komentar pembaca DI’s Way di bawah nanti akan lebih lengkap
dan lebih benar. Saya sering kagum membaca komentar di DI’s Way. Bagus-bagus.
Sering juga membuat saya terbahak. Hanya sesekali bikin mata saya mlerok
–ingat lagu ‘Ojo Dipleroki’.

Bagi saya tidak salaman itu bukan
baru. Selesai operasi ganti hati dulu saya juga menghindari salaman. Selama dua
tahun. Tentu juga tidak melakukan banyak hal lain yang bisa membuat virus dan
bakteri mendekat ke saya.

Waktu itu, 13 tahun lalu,
imunitas badan saya diturunkan secara drastis. Agar hati baru yang menggantikan
hati saya yang asli tidak ditolak oleh sistem di tubuh saya. 

Covid-19 akhirnya memang lebih
serius dari yang diperkirakan banyak ahli. Sedikit yang membayangkan sampai
menjadi pandemik. Semula dikira akan sebatas epidemik. 

Bahkan, siapa sangka, sampai
menyentuh praktik keagamaan –semua agama. Termasuk penutupan semua gereja di
Italia.

Ketika gereja, kelenteng, dan
masjid ditutup di Tiongkok, kita hanya bisa bilang: dasar Tiongkok komunis.

Tapi Italia yang sangat Katolik
terpaksa juga menutup gereja.

Dan Kuwait yang sangat Islam dan
Arab juga harus menutup masjid. Termasuk harus mengubah azan. Kuwait adalah
yang pertama mengubah bunyi azan. 

Tapi Malaysia-lah yang pertama
meniadakan salat Jumat. Yakni di negara bagian Perlis –yang memberi saya gelar
guru besar kehormatan dulu itu.

Baca Juga :  Ini Hasil Lengkap Pleno KPU 13 Kabupaten 1 Kota se Kalteng

Itu juga terjadi Jumat tanggal 13
Maret lalu. Setelah ada acara keagamaan yang dihadiri 60.000 orang di Malaysia.
Yang kini –setelah diketahui beberapa yang hadir terkena virus Corona
Covid-19– pemerintah di banyak negara mengalami kesulitan menelusuri siapa
saja yang hadir di situ. Termasuk siapa yang dari Indonesia.

Saya juga membayangkan betapa
sibuknya pemerintah kita saat ini: melacak siapa saja yang sudah berhubungan
dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Yang semula diumumkan hanya sakit
tipus. Yang ternyata terkena Covid-19. Kita berdoa agar beliau tidak sampai
mendapat gelar super spreader.

Waktu Sultan Perlis mengumumkan
ditiadakannya salat Jumat –diganti salat Duhur– saya termasuk yang kaget: kok
begitu berani.

Beberapa jam kemudian barulah
saya mendengar apa yang dilakukan Kuwait. Yang hari itu salat Jumatnya juga
ditiadakan –tapi perbedaan jam membuat Perlis menjadi yang pertama.

Covid-19 datang ke Kuwait agak
telat: 24 Februari 2020.

Yang membawa masuk ke Kuwait
adalah dua orang sekaligus. Yakni yang baru datang dari Iran. Yang satu orang
Kuwait sendiri. Satunya lagi orang Arab Saudi yang tinggal di Kuwait yang juga
baru datang dari Iran.

Setelah itu setiap hari muncullah
penderita baru di Kuwait. Sampai hari Jumat lalu sudah mencapai lebih 100
orang.

Untuk Kuwait yang penduduknya
hanya 4,5 juta, angka 100 itu termasuk tinggi. Maka sampai setidaknya sebulan
ke depan bunyi azan di Kuwait masih akan tetap seperti itu –yang berarti salat
Jumat-nya diganti salat Zuhur di rumah masing-masing.

Seluruh masjid di sana ditutup
–tidak hanya saat salat Jumat. Salat lima waktu pun tidak boleh dilaksanakan
di masjid.

Untung ajaran Islam membolehkan
yang seperti itu –meski untuk menerapkannya terasa sekali sensitifnya.

Saya menghubungi teman di Oman.
Saya minta tolong padanya untuk mengadakan kontak ke Kuwait. Soal azan yang
bunyinya berubah itu. Yang beredar luas di media sosial: apakah itu bukan hoax

”Itu benar. Bukan hoax.
Saya sudah konfirmasi ke Kuwait,” ujarnya.

Video itu diambil pada tanggal 13
Maret lalu. Hari Jumat. Di ibu kota Kuwait, Kuwait City.

Bunyi azan itu (panggilan salat
dari menara masjid dengan menggunakan pengeras suara) memang terasa aneh.
Khususnya ketika tiba di kalimat ”marilah datang untuk salat” (hayya
alash-shalah
). Hari itu bunyi kalimat tersebut menjadi ”salatlah,
di rumah masing-masing” (shollu fi buyutikum).

Seumur hidup baru sekali ini saya
mendengar azan seperti itu.

Saya lantas membayangkan: kalau
misalnya itu dilakukan di Indonesia alangkah ributnya. Bisa-bisa dinilai anti
Islam atau menghancurkan Islam.

Jangankan sampai ke soal azan.
Anjuran saya ke grup senam di lingkungan saya sendiri saja sudah dipertanyakan.
Padahal itu hanya anjuran agar untuk sementara jangan salaman. Jangan pula
cipika-cipiki.

”Salaman itu kan sudah identik
dengan budaya Islam,” katanya. ”Apakah nanti tidak berakibat merenggangkan
silaturahmi antarorang Islam,” tanya anggota senam yang rajin itu –dengan
latar belakang pendidikan S-2.

Tentu saya membenarkan salaman
itu ciri khas orang Islam –di Indonesia. Untung ada seorang ustaz terkenal di
grup senam saya itu. Maka saya minta tolong beliau saja yang menjawab: adakah
ayat Quran atau Hadits yang mewajibkan salaman.

Jangan-jangan dulunya, orang
zaman dulu, sulit mengucapkan salam (“assalamu alaikum...”).
Lalu ucapan itu dinyatakan dengan dalam bentuk bersalaman (berjabat tangan).

Saya punya teman Tionghoa. Ia
ingin sekali bisa mengucapkan salam itu di depan umum. Saya diminta untuk
melatihnya. Saya merasakan betapa sulit –dan lama– latihan untuk bisa
mengucapkan salam itu.

Baca Juga :  Kalteng Siap Sambut Event Wonderful Sail to Indonesia

Seperti juga orang dulu yang
tidak bisa mengucapkan doa panjang. Apalagi doanya harus dalam bahasa
asing/Arab. Misalnya doa agar diberi rezeki yang banyak (luwih-luwih). Maka doa itu
diwujudkan saja dalam sajian makanan. Yang di dalamnya harus ada lauk berupa
sayur dari kluwih.

Saya tidak perlu menjelaskan asal
usul salaman. Pasti komentar pembaca DI’s Way di bawah nanti akan lebih lengkap
dan lebih benar. Saya sering kagum membaca komentar di DI’s Way. Bagus-bagus.
Sering juga membuat saya terbahak. Hanya sesekali bikin mata saya mlerok
–ingat lagu ‘Ojo Dipleroki’.

Bagi saya tidak salaman itu bukan
baru. Selesai operasi ganti hati dulu saya juga menghindari salaman. Selama dua
tahun. Tentu juga tidak melakukan banyak hal lain yang bisa membuat virus dan
bakteri mendekat ke saya.

Waktu itu, 13 tahun lalu,
imunitas badan saya diturunkan secara drastis. Agar hati baru yang menggantikan
hati saya yang asli tidak ditolak oleh sistem di tubuh saya. 

Covid-19 akhirnya memang lebih
serius dari yang diperkirakan banyak ahli. Sedikit yang membayangkan sampai
menjadi pandemik. Semula dikira akan sebatas epidemik. 

Bahkan, siapa sangka, sampai
menyentuh praktik keagamaan –semua agama. Termasuk penutupan semua gereja di
Italia.

Ketika gereja, kelenteng, dan
masjid ditutup di Tiongkok, kita hanya bisa bilang: dasar Tiongkok komunis.

Tapi Italia yang sangat Katolik
terpaksa juga menutup gereja.

Dan Kuwait yang sangat Islam dan
Arab juga harus menutup masjid. Termasuk harus mengubah azan. Kuwait adalah
yang pertama mengubah bunyi azan. 

Tapi Malaysia-lah yang pertama
meniadakan salat Jumat. Yakni di negara bagian Perlis –yang memberi saya gelar
guru besar kehormatan dulu itu.

Baca Juga :  Ini Hasil Lengkap Pleno KPU 13 Kabupaten 1 Kota se Kalteng

Itu juga terjadi Jumat tanggal 13
Maret lalu. Setelah ada acara keagamaan yang dihadiri 60.000 orang di Malaysia.
Yang kini –setelah diketahui beberapa yang hadir terkena virus Corona
Covid-19– pemerintah di banyak negara mengalami kesulitan menelusuri siapa
saja yang hadir di situ. Termasuk siapa yang dari Indonesia.

Saya juga membayangkan betapa
sibuknya pemerintah kita saat ini: melacak siapa saja yang sudah berhubungan
dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Yang semula diumumkan hanya sakit
tipus. Yang ternyata terkena Covid-19. Kita berdoa agar beliau tidak sampai
mendapat gelar super spreader.

Waktu Sultan Perlis mengumumkan
ditiadakannya salat Jumat –diganti salat Duhur– saya termasuk yang kaget: kok
begitu berani.

Beberapa jam kemudian barulah
saya mendengar apa yang dilakukan Kuwait. Yang hari itu salat Jumatnya juga
ditiadakan –tapi perbedaan jam membuat Perlis menjadi yang pertama.

Covid-19 datang ke Kuwait agak
telat: 24 Februari 2020.

Yang membawa masuk ke Kuwait
adalah dua orang sekaligus. Yakni yang baru datang dari Iran. Yang satu orang
Kuwait sendiri. Satunya lagi orang Arab Saudi yang tinggal di Kuwait yang juga
baru datang dari Iran.

Setelah itu setiap hari muncullah
penderita baru di Kuwait. Sampai hari Jumat lalu sudah mencapai lebih 100
orang.

Untuk Kuwait yang penduduknya
hanya 4,5 juta, angka 100 itu termasuk tinggi. Maka sampai setidaknya sebulan
ke depan bunyi azan di Kuwait masih akan tetap seperti itu –yang berarti salat
Jumat-nya diganti salat Zuhur di rumah masing-masing.

Seluruh masjid di sana ditutup
–tidak hanya saat salat Jumat. Salat lima waktu pun tidak boleh dilaksanakan
di masjid.

Untung ajaran Islam membolehkan
yang seperti itu –meski untuk menerapkannya terasa sekali sensitifnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru