26.5 C
Jakarta
Sunday, April 20, 2025

Rapid Test

Test kilat telah jadi bisnis tersendiri. Juga telah menjadi
sumber pengurasan anggaran negara dan daerah.

Hanya
satu daerah yang tidak menganggarkan pembelian alat rapid
test
: Sumatera Barat. Alasan utamanya sangat ilmiah: “Rapid test tidak bisa dipercaya,”
ujar dokter Andani Eka Putra kepada DI’s Way kemarin.

Di
sana semua test dilakukan dengan PCR —swab
test
. Yang hasilnya praktis 100 persen bisa dipercaya.

Kuncinya
ada di penemuan ilmiah oleh dokter Andani Eka Putra, Kepala Pusat Laboratorium
Universitas Andalas Padang itu. Di sana test
swab
 itu bisa dilakukan dengan cepat: hasilnya bisa diketahui dalam 24
jam. Dengan kapasitas yang sangat besar: 3.500 sehari (DI’s Way: Tirani Minoritas)

Sudah
lebih tiga bulan Sumbar melakukan itu. Sampai hari ini sudah 55.000 yang dites
di sana. Padahal penduduknya hanya sekitar 7 juta.

Satu
laboratorium di universitas itu sampai kekurangan sampel untuk dites.

Karena
itu tidak ada zona merah di Sumbar. Paling tinggi oranye. Itu pun hanya di satu
kota: Padang. Sumbar juga sudah memutuskan akan membuka sekolah yang sudah lama
mulai Senin depan. Khususnya di 4 daerah.

Kalau
daerah di luar Sumbar kuwalahan melakukan tes, di Sumbar sampai menggratiskan.
Misalnya untuk pedagang dan pengunjung pasar, anak sekolah dan pesantren.

Seharusnya
yang ingin bepergian pun bisa dites gratis di situ. Tapi tidak bisa. Peraturan
menyebutkan hanya rumah sakit yang boleh mengeluarkan surat keterangan untuk
perjalanan.

Baca Juga :  Tak Relevan Perda Pengelolaan Asrama Mahasiswa Dicabut

DI’s
Way pun sudah menuliskan penemuan itu sampai tiga kali. Sampai sungkan. Sampai
seperti promosi untuk dokter Andani, Universitas Andalas dan juga Sumbar.

Padahal
tidak ada maksud lain kecuali agar menginspirasi daerah lain. Sayang kebaikan
ini sulit menular. Kalah dengan penularan demam rapid
test
.

Respons
dari daerah lain sangat minim. Pun tidak ada kebijakan nasional yang mendukung
penyebaran temuan itu.

Padahal
penemuan dokter Andani itu tinggal di-copy.
Dokter Andani sendiri mau membagi ilmunya itu. Secara suka rela.

Semua
uraian ilmiahnya bisa didapat dengan gratis. Pun dokter Andani bersedia
memberikan tutorialnya. Secara gratis.

“Bagi
saya ini jihad. Rakyat harus diselamatkan dari Covid-19,” ujar Andani.

Akhirnya
memang ada permintaan dari Jatim. Kabarnya. DI’s Way belum berhasil menelusuri
apakah benar Jatim sudah mulai meminta.

Kalau
pun ada permintaan seperti itu sudah sangat telat. Jatim telanjur dinilai babak
belur –oleh tingginya angka Covid-19 maupun oleh konflik antara Gubernur
Khofifah Indar Parawansa dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini.

Apakah
betul ada permintaan dari Jatim itu? Dokter Andani belum tahu.

“Seandainya
ada pun saya harus bertanya dulu. Apakah Jatim benar-benar minta dibantu,”
ujar Andani kemarin. “Kalau misalnya saya nanti ke Surabaya tapi respons
di sana dingin, saya yang tidak enak,” ujarnya.

“Kalau
seperti itu tidak akan berhasil,” tambahnya. Saya pun harus minta maaf
kepada pembaca DI’s Way.

Baca Juga :  Gerdayak Tegaskan Dukungan Untuk Program Food Estate di Kalteng

Kolom
ini telah banyak terbuang untuk promosi penemuan cara lebih cepat melakukan test swab ala Sumbar itu.

Saya
jadi ingat ceramah Prof Djohansjah Marzoeki, pelopor bedah plastik di Surabaya.
“Sering sekali masalah ilmiah kalah dengan ego,” ujarnya saat
memberikan tribute lecture dua
tahun tahun lalu.

“Masalah
ilmiah juga sering kalah dengan subyektivitas,” tambahnya.

Saya
tidak akan lupa isi ceramah itu. Kampus yang seharusnya menjadi lembaga ilmiah
dalam praktek sering tidak ilmiah. Acara hari itu mestinya untuk kalangan
akademisi Unair. Sebagai penghargaan atas jasa luar biasa Djohansjah ke
almamater. Saya diundang untuk hadir.

Prof
Djohansjah dianggap sangat berjasa untuk Uniar khususnya untuk Fakultas
Kedokteran. Karena itu acara tersebut diadakan khusus oleh junior-juniornya di
aula fakultas kedokteran.

Tentu
tidak hanya kampus yang harus menjunjung tinggi ilmu. Lembaga seperti
laboratorium pun seharusnya juga. Tapi begitu sulit untuk mengakui penemuan
ilmiah oleh laboratirium lain.

Pun
di kampus. Ego masih lebih sering tampil daripada ilmu. Termasuk dalam hal
penyelamatan manusia. Akibatnya lebih enak ambil jalan pintas: rapid test. Tinggal beli alat. Yang bisa
diimpor dengan mudah. Soal efektivitas bisa disisihkan.

Dan rapid test sudah menjadi bisnis besar.
Juga sudah ikut menguras anggaran publik.

Siapa
pun yang melakukan perjalanan antar daerah harus melakukan itu.

Yang
ilmiah pun juga sering kalah dengan bisnis.(Dahlan Iskan)

 

Test kilat telah jadi bisnis tersendiri. Juga telah menjadi
sumber pengurasan anggaran negara dan daerah.

Hanya
satu daerah yang tidak menganggarkan pembelian alat rapid
test
: Sumatera Barat. Alasan utamanya sangat ilmiah: “Rapid test tidak bisa dipercaya,”
ujar dokter Andani Eka Putra kepada DI’s Way kemarin.

Di
sana semua test dilakukan dengan PCR —swab
test
. Yang hasilnya praktis 100 persen bisa dipercaya.

Kuncinya
ada di penemuan ilmiah oleh dokter Andani Eka Putra, Kepala Pusat Laboratorium
Universitas Andalas Padang itu. Di sana test
swab
 itu bisa dilakukan dengan cepat: hasilnya bisa diketahui dalam 24
jam. Dengan kapasitas yang sangat besar: 3.500 sehari (DI’s Way: Tirani Minoritas)

Sudah
lebih tiga bulan Sumbar melakukan itu. Sampai hari ini sudah 55.000 yang dites
di sana. Padahal penduduknya hanya sekitar 7 juta.

Satu
laboratorium di universitas itu sampai kekurangan sampel untuk dites.

Karena
itu tidak ada zona merah di Sumbar. Paling tinggi oranye. Itu pun hanya di satu
kota: Padang. Sumbar juga sudah memutuskan akan membuka sekolah yang sudah lama
mulai Senin depan. Khususnya di 4 daerah.

Kalau
daerah di luar Sumbar kuwalahan melakukan tes, di Sumbar sampai menggratiskan.
Misalnya untuk pedagang dan pengunjung pasar, anak sekolah dan pesantren.

Seharusnya
yang ingin bepergian pun bisa dites gratis di situ. Tapi tidak bisa. Peraturan
menyebutkan hanya rumah sakit yang boleh mengeluarkan surat keterangan untuk
perjalanan.

Baca Juga :  Tak Relevan Perda Pengelolaan Asrama Mahasiswa Dicabut

DI’s
Way pun sudah menuliskan penemuan itu sampai tiga kali. Sampai sungkan. Sampai
seperti promosi untuk dokter Andani, Universitas Andalas dan juga Sumbar.

Padahal
tidak ada maksud lain kecuali agar menginspirasi daerah lain. Sayang kebaikan
ini sulit menular. Kalah dengan penularan demam rapid
test
.

Respons
dari daerah lain sangat minim. Pun tidak ada kebijakan nasional yang mendukung
penyebaran temuan itu.

Padahal
penemuan dokter Andani itu tinggal di-copy.
Dokter Andani sendiri mau membagi ilmunya itu. Secara suka rela.

Semua
uraian ilmiahnya bisa didapat dengan gratis. Pun dokter Andani bersedia
memberikan tutorialnya. Secara gratis.

“Bagi
saya ini jihad. Rakyat harus diselamatkan dari Covid-19,” ujar Andani.

Akhirnya
memang ada permintaan dari Jatim. Kabarnya. DI’s Way belum berhasil menelusuri
apakah benar Jatim sudah mulai meminta.

Kalau
pun ada permintaan seperti itu sudah sangat telat. Jatim telanjur dinilai babak
belur –oleh tingginya angka Covid-19 maupun oleh konflik antara Gubernur
Khofifah Indar Parawansa dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini.

Apakah
betul ada permintaan dari Jatim itu? Dokter Andani belum tahu.

“Seandainya
ada pun saya harus bertanya dulu. Apakah Jatim benar-benar minta dibantu,”
ujar Andani kemarin. “Kalau misalnya saya nanti ke Surabaya tapi respons
di sana dingin, saya yang tidak enak,” ujarnya.

“Kalau
seperti itu tidak akan berhasil,” tambahnya. Saya pun harus minta maaf
kepada pembaca DI’s Way.

Baca Juga :  Gerdayak Tegaskan Dukungan Untuk Program Food Estate di Kalteng

Kolom
ini telah banyak terbuang untuk promosi penemuan cara lebih cepat melakukan test swab ala Sumbar itu.

Saya
jadi ingat ceramah Prof Djohansjah Marzoeki, pelopor bedah plastik di Surabaya.
“Sering sekali masalah ilmiah kalah dengan ego,” ujarnya saat
memberikan tribute lecture dua
tahun tahun lalu.

“Masalah
ilmiah juga sering kalah dengan subyektivitas,” tambahnya.

Saya
tidak akan lupa isi ceramah itu. Kampus yang seharusnya menjadi lembaga ilmiah
dalam praktek sering tidak ilmiah. Acara hari itu mestinya untuk kalangan
akademisi Unair. Sebagai penghargaan atas jasa luar biasa Djohansjah ke
almamater. Saya diundang untuk hadir.

Prof
Djohansjah dianggap sangat berjasa untuk Uniar khususnya untuk Fakultas
Kedokteran. Karena itu acara tersebut diadakan khusus oleh junior-juniornya di
aula fakultas kedokteran.

Tentu
tidak hanya kampus yang harus menjunjung tinggi ilmu. Lembaga seperti
laboratorium pun seharusnya juga. Tapi begitu sulit untuk mengakui penemuan
ilmiah oleh laboratirium lain.

Pun
di kampus. Ego masih lebih sering tampil daripada ilmu. Termasuk dalam hal
penyelamatan manusia. Akibatnya lebih enak ambil jalan pintas: rapid test. Tinggal beli alat. Yang bisa
diimpor dengan mudah. Soal efektivitas bisa disisihkan.

Dan rapid test sudah menjadi bisnis besar.
Juga sudah ikut menguras anggaran publik.

Siapa
pun yang melakukan perjalanan antar daerah harus melakukan itu.

Yang
ilmiah pun juga sering kalah dengan bisnis.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru