26.7 C
Jakarta
Saturday, April 19, 2025

Dendam Alumni

Mana yang lebih besar: Al Amien
Prenduan, Sumenep atau Daar el Qolam Gintung, Tangerang?

Dua-duanya dibangun oleh alumni
Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Dua-duanya fastabikul khairat –sampai saya
tidak bisa menilai mana yang lebih besar.

Begitu banyak pesantren yang
dibangun oleh alumni Gontor. Mengapa bisa begitu?

Itu lantaran kebijakan pimpinan
Gontor sejak dulu: ijazah tidak segera diberikan. Biar pun mereka sudah lulus
sekolah 6 tahun di Gontor.

Ada syarat untuk bisa mengambil
ijazah itu: mereka harus sudah melakukan pengabdian di masyarakat selama dua
tahun.

Ilmu itu harus diamalkan. Pengetahuan
yang tidak dipraktekkan ibarat pohon yang meski berdaun tapi tidak berbuah.

Dengan kebijakan itu alumni yang
mendirikan pesantren tidak akan sulit mendapatkan guru. Mereka bisa minta ke
Gontor. Untuk dikirimi guru-guru pengabdi. Sampai sekolah itu bisa mandiri.

Itu pula yang membuat Ahmad Rifai
Arif, alumni Gontor, berani mendirikan madrasah di kampungnya. Yakni kampung
Gintung, Tangerang. Dekat perbatasan Banten.

Nama pesantren baru itu Daar el
Qolam (artinya: Kampung Pena). Lebih dikenal sebagai Pondok Gintung daripada
nama Arabnya.

Ayah Ahmad Rifai memiliki tanah
sawah 2 hektare di Gintung. Sang ayah memang petani –yang kalau malam menjadi
guru ngaji Alquran.

Sang ayah merasa bangga ketika
anaknya lulus dari Gontor. Apalagi ingin membangun sekolah di sawahnya.

Ahmad Rifai memiliki adik bernama
Ahmad Sahiduddin.

Si adik tidak ingin ikut jejak
kakaknya sekolah di Gontor. Sahiduddin lebih ingin jadi insinyur. Tapi ayahnya
minta Sahiduddin sekolah di Gintung saja. Di sekolah yang didirikan kakaknya itu.

Jadilah Sahiduddin murid pertama
sekolah kakaknya. Yang kurikulum dan sistem asramanya dibuat persis seperti di
Gontor. Termasuk keharusan menguasai bahasa Arab dan Inggris.

Calon insinyur gagal itu pun
akhirnya menguasai bahasa Arab dan Inggris. Sang adik rela tidak jadi insinyur
untuk memenuhi keinginan ayahnya: ikut jadi kiai seperti kakaknya.

“Akhirnya saya ikhlas tidak
jadi insinyur. Ikhlas itu perlu dipaksa. Inilah ikhlas dalam
keterpaksaan,” katanya.

Sang ayah seperti sudah tahu
kalau anaknya yang sekolah di Gontor itu tidak akan berumur panjang. Maka
ketika sang kakak meninggal di usia 50 tahun, sang adik sudah bisa meneruskan
kepemimpinan di Gintung.

Baca Juga :  Lomba Cerdas Cermat Kalteng Pos Diikuti 37 Regu

Termasuk meneruskan kebijakan
sang kakak: santri perempuan dan laki-laki dalam satu kelas yang sama. Inilah
satu-satunya pondok alumni Gontor yang begitu.

Apakah Gontor membolehkan?

“Kakak saya dulu minta izin ke
Gontor. Diizinkan,” ujar Sahiduddin. “Syaratnya kakak saya harus
lebih dulu menikah. Agar dalam memperlakukan siswa perempuan bisa adil,”
tambahnya.

Pertimbangan sang kakak, di
seluruh Banten, sejak zaman dulu, santri perempuan dan laki-laki sudah di satu
kelas.

Sahiduddin adalah contoh
“sukses juga bisa diraih di bidang yang bukan impiannya”.

Sejak kecil hati Sahiduddin sudah
terpaku di bidang teknik. Waktu kelas 3 SD Sahiduddin sudah mampu membuat
mobil. Dalam hatinya itulah mobil terbaik di dunia. Terbuat dari kayu gabus.

Setiap berangkat sekolah
buku-bukunya dinaikkan mobil itu. Sebuah tali diikatkan di bagian depannya.
Untuk ditarik sejauh 1 Km. Menuju sekolah. Teman-temannya pun menitipkan buku
mereka di mobilnya. Menambah kebanggaan hatinya.

“Mobil saya itu truk. Ada
bak di belakangnya. Buku ditaruh di bak itu,” kata Sahiduddin mengenang
masa kecilnya.

Di tangan sang adik Pondok
Gintung terus maju. Sekarang ini luasnya mencapai 40 hektare.

Saya mampir ke Pondok Gintung
Rabu lalu. Saya ingin tahu seperti apa wujudnya di siang hari.

Tujuh tahun lalu saya sudah ke
sana. Tapi menjelang subuh. Setelah salat subuh saya meneruskan perjalanan.
Jadi, kalau ditanya Pondok Gintung seperti apa, jawaban saya: gelap sekali.

Ternyata siang harinya sangat
indah –untuk ukuran pondok. Luas sekali. Besar sekali. Deretan bangunan
bertingkatnya begitu banyak. Ditata secara apik. Ruang terbukanya luas-luas.
Pepohonannya begitu rindang.

Sosok sang Kiai Sahiduddin ini
sama sekali seperti bukan kiai. Lebih mirip seorang petani umumnya di Gintung.
Bajunya, celananya, sandalnya sangat pedesaan.

Sang kiai juga tidak mengenakan
kopiah atau surban. Rambutnya dipotong pendek dengan uban di sana-sini.

Saya pun minta diantar keliling
pondok. Tidak mungkin berjalan kaki. Luas sekali.

“Kita pakai mobil,”
ujarnya.

Ia panggil pak sopir supaya
mengambil mobil.

Setelah mobilnya datang si sopir
diminta turun. Kiai sendiri yang akan mengemudikan mobil itu: sedan Audi warna
hitam yang relatif masih baru.

Baca Juga :  Silakan, Tentukan Pilihan !

Semua bangunan bertingkat di
Gintung itu Kiai sendiri yang menggambar. Tepatnya: yang merancang. “Saya
menggambarnya di tanah,” katanya sambil tertawa.

Tata letak gedung-gedung itu juga
ia sendiri yang menentukan.

Bahkan ia sendiri yang
mengemudikan alat-alat berat untuk menggali tanah. Kalau ia lagi di atas bego
sama sekali tidak terlihat kekiaiannya.

Rupanya keinginan menjadi
insinyur tidak pernah padam. Diam-diam ia mendalami sendiri ilmu teknik di luar
bangku kuliah.

“Awalnya karena senang saja.
Lalu karena marah,” ujar Kiai Sahiduddin.

Kenapa?

Tahun 1976 lalu pemerintah
menjanjikan membangun Balai Latihan Kerja (BLK) di Pondok Gintung. Alat-alat
las akan didatangkan. Demikian juga mesin bubut. Letak bangunan BLK pun sudah
ditentukan.

“Tapi bantuan BLK itu
dibatalkan. Penyebabnya satu: Golkar kalah Pemilu 1977 di sini,” ujar Kiai
Sahiduddin.

Sejak itu Kiai Sahiduddin
membangun sendiri gedung BLK. Membeli sendiri peralatan las dan pemotong besi.
Ia pun belajar pekerjaan bengkel.

Ternyata bisa.

Karya pertamanya adalah tempat
tidur bertingkat dari besi. Itulah tempat tidur made in kiai. Untuk tidur para
santri. Mungkin bisa lebih barokah.

Akhirnya seluruh tempat tidur
santri tidak ada yang beli. Tiap kamar berisi 5 tempat tidur bertingkat.

Berarti satu kamar berisi 10
santri. Di pondok ini kamar mandi dan toilet santri sudah di dalam
masing-masing kamar.

Begitu luas pesantren ini. Sampai
dibagi dalam tiga zona: Daar el Qalam 1,2 dan 3.

Belum lagi pondok lainnya yang
didirikan adik-adik Sahiduddin. Yakni Pondok Laa Tansa 1 dan 2. Yang sampai
tingkat perguruan tinggi.

Gitaris Band Wali, Apoy (Aan
Kurnia) adalah lulusan Laa Tansa.

Saya ikut saja ke mana kiai
mengemudikan Audi di komplek Pondok Gintung ini. Semua bangunan bertingkat
terhubung dengan jalan yang dibeton.

“Kalau yang zona 3 ini
ditangani insinyur beneran,” ujar Kiai Sahiduddin. “Gerbangnya agak
berbeda,” tambahnya.

Yang dimaksud insinyur beneran
adalah anak pertamanya. Sang anak memang insinyur mesin dari STTN. Ialah yang
menjadi kiai di Daar el Qalam 3.

Dendam jadi insinyur rupanya ia
wujudkan ke anaknya. Dendam turunan.(Dahlan Iskan)

 

Mana yang lebih besar: Al Amien
Prenduan, Sumenep atau Daar el Qolam Gintung, Tangerang?

Dua-duanya dibangun oleh alumni
Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Dua-duanya fastabikul khairat –sampai saya
tidak bisa menilai mana yang lebih besar.

Begitu banyak pesantren yang
dibangun oleh alumni Gontor. Mengapa bisa begitu?

Itu lantaran kebijakan pimpinan
Gontor sejak dulu: ijazah tidak segera diberikan. Biar pun mereka sudah lulus
sekolah 6 tahun di Gontor.

Ada syarat untuk bisa mengambil
ijazah itu: mereka harus sudah melakukan pengabdian di masyarakat selama dua
tahun.

Ilmu itu harus diamalkan. Pengetahuan
yang tidak dipraktekkan ibarat pohon yang meski berdaun tapi tidak berbuah.

Dengan kebijakan itu alumni yang
mendirikan pesantren tidak akan sulit mendapatkan guru. Mereka bisa minta ke
Gontor. Untuk dikirimi guru-guru pengabdi. Sampai sekolah itu bisa mandiri.

Itu pula yang membuat Ahmad Rifai
Arif, alumni Gontor, berani mendirikan madrasah di kampungnya. Yakni kampung
Gintung, Tangerang. Dekat perbatasan Banten.

Nama pesantren baru itu Daar el
Qolam (artinya: Kampung Pena). Lebih dikenal sebagai Pondok Gintung daripada
nama Arabnya.

Ayah Ahmad Rifai memiliki tanah
sawah 2 hektare di Gintung. Sang ayah memang petani –yang kalau malam menjadi
guru ngaji Alquran.

Sang ayah merasa bangga ketika
anaknya lulus dari Gontor. Apalagi ingin membangun sekolah di sawahnya.

Ahmad Rifai memiliki adik bernama
Ahmad Sahiduddin.

Si adik tidak ingin ikut jejak
kakaknya sekolah di Gontor. Sahiduddin lebih ingin jadi insinyur. Tapi ayahnya
minta Sahiduddin sekolah di Gintung saja. Di sekolah yang didirikan kakaknya itu.

Jadilah Sahiduddin murid pertama
sekolah kakaknya. Yang kurikulum dan sistem asramanya dibuat persis seperti di
Gontor. Termasuk keharusan menguasai bahasa Arab dan Inggris.

Calon insinyur gagal itu pun
akhirnya menguasai bahasa Arab dan Inggris. Sang adik rela tidak jadi insinyur
untuk memenuhi keinginan ayahnya: ikut jadi kiai seperti kakaknya.

“Akhirnya saya ikhlas tidak
jadi insinyur. Ikhlas itu perlu dipaksa. Inilah ikhlas dalam
keterpaksaan,” katanya.

Sang ayah seperti sudah tahu
kalau anaknya yang sekolah di Gontor itu tidak akan berumur panjang. Maka
ketika sang kakak meninggal di usia 50 tahun, sang adik sudah bisa meneruskan
kepemimpinan di Gintung.

Baca Juga :  Lomba Cerdas Cermat Kalteng Pos Diikuti 37 Regu

Termasuk meneruskan kebijakan
sang kakak: santri perempuan dan laki-laki dalam satu kelas yang sama. Inilah
satu-satunya pondok alumni Gontor yang begitu.

Apakah Gontor membolehkan?

“Kakak saya dulu minta izin ke
Gontor. Diizinkan,” ujar Sahiduddin. “Syaratnya kakak saya harus
lebih dulu menikah. Agar dalam memperlakukan siswa perempuan bisa adil,”
tambahnya.

Pertimbangan sang kakak, di
seluruh Banten, sejak zaman dulu, santri perempuan dan laki-laki sudah di satu
kelas.

Sahiduddin adalah contoh
“sukses juga bisa diraih di bidang yang bukan impiannya”.

Sejak kecil hati Sahiduddin sudah
terpaku di bidang teknik. Waktu kelas 3 SD Sahiduddin sudah mampu membuat
mobil. Dalam hatinya itulah mobil terbaik di dunia. Terbuat dari kayu gabus.

Setiap berangkat sekolah
buku-bukunya dinaikkan mobil itu. Sebuah tali diikatkan di bagian depannya.
Untuk ditarik sejauh 1 Km. Menuju sekolah. Teman-temannya pun menitipkan buku
mereka di mobilnya. Menambah kebanggaan hatinya.

“Mobil saya itu truk. Ada
bak di belakangnya. Buku ditaruh di bak itu,” kata Sahiduddin mengenang
masa kecilnya.

Di tangan sang adik Pondok
Gintung terus maju. Sekarang ini luasnya mencapai 40 hektare.

Saya mampir ke Pondok Gintung
Rabu lalu. Saya ingin tahu seperti apa wujudnya di siang hari.

Tujuh tahun lalu saya sudah ke
sana. Tapi menjelang subuh. Setelah salat subuh saya meneruskan perjalanan.
Jadi, kalau ditanya Pondok Gintung seperti apa, jawaban saya: gelap sekali.

Ternyata siang harinya sangat
indah –untuk ukuran pondok. Luas sekali. Besar sekali. Deretan bangunan
bertingkatnya begitu banyak. Ditata secara apik. Ruang terbukanya luas-luas.
Pepohonannya begitu rindang.

Sosok sang Kiai Sahiduddin ini
sama sekali seperti bukan kiai. Lebih mirip seorang petani umumnya di Gintung.
Bajunya, celananya, sandalnya sangat pedesaan.

Sang kiai juga tidak mengenakan
kopiah atau surban. Rambutnya dipotong pendek dengan uban di sana-sini.

Saya pun minta diantar keliling
pondok. Tidak mungkin berjalan kaki. Luas sekali.

“Kita pakai mobil,”
ujarnya.

Ia panggil pak sopir supaya
mengambil mobil.

Setelah mobilnya datang si sopir
diminta turun. Kiai sendiri yang akan mengemudikan mobil itu: sedan Audi warna
hitam yang relatif masih baru.

Baca Juga :  Silakan, Tentukan Pilihan !

Semua bangunan bertingkat di
Gintung itu Kiai sendiri yang menggambar. Tepatnya: yang merancang. “Saya
menggambarnya di tanah,” katanya sambil tertawa.

Tata letak gedung-gedung itu juga
ia sendiri yang menentukan.

Bahkan ia sendiri yang
mengemudikan alat-alat berat untuk menggali tanah. Kalau ia lagi di atas bego
sama sekali tidak terlihat kekiaiannya.

Rupanya keinginan menjadi
insinyur tidak pernah padam. Diam-diam ia mendalami sendiri ilmu teknik di luar
bangku kuliah.

“Awalnya karena senang saja.
Lalu karena marah,” ujar Kiai Sahiduddin.

Kenapa?

Tahun 1976 lalu pemerintah
menjanjikan membangun Balai Latihan Kerja (BLK) di Pondok Gintung. Alat-alat
las akan didatangkan. Demikian juga mesin bubut. Letak bangunan BLK pun sudah
ditentukan.

“Tapi bantuan BLK itu
dibatalkan. Penyebabnya satu: Golkar kalah Pemilu 1977 di sini,” ujar Kiai
Sahiduddin.

Sejak itu Kiai Sahiduddin
membangun sendiri gedung BLK. Membeli sendiri peralatan las dan pemotong besi.
Ia pun belajar pekerjaan bengkel.

Ternyata bisa.

Karya pertamanya adalah tempat
tidur bertingkat dari besi. Itulah tempat tidur made in kiai. Untuk tidur para
santri. Mungkin bisa lebih barokah.

Akhirnya seluruh tempat tidur
santri tidak ada yang beli. Tiap kamar berisi 5 tempat tidur bertingkat.

Berarti satu kamar berisi 10
santri. Di pondok ini kamar mandi dan toilet santri sudah di dalam
masing-masing kamar.

Begitu luas pesantren ini. Sampai
dibagi dalam tiga zona: Daar el Qalam 1,2 dan 3.

Belum lagi pondok lainnya yang
didirikan adik-adik Sahiduddin. Yakni Pondok Laa Tansa 1 dan 2. Yang sampai
tingkat perguruan tinggi.

Gitaris Band Wali, Apoy (Aan
Kurnia) adalah lulusan Laa Tansa.

Saya ikut saja ke mana kiai
mengemudikan Audi di komplek Pondok Gintung ini. Semua bangunan bertingkat
terhubung dengan jalan yang dibeton.

“Kalau yang zona 3 ini
ditangani insinyur beneran,” ujar Kiai Sahiduddin. “Gerbangnya agak
berbeda,” tambahnya.

Yang dimaksud insinyur beneran
adalah anak pertamanya. Sang anak memang insinyur mesin dari STTN. Ialah yang
menjadi kiai di Daar el Qalam 3.

Dendam jadi insinyur rupanya ia
wujudkan ke anaknya. Dendam turunan.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru