29.3 C
Jakarta
Thursday, November 28, 2024

Politik Koruptif Adalah Ekses Demokrasi

REALITAS demokratisasi
meningkat pesat di Indonesia sejak era reformasi. Namun, di sisi lain, korupsi
menjadi begitu marak. Penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan negara tumbuh
kembang bermutasi dalam bentuk yang semakin kompleks.

Data KPK per 31 Desember
2018, sekitar 36 persen pelaku korupsi yang ditangani KPK merupakan pejabat
politik. Misalnya, kepala daerah, anggota DPR dan DPRD, serta kepala lembaga
negara atau kementerian. Dari berbagai penelitian, ditemukan ada korelasi kuat
antara tingkat demokrasi dan tingkat antikorupsi suatu negara.

Di awal demokrasi, korupsi
cenderung marak. Sejalan dengan perkembangan demokrasi, korupsi akan mencapai
titik puncak untuk kemudian turun secara pasti sejalan dengan semakin dewasanya
tingkat demokrasi (Wirotomo, 2013).

Hal itu sejalan dengan
realitas di lapangan. Praktik demokrasi yang transaksional mendorong korupsi
tumbuh subur. Hal itu disebabkan mahalnya biaya politik, rendahnya insentif dan
sistem penggajian bagi pejabat politik, serta minimnya bantuan keuangan negara
kepada parpol.

Fenomena korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi salah satu faktor utama tuntutan
masyarakat agar Orde Baru runtuh ternyata tumbuh subur kembali. Pascarezim Orde
Baru, sistem otoriter dan sentralistik berakhir. Lahirlah sistem demokrasi dan
pemilu-pemilu yang bebas dan demokratis sejak 1999.

Pascareformasi, korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya dilakukan para penyelenggara negara di
tingkat pusat. Tetapi juga tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagai
konsekuensi desentralisasi dan otonomi daerah.

Korupsi terdesentralisasi
seiring dengan kewenangan pejabat daerah yang makin besar, tanpa diimbangi
pengawasan yang memadai dari pusat. Maraknya korupsi tidak terbatas pada
jajaran pemerintah atau eksekutif. Tetapi juga legislatif dan jajaran lembaga
peradilan (polisi, jaksa, hakim, pengacara, auditor).

Akil Mochtar dan Patrialis
Akbar, ketua dan anggota hakim Mahkamah Konstitusi, lembaga yang seharusnya
berisi para hakim-negarawan dengan integritas tak tercela, justru terjerembap
menjadi terpidana kasus korupsi terkait dengan penyelenggaraan pilkada di
sejumlah daerah.

Baca Juga :  Masyarakat Diminta Taati Waktu Buang Sampah

Begitu pula Irman Gusman
(ketua DPD) dan Setya Novanto (ketua DPR) yang ditetapkan sebagai terpidana
korupsi. Fenomena itu perlu segera dijawab dan dicarikan solusi secepatnya.
Bahkan, dapat dikatakan negara berada dalam keadaan darurat korupsi politik.

Pemberantasan korupsi
semata-mata menjadi masalah hukum. KPK dihadirkan dan diberi mandat khusus oleh
UU untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan para
penyelenggara negara (PN), aparat penegak hukum, dan pihak terkait di dalamnya.

KPK punya tanggung jawab
untuk melakukan strategi pencegahan dan pendidikan korupsi di sektor politik
secara utuh. Untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan sejahtera, setidaknya KPK
bisa menjadi bagian penting.

Ada tujuh gagasan utama saya
untuk menghadapi fenomena tersebut, di luar faktor hukum yang kebanyakan
masyarakat sudah mafhum. Pertama, pembenahan sistem politik. Diperlukan
reformasi sistem pemilu (pileg, pilpres, pilkada), reformasi pendanaan parpol,
reformasi sistem insentif-disentif pejabat politik, reformasi kepartaian, dan
reformasi sistem perwakilan.

Politik yang koruptif, tidak
terkoreksi, tertutup, dan tidak akuntabel adalah produk sistem demokrasi yang
kurang mementingkan pembentukan integritas para penyelenggara negara/pegawai
negeri yang mengisi berbagai institusi demokrasi tersebut. Juga minimnya
perbaikan sistem pencegahan korupsi di dunia politik.

Realitas kasus korupsi yang
marak di kalangan pejabat politik dan pejabat publik produk sistem demokrasi
tecermin melalui kasus yang ditangani KPK akhir-akhir ini. Ada kebutuhan biaya
politik yang sangat tinggi karena sistem demokrasi yang mahal tidak diimbangi
rasionalitas insentif dan peran negara yang lebih besar dalam membangun
demokrasi.

Baca Juga :  Koordinasi dan Komunikasi Kunci Penting dalam Percepatan Penanganan Co

Gagasan kedua adalah
reformasi birokrasi. Korupsi sebagai peluang, rasionalitas, dan tekanan bagi
birokrasi yang korup dan aji mumpung. Diperlukan reformasi birokrasi yang
menekankan reformasi SDM bagi birokrasi. Terutama perbaikan penghasilan aparat
penegak hukum dan penyediaan biaya operasional penegakan hukum yang memadai.

Ketiga, revolusi mental
antikorupsi dengan strategi pendidikan. Pendidikan antikorupsi (PAK) sebagai
produk kebiasaan dan perilaku budaya sosiokultural di masyarakat melalui
pendekatan pendidikan dan strategi sosiokultural lainnya.

Keempat, pembenahan sistem
keuangan negara. Korupsi merupakan produk sistem keuangan negara yang buruk dan
memberikan peluang besar untuk korupsi. Kelima, membangun antikorupsi di sektor
swasta. Korupsi di kalangan dunia usaha dan praktik korporasi sejatinya adalah
sarana bertahan bagi dunia usaha. Namun, di sisi lain, ada zona nyaman yang dipertahankan
kalangan swasta agar mereka dapat mengontrol kebijakan negara.

Keenam, diperlukan kerja
sama internasional yang kuat. Modus operandi yang semakin rumit sejalan dengan
teknologi dan lintas negara sehingga dibutuhkan kerja sama yang semakin bagus.

Terakhir, peningkatan peran
serta masyarakat dan kepeduliannya sebagai korban korupsi. Kesadaran masyarakat
sebagai korban korupsi (victims) masih sangat rendah, bahkan tidak peduli.
Masyarakat memandang penanganan korupsi masih jauh dari dunia keseharian mereka
dan belum mampu memahamkan mereka sebagai korban langsung perilaku korupsi
pejabat.

Di atas segalanya dan di
luar semua faktor terkait, agenda pemberantasan korupsi di negeri ini
membutuhkan dukungan politik. KPK tidak akan pernah bisa bekerja sendirian. KPK
membutuhkan dukungan politik dari presiden, DPR dan DPRD, penegak hukum tipikor
lainnya, Polri dan kejaksaan, lembaga intelijen, serta lembaga negara lainnya
tanpa terkecuali. (*)

                                    Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK

REALITAS demokratisasi
meningkat pesat di Indonesia sejak era reformasi. Namun, di sisi lain, korupsi
menjadi begitu marak. Penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan negara tumbuh
kembang bermutasi dalam bentuk yang semakin kompleks.

Data KPK per 31 Desember
2018, sekitar 36 persen pelaku korupsi yang ditangani KPK merupakan pejabat
politik. Misalnya, kepala daerah, anggota DPR dan DPRD, serta kepala lembaga
negara atau kementerian. Dari berbagai penelitian, ditemukan ada korelasi kuat
antara tingkat demokrasi dan tingkat antikorupsi suatu negara.

Di awal demokrasi, korupsi
cenderung marak. Sejalan dengan perkembangan demokrasi, korupsi akan mencapai
titik puncak untuk kemudian turun secara pasti sejalan dengan semakin dewasanya
tingkat demokrasi (Wirotomo, 2013).

Hal itu sejalan dengan
realitas di lapangan. Praktik demokrasi yang transaksional mendorong korupsi
tumbuh subur. Hal itu disebabkan mahalnya biaya politik, rendahnya insentif dan
sistem penggajian bagi pejabat politik, serta minimnya bantuan keuangan negara
kepada parpol.

Fenomena korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi salah satu faktor utama tuntutan
masyarakat agar Orde Baru runtuh ternyata tumbuh subur kembali. Pascarezim Orde
Baru, sistem otoriter dan sentralistik berakhir. Lahirlah sistem demokrasi dan
pemilu-pemilu yang bebas dan demokratis sejak 1999.

Pascareformasi, korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya dilakukan para penyelenggara negara di
tingkat pusat. Tetapi juga tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagai
konsekuensi desentralisasi dan otonomi daerah.

Korupsi terdesentralisasi
seiring dengan kewenangan pejabat daerah yang makin besar, tanpa diimbangi
pengawasan yang memadai dari pusat. Maraknya korupsi tidak terbatas pada
jajaran pemerintah atau eksekutif. Tetapi juga legislatif dan jajaran lembaga
peradilan (polisi, jaksa, hakim, pengacara, auditor).

Akil Mochtar dan Patrialis
Akbar, ketua dan anggota hakim Mahkamah Konstitusi, lembaga yang seharusnya
berisi para hakim-negarawan dengan integritas tak tercela, justru terjerembap
menjadi terpidana kasus korupsi terkait dengan penyelenggaraan pilkada di
sejumlah daerah.

Baca Juga :  Masyarakat Diminta Taati Waktu Buang Sampah

Begitu pula Irman Gusman
(ketua DPD) dan Setya Novanto (ketua DPR) yang ditetapkan sebagai terpidana
korupsi. Fenomena itu perlu segera dijawab dan dicarikan solusi secepatnya.
Bahkan, dapat dikatakan negara berada dalam keadaan darurat korupsi politik.

Pemberantasan korupsi
semata-mata menjadi masalah hukum. KPK dihadirkan dan diberi mandat khusus oleh
UU untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan para
penyelenggara negara (PN), aparat penegak hukum, dan pihak terkait di dalamnya.

KPK punya tanggung jawab
untuk melakukan strategi pencegahan dan pendidikan korupsi di sektor politik
secara utuh. Untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan sejahtera, setidaknya KPK
bisa menjadi bagian penting.

Ada tujuh gagasan utama saya
untuk menghadapi fenomena tersebut, di luar faktor hukum yang kebanyakan
masyarakat sudah mafhum. Pertama, pembenahan sistem politik. Diperlukan
reformasi sistem pemilu (pileg, pilpres, pilkada), reformasi pendanaan parpol,
reformasi sistem insentif-disentif pejabat politik, reformasi kepartaian, dan
reformasi sistem perwakilan.

Politik yang koruptif, tidak
terkoreksi, tertutup, dan tidak akuntabel adalah produk sistem demokrasi yang
kurang mementingkan pembentukan integritas para penyelenggara negara/pegawai
negeri yang mengisi berbagai institusi demokrasi tersebut. Juga minimnya
perbaikan sistem pencegahan korupsi di dunia politik.

Realitas kasus korupsi yang
marak di kalangan pejabat politik dan pejabat publik produk sistem demokrasi
tecermin melalui kasus yang ditangani KPK akhir-akhir ini. Ada kebutuhan biaya
politik yang sangat tinggi karena sistem demokrasi yang mahal tidak diimbangi
rasionalitas insentif dan peran negara yang lebih besar dalam membangun
demokrasi.

Baca Juga :  Koordinasi dan Komunikasi Kunci Penting dalam Percepatan Penanganan Co

Gagasan kedua adalah
reformasi birokrasi. Korupsi sebagai peluang, rasionalitas, dan tekanan bagi
birokrasi yang korup dan aji mumpung. Diperlukan reformasi birokrasi yang
menekankan reformasi SDM bagi birokrasi. Terutama perbaikan penghasilan aparat
penegak hukum dan penyediaan biaya operasional penegakan hukum yang memadai.

Ketiga, revolusi mental
antikorupsi dengan strategi pendidikan. Pendidikan antikorupsi (PAK) sebagai
produk kebiasaan dan perilaku budaya sosiokultural di masyarakat melalui
pendekatan pendidikan dan strategi sosiokultural lainnya.

Keempat, pembenahan sistem
keuangan negara. Korupsi merupakan produk sistem keuangan negara yang buruk dan
memberikan peluang besar untuk korupsi. Kelima, membangun antikorupsi di sektor
swasta. Korupsi di kalangan dunia usaha dan praktik korporasi sejatinya adalah
sarana bertahan bagi dunia usaha. Namun, di sisi lain, ada zona nyaman yang dipertahankan
kalangan swasta agar mereka dapat mengontrol kebijakan negara.

Keenam, diperlukan kerja
sama internasional yang kuat. Modus operandi yang semakin rumit sejalan dengan
teknologi dan lintas negara sehingga dibutuhkan kerja sama yang semakin bagus.

Terakhir, peningkatan peran
serta masyarakat dan kepeduliannya sebagai korban korupsi. Kesadaran masyarakat
sebagai korban korupsi (victims) masih sangat rendah, bahkan tidak peduli.
Masyarakat memandang penanganan korupsi masih jauh dari dunia keseharian mereka
dan belum mampu memahamkan mereka sebagai korban langsung perilaku korupsi
pejabat.

Di atas segalanya dan di
luar semua faktor terkait, agenda pemberantasan korupsi di negeri ini
membutuhkan dukungan politik. KPK tidak akan pernah bisa bekerja sendirian. KPK
membutuhkan dukungan politik dari presiden, DPR dan DPRD, penegak hukum tipikor
lainnya, Polri dan kejaksaan, lembaga intelijen, serta lembaga negara lainnya
tanpa terkecuali. (*)

                                    Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK

Terpopuler

Artikel Terbaru