26.3 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Pilih Shanghai

Ini memang bacaan hari Minggu.
Tapi ibu satu ini luar biasa: Suami kerja di Amerika. Istri kerja di Shanghai.
Di manakah dua anaknya akan ”disembunyikan” dari Covid-19? 

Menariknya suami-istri itu orang
Amerika. Bukan keturunan Tionghoa. Mereka pun diskusi tentang keselamatan dua
anaknya itu. Topik diskusinya: lebih selamat di mana, di Tiongkok atau di
Amerika?

Setiap rumah tangga punya
problemnya sendiri-sendiri. Demikian juga pasangan ini.

Sejak sebelum Tiongkok dilanda
Covid-19, dua anak mereka sudah ikut ibunya di Shanghai. Mereka sekolah di kota
terbesar di Tiongkok itu.

Ketika wabah kian hebat melanda
Tiongkok, di Amerika masih tenang-tenang saja. Seperti tidak mungkin wabah yang
sama akan masuk ke Amerika.

Shanghai pun mengumumkan
sekolah-sekolah harus tutup.

Maka sang ibu mengirim dua
anaknya pulang ke Amerika. Tanpa ada yang menemani. Di bandara Washington
dijemput sang ayah. Sementara Tiongkok dilanda Covid biarlah mereka tinggal
bersama sang ayah di Washington DC.

Mereka pun pindah sekolah ke
sana. Kembali ke sekolah mereka yang lama.

Sebulan kemudian, ternyata Covid
mulai merajalela di Amerika. Cepat sekali. Mulailah ada pengumuman: sekolah
akan ditutup.

Sang istri mengikuti perkembangan
itu demi anaknyi. Dengan tingkat waswas yang tinggi.

Tak lama kemudian Tiongkok mulai
berhasil mengatasi Covid-19. Sedang Amerika kian kedodoran. Sang ibu ambil
putusan cepat: lebih selamat kalau anaknyi ditarik kembali ke Shanghai. Toh
sekolah di Washington akan ditutup.

Soal penanganan pandemi, sang
istri menjadi lebih percaya pada kemampuan Tiongkok. 

Sedang keadaan di Amerika justru
sangat mengkhawatirkannyi. Dia tidak percaya sistem di Amerika bisa bertindak
keras seperti di Tiongkok. 

Maka dia pun terbang ke
Washington DC. Menjemput sang anak. Begitu mendarat di Washington dia sudah
mengambil kesimpulan: keputusannyi benar. Yakni untuk menarik kembali anaknyi
ke Shanghai.

Saat mendarat di bandara pun dia
sudah tahu: Amerika sangat sembrono –sangat menganggap enteng pandemi ini. Dia
lihat di bandara itu: tidak ada pemeriksaan yang memadai. Di Washington pun dia
lihat sikap orang-orangnya cuek-bebek. Seperti sedang tidak ada pandemi.
Jalan-jalan raya masih ramai. Orang masih berlalu-lalang di mana-mana. Restoran
masih penuh. ”Ini bahaya,” katanyi dalam hati. 

Maka tidak sampai hitungan hari
dia sudah berangkat lagi ke bandara. Bersama dua anaknyi. Tujuannya bulat:
Shanghai. Anaknyi akan lebih aman daripada di Amerika.

Hanya 36 jam sang ibu di
Amerika. 

Kelak, beberapa hari kemudian,
dia merasa lebih benar lagi. Yakni ketika dia ikuti perkembangan Covid-19 di
Amerika. Yang korbannya terus meroket seperti tak terkendali.

Itulah gambaran seorang ibu yang
lagi terjepit pandemi di antara dua benua.

Kisah berikutnya tidak hanya
menarik, tapi juga penting bagi kita. Agar kita tahu beginilah cara mengelola
masyarakat di tengah pandemi. Harian South China Morning Post, Hongkong, memuat
kisah sang ibu itu. Tanpa menyebutkan nama dan identitas lengkap.

Begitu mendarat kembali di
Shanghai sang ibu menemukan suasana yang begitu berbeda. Begitu ketat. Padahal
wabah sudah mulai bisa diatasi di Shanghai.

Baca Juga :  Diwung, Dilantik Sebagai Pejabat Administrator Pemprov Kalteng

Tanggal 15 Maret 2020 dia
mendarat kembali di bandara Shanghai. Bersama dua anaknyi. Suasananya berbeda
sekali dengan di bandara Amerika. 

Penumpang pesawat tidak boleh
langsung meninggalkan pesawat. Harus lama duduk manis di dalam dulu. Sampai
semua pemeriksaan selesai. Satu persatu ditanya tentang keadaan badan mereka.
Suhu badan. Obat yang sedang di makan. Pernah pergi ke kota mana saja. Banyak
dokumen kesehatan yang harus diisi. Lalu diperiksa begitu teliti. Dua jam
lamanya ibu dan anak Amerika itu berada di dalam pesawat. 

Ketika penumpang akhirnya
diizinkan meninggalkan pesawat, masih harus antre menjelang proses imigrasi.
Dua jam lamanya berdiri di barisan antre itu.

Begitu tiba di depan, seorang
petugas bandara melakukan pemeriksaan lagi. Semua dokumen diperiksa teliti
lagi. Yang memeriksa mengenakan pakaian APD lengkap.

Setelah lolos pemeriksaan itu
masuk lagi ke dalam antrean berikutnya: antre mem-foto copy semua dokumen
kesehatan. Yang sudah lolos dua pemeriksaan sebelumnya. Ada mesin foto copy
Xerox di situ. 

Copy-an dokumen tersebut lantas
ditempeli kertas kuning. Artinya, itulah tanda boleh antre di tahap berikutnya.
Yakni antre untuk dilakukan pemeriksaan cepat Covid-19.

Hasil pemeriksaan itu akan
menentukan nasib. Ada tiga kemungkinan: harus karantina di rumah masing-masing,
atau harus karantina di hotel yang sudah ditunjuk. Atau juga harus langsung
masuk rumah sakit. 

Setelah melalui proses itu,
barulah bisa ke imigrasi. Untuk pemeriksaan paspor.

Sang ibu bernasib baik: kondisi
badannyi dan anak-anaknyi sangat baik. Mereka dinyatakan harus masuk karantina
di apartemen mereka sendiri.

Untuk itu dia mendapat dokumen
”lolos” dari bandara. Berarti boleh mengambil bagasi.

Tapi bukan berarti sudah bebas.
Untuk pemegang dokumen warna itu dia harus masuk lorong antrean khusus. Yakni
yang menuju bus yang sudah ditentukan. Yakni bus jurusan apartemen sang ibu.
Tidak boleh pakai taksi atau pakai bus lain.

Tapi sebelum menuju bus khusus
itu dia harus men-download Apps khusus. Yakni Apps laporan
kesehatan. Dia harus mengisi daftar pertanyaan di Apps itu. Kondisi badannya
harus selalu dilaporkan lewat ponselnya.

Sampailah sang ibu dan anak di
dekat bus. Dia harus menjalani lagi pemeriksaan suhu badan. Lalu harus
menunjukkan bahwa dia sudah memiliki Apps di ponselnyi. 

Masih ada prosedur lain lagi. Dia
hanya boleh mengarantina diri di apartemen sendiri kalau bisa memenuhi syarat
ini: tetangga di apartemen itu mengizinkan. Yang dimaksud tetangga adalah
komite penghuni apartemen (semacam pengurus) dan manajemen apartemen.

Kalau dua pihak itu tidak setuju
mereka harus karantina di hotel. Ada dua pilihan hotel. Yang tarifnya 30 dolar
dan yang 60 dolar. Itulah hotel yang sudah ditentukan. Agar pemerintah bisa
mengawasi dengan ketat.

Sang ibu cukup pede untuk
bisa diterima komite apartemen dan manajemenya. Itu karena sang ibu tinggal di
apartemen yang penghuninya mayoritas orang asing.

Sebelum sang ibu naik bus,
seorang petugas berpakaian ”astronaut” memeriksa paspor. Lalu mengambilnya.
Paspor itu baru akan dikembalikan kalau hasil tes Covid-19 sudah keluar.

Baca Juga :  Habib Ismail Mulai Gencar Cari Koalisi Pilgub 2020

Tanpa menunggu pengembalian
paspor sang ibu naik bus besar. Tidak tahu bus itu akan ke mana. Tidak semua
penumpangnya di apartemen yang sama.

Satu jam kemudian tibalah bus
besar itu di sebuah gelanggang olahraga. Sang ibu mengecek di mana lokasi itu.
Dia pun tahu. Di sebuah distrik yang dia kenal. 

Penumpang diminta turun dari bus.
Tapi diperiksa dulu nomor penumpangnya. Lalu harus masuk ke dalam antrean di sport
center
 itu. Sesuai dengan nomor dan warna kertas yang dia
pegang.

Sang ibu masuk grup 1. Maka
antrean masuk sport center itu pun harus di antrean 1.

Di dalam gelanggang olahraga
disediakan tempat duduk yang bisa disandarkan. Agar mereka bisa istirahat. Ada
juga pesawat tv dengan program video on demand.

Mereka harus lama sekali di situ.
Untuk menunggu dipanggil satu persatu. Untuk menjalani tes Covid-19.

Petugas astronaut lantas
membagikan selimut. Lalu mengantar roti yang ditaruh di kereta dorong.
Jumlahnya tak terbatas. Dibagi juga susu impor dari Jerman. Sang ibu menaruh
apresiasi tinggi atas susu itu. Orang asing di Tiongkok memang tidak biasa
minum susu lokal. Dibagi juga masker dan air dalam botol.

Jam 20.30 (berarti sudah 7 jam
setelah mendarat) namanyi dipanggil. Dua orang perawat berpakaian astronaut
membawanyi ke belakang gedung. Yakni ke halaman yang dipasangi tenda. 

Di situlah dilakukan tes
Covid-19. Yakni dengan cara diambil cairan mukus yang ada di dalam hidung
–dekat tenggorokan. 

Selesai pengambilan mukus sang
ibu kembali lagi ke kursi yang bisa disandarkan tadi. Saat inilah sang ibu
waswas. Sambil lesehan di kursi ia membayangkan: jangan-jangan hasilnya
positif. Jangan-jangan tertular saat di Amerika. Kalau sampai sang ibu positif,
berarti akan dipisah dari dua anak kecilnyi. 

Panjanglah bayangan sang ibu.
Akan di mana anaknyi. Akan di mana pula dia. Bagaimana akan bisa berkomunikasi.
Kalut.

Tapi dia juga kagum. Betapa
banyak orang yang dites di Tiongkok ini. Beda sekali dengan di Amerika. 

Bayangan itu membuat sang ibu
tidak bisa tidur. Padahal sudah jam 00.30. Untungnya anak-anaknyi lelap di
balik selimut tebal di kursi sandar itu.

Jam 02.30 terdengarlah
pengumuman. Semua penumpang bus tadi dinyatakan negatif. Bukan main leganyi.

Mereka pun boleh siap-siap
pulang. Baru siap-siapnya. Masih banyak dokumen yang harus diisi dan diperiksa.
Termasuk dokumen pernyataan tidak akan keluar dari apartemen selama 14
hari. 

Jam 04.30 barulah mereka bisa
meninggalkan sport center.

Sang ibu akhirnya bisa tiba di
apartemennya sendiri. Di Shanghai.

Tapi jam 9 pagi pintu kamarnyi
sudah diketok. Petugas berpakaian astronaut melakukan pengukuran suhu badan.
Begitu juga sore hari.

Begitulah ketatnya pemeriksaan di
Tiongkok. Sejak dari dalam pesawat sampai tiba di rumah. Itulah mengapa
Covid-19 cepat teratasi di sana.

Saat itu, pada tanggal itu,
penumpang masih begitu bebasnya keluar masuk Indonesia.(Dahlan Iskan)

 

Ini memang bacaan hari Minggu.
Tapi ibu satu ini luar biasa: Suami kerja di Amerika. Istri kerja di Shanghai.
Di manakah dua anaknya akan ”disembunyikan” dari Covid-19? 

Menariknya suami-istri itu orang
Amerika. Bukan keturunan Tionghoa. Mereka pun diskusi tentang keselamatan dua
anaknya itu. Topik diskusinya: lebih selamat di mana, di Tiongkok atau di
Amerika?

Setiap rumah tangga punya
problemnya sendiri-sendiri. Demikian juga pasangan ini.

Sejak sebelum Tiongkok dilanda
Covid-19, dua anak mereka sudah ikut ibunya di Shanghai. Mereka sekolah di kota
terbesar di Tiongkok itu.

Ketika wabah kian hebat melanda
Tiongkok, di Amerika masih tenang-tenang saja. Seperti tidak mungkin wabah yang
sama akan masuk ke Amerika.

Shanghai pun mengumumkan
sekolah-sekolah harus tutup.

Maka sang ibu mengirim dua
anaknya pulang ke Amerika. Tanpa ada yang menemani. Di bandara Washington
dijemput sang ayah. Sementara Tiongkok dilanda Covid biarlah mereka tinggal
bersama sang ayah di Washington DC.

Mereka pun pindah sekolah ke
sana. Kembali ke sekolah mereka yang lama.

Sebulan kemudian, ternyata Covid
mulai merajalela di Amerika. Cepat sekali. Mulailah ada pengumuman: sekolah
akan ditutup.

Sang istri mengikuti perkembangan
itu demi anaknyi. Dengan tingkat waswas yang tinggi.

Tak lama kemudian Tiongkok mulai
berhasil mengatasi Covid-19. Sedang Amerika kian kedodoran. Sang ibu ambil
putusan cepat: lebih selamat kalau anaknyi ditarik kembali ke Shanghai. Toh
sekolah di Washington akan ditutup.

Soal penanganan pandemi, sang
istri menjadi lebih percaya pada kemampuan Tiongkok. 

Sedang keadaan di Amerika justru
sangat mengkhawatirkannyi. Dia tidak percaya sistem di Amerika bisa bertindak
keras seperti di Tiongkok. 

Maka dia pun terbang ke
Washington DC. Menjemput sang anak. Begitu mendarat di Washington dia sudah
mengambil kesimpulan: keputusannyi benar. Yakni untuk menarik kembali anaknyi
ke Shanghai.

Saat mendarat di bandara pun dia
sudah tahu: Amerika sangat sembrono –sangat menganggap enteng pandemi ini. Dia
lihat di bandara itu: tidak ada pemeriksaan yang memadai. Di Washington pun dia
lihat sikap orang-orangnya cuek-bebek. Seperti sedang tidak ada pandemi.
Jalan-jalan raya masih ramai. Orang masih berlalu-lalang di mana-mana. Restoran
masih penuh. ”Ini bahaya,” katanyi dalam hati. 

Maka tidak sampai hitungan hari
dia sudah berangkat lagi ke bandara. Bersama dua anaknyi. Tujuannya bulat:
Shanghai. Anaknyi akan lebih aman daripada di Amerika.

Hanya 36 jam sang ibu di
Amerika. 

Kelak, beberapa hari kemudian,
dia merasa lebih benar lagi. Yakni ketika dia ikuti perkembangan Covid-19 di
Amerika. Yang korbannya terus meroket seperti tak terkendali.

Itulah gambaran seorang ibu yang
lagi terjepit pandemi di antara dua benua.

Kisah berikutnya tidak hanya
menarik, tapi juga penting bagi kita. Agar kita tahu beginilah cara mengelola
masyarakat di tengah pandemi. Harian South China Morning Post, Hongkong, memuat
kisah sang ibu itu. Tanpa menyebutkan nama dan identitas lengkap.

Begitu mendarat kembali di
Shanghai sang ibu menemukan suasana yang begitu berbeda. Begitu ketat. Padahal
wabah sudah mulai bisa diatasi di Shanghai.

Baca Juga :  Diwung, Dilantik Sebagai Pejabat Administrator Pemprov Kalteng

Tanggal 15 Maret 2020 dia
mendarat kembali di bandara Shanghai. Bersama dua anaknyi. Suasananya berbeda
sekali dengan di bandara Amerika. 

Penumpang pesawat tidak boleh
langsung meninggalkan pesawat. Harus lama duduk manis di dalam dulu. Sampai
semua pemeriksaan selesai. Satu persatu ditanya tentang keadaan badan mereka.
Suhu badan. Obat yang sedang di makan. Pernah pergi ke kota mana saja. Banyak
dokumen kesehatan yang harus diisi. Lalu diperiksa begitu teliti. Dua jam
lamanya ibu dan anak Amerika itu berada di dalam pesawat. 

Ketika penumpang akhirnya
diizinkan meninggalkan pesawat, masih harus antre menjelang proses imigrasi.
Dua jam lamanya berdiri di barisan antre itu.

Begitu tiba di depan, seorang
petugas bandara melakukan pemeriksaan lagi. Semua dokumen diperiksa teliti
lagi. Yang memeriksa mengenakan pakaian APD lengkap.

Setelah lolos pemeriksaan itu
masuk lagi ke dalam antrean berikutnya: antre mem-foto copy semua dokumen
kesehatan. Yang sudah lolos dua pemeriksaan sebelumnya. Ada mesin foto copy
Xerox di situ. 

Copy-an dokumen tersebut lantas
ditempeli kertas kuning. Artinya, itulah tanda boleh antre di tahap berikutnya.
Yakni antre untuk dilakukan pemeriksaan cepat Covid-19.

Hasil pemeriksaan itu akan
menentukan nasib. Ada tiga kemungkinan: harus karantina di rumah masing-masing,
atau harus karantina di hotel yang sudah ditunjuk. Atau juga harus langsung
masuk rumah sakit. 

Setelah melalui proses itu,
barulah bisa ke imigrasi. Untuk pemeriksaan paspor.

Sang ibu bernasib baik: kondisi
badannyi dan anak-anaknyi sangat baik. Mereka dinyatakan harus masuk karantina
di apartemen mereka sendiri.

Untuk itu dia mendapat dokumen
”lolos” dari bandara. Berarti boleh mengambil bagasi.

Tapi bukan berarti sudah bebas.
Untuk pemegang dokumen warna itu dia harus masuk lorong antrean khusus. Yakni
yang menuju bus yang sudah ditentukan. Yakni bus jurusan apartemen sang ibu.
Tidak boleh pakai taksi atau pakai bus lain.

Tapi sebelum menuju bus khusus
itu dia harus men-download Apps khusus. Yakni Apps laporan
kesehatan. Dia harus mengisi daftar pertanyaan di Apps itu. Kondisi badannya
harus selalu dilaporkan lewat ponselnya.

Sampailah sang ibu dan anak di
dekat bus. Dia harus menjalani lagi pemeriksaan suhu badan. Lalu harus
menunjukkan bahwa dia sudah memiliki Apps di ponselnyi. 

Masih ada prosedur lain lagi. Dia
hanya boleh mengarantina diri di apartemen sendiri kalau bisa memenuhi syarat
ini: tetangga di apartemen itu mengizinkan. Yang dimaksud tetangga adalah
komite penghuni apartemen (semacam pengurus) dan manajemen apartemen.

Kalau dua pihak itu tidak setuju
mereka harus karantina di hotel. Ada dua pilihan hotel. Yang tarifnya 30 dolar
dan yang 60 dolar. Itulah hotel yang sudah ditentukan. Agar pemerintah bisa
mengawasi dengan ketat.

Sang ibu cukup pede untuk
bisa diterima komite apartemen dan manajemenya. Itu karena sang ibu tinggal di
apartemen yang penghuninya mayoritas orang asing.

Sebelum sang ibu naik bus,
seorang petugas berpakaian ”astronaut” memeriksa paspor. Lalu mengambilnya.
Paspor itu baru akan dikembalikan kalau hasil tes Covid-19 sudah keluar.

Baca Juga :  Habib Ismail Mulai Gencar Cari Koalisi Pilgub 2020

Tanpa menunggu pengembalian
paspor sang ibu naik bus besar. Tidak tahu bus itu akan ke mana. Tidak semua
penumpangnya di apartemen yang sama.

Satu jam kemudian tibalah bus
besar itu di sebuah gelanggang olahraga. Sang ibu mengecek di mana lokasi itu.
Dia pun tahu. Di sebuah distrik yang dia kenal. 

Penumpang diminta turun dari bus.
Tapi diperiksa dulu nomor penumpangnya. Lalu harus masuk ke dalam antrean di sport
center
 itu. Sesuai dengan nomor dan warna kertas yang dia
pegang.

Sang ibu masuk grup 1. Maka
antrean masuk sport center itu pun harus di antrean 1.

Di dalam gelanggang olahraga
disediakan tempat duduk yang bisa disandarkan. Agar mereka bisa istirahat. Ada
juga pesawat tv dengan program video on demand.

Mereka harus lama sekali di situ.
Untuk menunggu dipanggil satu persatu. Untuk menjalani tes Covid-19.

Petugas astronaut lantas
membagikan selimut. Lalu mengantar roti yang ditaruh di kereta dorong.
Jumlahnya tak terbatas. Dibagi juga susu impor dari Jerman. Sang ibu menaruh
apresiasi tinggi atas susu itu. Orang asing di Tiongkok memang tidak biasa
minum susu lokal. Dibagi juga masker dan air dalam botol.

Jam 20.30 (berarti sudah 7 jam
setelah mendarat) namanyi dipanggil. Dua orang perawat berpakaian astronaut
membawanyi ke belakang gedung. Yakni ke halaman yang dipasangi tenda. 

Di situlah dilakukan tes
Covid-19. Yakni dengan cara diambil cairan mukus yang ada di dalam hidung
–dekat tenggorokan. 

Selesai pengambilan mukus sang
ibu kembali lagi ke kursi yang bisa disandarkan tadi. Saat inilah sang ibu
waswas. Sambil lesehan di kursi ia membayangkan: jangan-jangan hasilnya
positif. Jangan-jangan tertular saat di Amerika. Kalau sampai sang ibu positif,
berarti akan dipisah dari dua anak kecilnyi. 

Panjanglah bayangan sang ibu.
Akan di mana anaknyi. Akan di mana pula dia. Bagaimana akan bisa berkomunikasi.
Kalut.

Tapi dia juga kagum. Betapa
banyak orang yang dites di Tiongkok ini. Beda sekali dengan di Amerika. 

Bayangan itu membuat sang ibu
tidak bisa tidur. Padahal sudah jam 00.30. Untungnya anak-anaknyi lelap di
balik selimut tebal di kursi sandar itu.

Jam 02.30 terdengarlah
pengumuman. Semua penumpang bus tadi dinyatakan negatif. Bukan main leganyi.

Mereka pun boleh siap-siap
pulang. Baru siap-siapnya. Masih banyak dokumen yang harus diisi dan diperiksa.
Termasuk dokumen pernyataan tidak akan keluar dari apartemen selama 14
hari. 

Jam 04.30 barulah mereka bisa
meninggalkan sport center.

Sang ibu akhirnya bisa tiba di
apartemennya sendiri. Di Shanghai.

Tapi jam 9 pagi pintu kamarnyi
sudah diketok. Petugas berpakaian astronaut melakukan pengukuran suhu badan.
Begitu juga sore hari.

Begitulah ketatnya pemeriksaan di
Tiongkok. Sejak dari dalam pesawat sampai tiba di rumah. Itulah mengapa
Covid-19 cepat teratasi di sana.

Saat itu, pada tanggal itu,
penumpang masih begitu bebasnya keluar masuk Indonesia.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru