32.6 C
Jakarta
Saturday, April 19, 2025

Beda Derajat

Sssstttt…! Saya ke
Probolinggo kemarin. Tetap dengan protokol Covid-19.

Apalagi keberangkatan saya itu
untuk melihat pabrik APD, masker, dan baju operasi dokter. 

Tapi, bagi saya, yang lebih
penting adalah siapa di balik pabrik itu: Haji Mohammad Supriyono. Tumben ada
”haji dan mohammad” punya pabrik tekstil besar. Nama pabrik itu PT. Putrateja
Sempurna.


Dan ia orang MA –Magetan Asli.
Yang kawin dengan wanita MA –Madura Asli.

Meski sama-sama Magetan –dan
sama-sama pengusaha– saya tidak pernah mengenalnya. Mungkin karena ia kawin
dengan MA sedang saya kawin dengan BA –Banjar Asli.

Kok saya ke Probolinggo?
Awalnya gegara saya lewat di depan TV. Terdengar suara: ada pabrik APD di
Probolinggo. Saya pun menoleh ke layar TV. Sambil tetap berdiri. Lho ada
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa di situ. Lagi meninjau pabrik itu. Saya
pun cari tahu: siapa yang punya.

Ketemulah nomor ponsel ”Haji
Mohammad” itu.

Ternyata ia kelahiran Sarangan
–pusat rekreasi di lereng tenggara Gunung Lawu. Rumahnya dekat Danau Sarangan
–saya masih ingat lagu keroncong tentang teduhnya danau ini. Dulu. 

Derajat ”Haji Mohammad” ini
jauh lebih tinggi dari saya –ia di gunung, saya di ngarainya. Mungkin selisih
31 derajat.

Akhirnya kami bertemu.

Ya baru di pabriknya kemarin
itu pertama kali saya bertemu. Saya tidak memanggilnya Pak Haji. Atau Pak
Mohammad. Saya memanggilnya Mas Pri –H.M. Supriyono.

Saya terkagung-kagum melihat
ada orang Magetan punya pabrik tekstil sebesar ini. Dan otaknya begitu
encernya: begitu ada wabah langsung banting setir.

Produksi garmennya langsung
dihentikan –sementara. Pindah ikut mengatasi kelangkaan APD, masker, dan baju
operasi.

Padahal Mas Pri biasa
memproduksi baju dan celana merk luar negeri –yang sebagian dijual kembali ke
Indonesia. Uniqlo pun dibuat di sini.

Dan sekarang total ke APD dan
masker. 

Order APD pertamanya sebanyak 1
juta. Harus selesai dalam satu bulan. Target itu berhasil ia penuhi. Maka
datanglah juta kedua, juta ketiga….

Satu pabriknya khusus membuat
APD. Satu pabrik lagi membuat masker. Pabrik yang lain lagi membuat jubah
dokter warna hijau. Tiga pabrik tersebut berlokasi di pinggir barat Kota
Probolinggo –saling terpisah di jarak sekitar 5 Km.

Sekarang sudah ada jalan tol
dari Surabaya ke sana. Tapi untuk menghindari pemeriksaan PSBB, saya lewat
jalur aman. Akibatnya perlu waktu 2 jam. Baru pulangnya saya lewat tol –hanya
satu jam. 

Meski saya kelahiran Magetan
tapi belum pernah ke Sarangan –sampai umur 25 tahun. Tidak ada kata rekreasi
di kehidupan keluarga kami saat itu. Tapi tiap hari sebenarnya saya sudah
rekreasi –berenang di sungai yang diawali dengan terjun ke air dari atas
jembatan.

Tidak ada sungai yang bisa
dibuat renang di lereng Gunung Lawu. Rekreasi Mas Pri ternyata tidak kalah
asyiknya. Itu karena tidak ada SMP di desa Sarangan. SMP terdekat adalah di
Plaosan –ibu kota kecamatan. Mas Pri harus jalan kaki ke sekolah.

Baca Juga :  Kader Demokrat Diingatkan untuk Bersikap Legawa

Berangkatnya sih sepele:
tinggal menuruni lereng gunung –meski curam. Tapi, pulang sekolah, di saat
perut sudah lapar, harus mendaki. Dan mendaki.

”Sepatu dan baju saya lepas.
Biar tidak kotor dan tidak rusak,” ujar Mas Pri mengenang masa SMP itu. 

Saya belakangan juga sering
mengenang Plaosan. Ke tebing gunung di Plaosan itulah saya sengaja menabrakkan
mobil listrik –agar tidak menabrak orang banyak. 

Tamat SMP Plaosan Mas Pri harus ngenger ikut
pamannya yang di Kediri. Agar bisa melanjutkan sekolah. Ia pun masuk STM di
Kediri –jurusan mesin. 

Sejak itu Mas Pri menyukai
pelajaran bahasa Inggris. Ia belajar keras. Tamat STM ia sudah percaya diri
saat melihat ada lowongan pekerjaan di koran. Akan ada pabrik tekstil baru di
Probolinggo. Milik investor asing dari Hongkong.

Ia pun melamar dan diterima.
Sambil menunggu pabrik selesai dibangun Mas Pri disekolahkan ke Hongkong. Tiga
bulan. Ke Filipina, 3 bulan. Ke Australia, 3 bulan. 

Siang hari Mas Pri bekerja di
pabrik itu. Malamnya membuka kursus bahasa Inggris. Salah satu muridnya adalah
putri seorang polisi –itulah istrinya sampai sekarang.

Selama 20 tahun bekerja di
perusahaan Hongkong itu Mas Pri sering dikirim ke luar negeri. Yakni ke
negara-negara yang mengimpor pakaian dari Probolinggo itu. Produsen harus bisa
memenuhi apa saja persyaratan dari pembeli. Yang cenderung sangat cerewet. Mendetail.
Rumit.

Persyaratan itu kian tahun kian
bertambah. Harus tetap dipenuhi. Agar perusahaan tetap hidup.

Yang tergolong baru adalah
persyaratan harus ”anti teroris”. Proses produksi pakaian pesanan itu harus
direkam oleh kamera. Hasilnya harus dikirim ke pengimpor. Terutama proses
pengepakannya. Yang harus bisa menghindari peluang kiriman baju itu dicampur
mesiu. 

Misalnya setelah semua pakaian
dimasukkan kemasan, box itu harus
ditempatkan di gudang khusus. Yang harus direkam kamera. Agar tidak ada orang
yang bisa masuk gudang itu –untuk menitipkan barang berbahaya. 

Besarnya pintu gudang pun sudah
ditentukan. Harus sama besar dengan ukuran pintu belakang kontainer. Dengan
demikian ketika pantat kontainer itu mundur ke pintu posisinya pas –tidak ada
celah sedikit pun yang bisa dimasuki orang tak dikenal.

Demikian juga saat memasukkan
boks-boks itu ke kontainer. Harus sampai benar-benar penuh. Ukuran boks-nya pun
sudah ditentukan. Agar tidak ada sela sedikit pun. Semua harus direkam. Hasil
remakan harus dikirim ke Amerika.

Semua itu membuat Mas Pri
sangat profesional. Keharusan comply dengan
tuntutan pembeli membuat orang punya sikap yang correct

Mas Pri sampai merasa disayang
oleh pemilik pabrik Hongkong itu. Yang hanya ke Probolinggo setahun sekali. Tapi
hubungan itu berubah ketika perusahaan go public. Apalagi setelah
bos besar meninggal dunia. Dan kepemilikan pabrik berpindah.

Baca Juga :  Tanpa Sopir Pribadi, Sugianto Sabran Ikuti Pengambilan Nomor Urut

Mas Pri pun merasa komitmen
profesionalnya yang tinggi ikut berakhir. Maka ia pun mulai merintis usaha
sendiri. Semula hanya di rumah mertuanya: 10 mesin jahit. Lama-lama menjadi 100
mesin. Sang MA-lah yang menjalankan industri rumahan itu.

Produknya adalah mukena dan
baju koko. Tidak boleh produk yang sama dengan pabrik milik Hongkong itu. 

Setelah rumah mertua tidak
cukup lagi Mas Pri mulai berpikir untuk berhenti sebagai profesional. Toh sudah
20 tahun. Ia berniat menjadi wirausaha mandiri.

Berdirilah pabrik pertama.
Sekitar 5 Km dari pabrik milik Hongkong itu. Lalu pabrik kedua dan ketiga.

Ia merasa mendapat bekal yang
cukup selama ikut perusahaan Hongkong itu. Mas Pri-lah yang membidani produksi
celana jeans Levi’s seri 501 yang legendaris itu. Kalau di kancing celana kain
itu ada angka 133, itulah bikinan Mas Pri dan tim-nya. Angka 133 sebagai tanda
bahwa Levi’s itu bikinan Probolinggo. Bikinan negara lain menggunakan nomor
yang berbeda.

Pabrik tekstil milik Hongkong
itu masih tetap maju. Sekarang ini. Lahannya sudah menjadi 7 hektare.
Karyawannya sudah 7.000 orang. 

Pabrik Mas Pri juga terus
berkembang. Kini sudah memiliki hampir 2.000 mesin jahit.

Dua orang anaknya juga sudah
bisa membantu bapak mereka: yang sulung di bidang IT, yang kedua memegang
pabrik.

Dua anaknya itu lulusan
Malaysia semua. ”Waktu kuliah mereka cari uang sendiri. Dengan cara menjadi
guru mengaji Alquran di sana,” ujar Mas Pri.

Saya lihat tiga pabrik Mas Pri
lagi berjalan di kapasitas penuh. 100 persen untuk urusan wabah Covid-19.

Saya pun diajak sampai ke
belakang. ”Tuh, semua dihentikan dulu,” ujarnya sambil menunjuk tumpukan baju
dan celana merk internasional.

Di pabrik ini tidak ada lonceng
tanda istirihat. ”Loncengnya azan zuhur dan asar,” ujar Mas Pri.

Tepat sekali. Saat saya di
salah satu pabriknya, azan zuhur berkumandang. Semua karyawan meninggalkan
tempat kerja. Menuju gedung aula yang merangkap musala: salat berjamaah.

Saya sendiri akhirnya agak lama
di pabrik itu. Gegara Aa Gym ternyata harus berdialog dengan saya lewat Zoom.
Saat itu juga. Maka jadilah dialog itu dengan latar belakang produksi APD. Yang
suara gemerisiknya kadang tercampur dengan suara Aa Gym. Saya pun merasa kurang
sopan bersuara setengah teriak di depan ulama besar itu.

Ramainya pabrik tekstil di kala
Covid ini membuat saya ingat Dunia Tekstil. Pabrik besar yang menghebohkan itu.
Yang bermasalah itu. Dunia Tekstil tidak seperti sabar menunggu rejeki baru.

Rejeki selalu datang kapan
saja. Kita saja yang kadang tidak lagi siap menerimanya. (Dahlan Iskan)

Sssstttt…! Saya ke
Probolinggo kemarin. Tetap dengan protokol Covid-19.

Apalagi keberangkatan saya itu
untuk melihat pabrik APD, masker, dan baju operasi dokter. 

Tapi, bagi saya, yang lebih
penting adalah siapa di balik pabrik itu: Haji Mohammad Supriyono. Tumben ada
”haji dan mohammad” punya pabrik tekstil besar. Nama pabrik itu PT. Putrateja
Sempurna.


Dan ia orang MA –Magetan Asli.
Yang kawin dengan wanita MA –Madura Asli.

Meski sama-sama Magetan –dan
sama-sama pengusaha– saya tidak pernah mengenalnya. Mungkin karena ia kawin
dengan MA sedang saya kawin dengan BA –Banjar Asli.

Kok saya ke Probolinggo?
Awalnya gegara saya lewat di depan TV. Terdengar suara: ada pabrik APD di
Probolinggo. Saya pun menoleh ke layar TV. Sambil tetap berdiri. Lho ada
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa di situ. Lagi meninjau pabrik itu. Saya
pun cari tahu: siapa yang punya.

Ketemulah nomor ponsel ”Haji
Mohammad” itu.

Ternyata ia kelahiran Sarangan
–pusat rekreasi di lereng tenggara Gunung Lawu. Rumahnya dekat Danau Sarangan
–saya masih ingat lagu keroncong tentang teduhnya danau ini. Dulu. 

Derajat ”Haji Mohammad” ini
jauh lebih tinggi dari saya –ia di gunung, saya di ngarainya. Mungkin selisih
31 derajat.

Akhirnya kami bertemu.

Ya baru di pabriknya kemarin
itu pertama kali saya bertemu. Saya tidak memanggilnya Pak Haji. Atau Pak
Mohammad. Saya memanggilnya Mas Pri –H.M. Supriyono.

Saya terkagung-kagum melihat
ada orang Magetan punya pabrik tekstil sebesar ini. Dan otaknya begitu
encernya: begitu ada wabah langsung banting setir.

Produksi garmennya langsung
dihentikan –sementara. Pindah ikut mengatasi kelangkaan APD, masker, dan baju
operasi.

Padahal Mas Pri biasa
memproduksi baju dan celana merk luar negeri –yang sebagian dijual kembali ke
Indonesia. Uniqlo pun dibuat di sini.

Dan sekarang total ke APD dan
masker. 

Order APD pertamanya sebanyak 1
juta. Harus selesai dalam satu bulan. Target itu berhasil ia penuhi. Maka
datanglah juta kedua, juta ketiga….

Satu pabriknya khusus membuat
APD. Satu pabrik lagi membuat masker. Pabrik yang lain lagi membuat jubah
dokter warna hijau. Tiga pabrik tersebut berlokasi di pinggir barat Kota
Probolinggo –saling terpisah di jarak sekitar 5 Km.

Sekarang sudah ada jalan tol
dari Surabaya ke sana. Tapi untuk menghindari pemeriksaan PSBB, saya lewat
jalur aman. Akibatnya perlu waktu 2 jam. Baru pulangnya saya lewat tol –hanya
satu jam. 

Meski saya kelahiran Magetan
tapi belum pernah ke Sarangan –sampai umur 25 tahun. Tidak ada kata rekreasi
di kehidupan keluarga kami saat itu. Tapi tiap hari sebenarnya saya sudah
rekreasi –berenang di sungai yang diawali dengan terjun ke air dari atas
jembatan.

Tidak ada sungai yang bisa
dibuat renang di lereng Gunung Lawu. Rekreasi Mas Pri ternyata tidak kalah
asyiknya. Itu karena tidak ada SMP di desa Sarangan. SMP terdekat adalah di
Plaosan –ibu kota kecamatan. Mas Pri harus jalan kaki ke sekolah.

Baca Juga :  Kader Demokrat Diingatkan untuk Bersikap Legawa

Berangkatnya sih sepele:
tinggal menuruni lereng gunung –meski curam. Tapi, pulang sekolah, di saat
perut sudah lapar, harus mendaki. Dan mendaki.

”Sepatu dan baju saya lepas.
Biar tidak kotor dan tidak rusak,” ujar Mas Pri mengenang masa SMP itu. 

Saya belakangan juga sering
mengenang Plaosan. Ke tebing gunung di Plaosan itulah saya sengaja menabrakkan
mobil listrik –agar tidak menabrak orang banyak. 

Tamat SMP Plaosan Mas Pri harus ngenger ikut
pamannya yang di Kediri. Agar bisa melanjutkan sekolah. Ia pun masuk STM di
Kediri –jurusan mesin. 

Sejak itu Mas Pri menyukai
pelajaran bahasa Inggris. Ia belajar keras. Tamat STM ia sudah percaya diri
saat melihat ada lowongan pekerjaan di koran. Akan ada pabrik tekstil baru di
Probolinggo. Milik investor asing dari Hongkong.

Ia pun melamar dan diterima.
Sambil menunggu pabrik selesai dibangun Mas Pri disekolahkan ke Hongkong. Tiga
bulan. Ke Filipina, 3 bulan. Ke Australia, 3 bulan. 

Siang hari Mas Pri bekerja di
pabrik itu. Malamnya membuka kursus bahasa Inggris. Salah satu muridnya adalah
putri seorang polisi –itulah istrinya sampai sekarang.

Selama 20 tahun bekerja di
perusahaan Hongkong itu Mas Pri sering dikirim ke luar negeri. Yakni ke
negara-negara yang mengimpor pakaian dari Probolinggo itu. Produsen harus bisa
memenuhi apa saja persyaratan dari pembeli. Yang cenderung sangat cerewet. Mendetail.
Rumit.

Persyaratan itu kian tahun kian
bertambah. Harus tetap dipenuhi. Agar perusahaan tetap hidup.

Yang tergolong baru adalah
persyaratan harus ”anti teroris”. Proses produksi pakaian pesanan itu harus
direkam oleh kamera. Hasilnya harus dikirim ke pengimpor. Terutama proses
pengepakannya. Yang harus bisa menghindari peluang kiriman baju itu dicampur
mesiu. 

Misalnya setelah semua pakaian
dimasukkan kemasan, box itu harus
ditempatkan di gudang khusus. Yang harus direkam kamera. Agar tidak ada orang
yang bisa masuk gudang itu –untuk menitipkan barang berbahaya. 

Besarnya pintu gudang pun sudah
ditentukan. Harus sama besar dengan ukuran pintu belakang kontainer. Dengan
demikian ketika pantat kontainer itu mundur ke pintu posisinya pas –tidak ada
celah sedikit pun yang bisa dimasuki orang tak dikenal.

Demikian juga saat memasukkan
boks-boks itu ke kontainer. Harus sampai benar-benar penuh. Ukuran boks-nya pun
sudah ditentukan. Agar tidak ada sela sedikit pun. Semua harus direkam. Hasil
remakan harus dikirim ke Amerika.

Semua itu membuat Mas Pri
sangat profesional. Keharusan comply dengan
tuntutan pembeli membuat orang punya sikap yang correct

Mas Pri sampai merasa disayang
oleh pemilik pabrik Hongkong itu. Yang hanya ke Probolinggo setahun sekali. Tapi
hubungan itu berubah ketika perusahaan go public. Apalagi setelah
bos besar meninggal dunia. Dan kepemilikan pabrik berpindah.

Baca Juga :  Tanpa Sopir Pribadi, Sugianto Sabran Ikuti Pengambilan Nomor Urut

Mas Pri pun merasa komitmen
profesionalnya yang tinggi ikut berakhir. Maka ia pun mulai merintis usaha
sendiri. Semula hanya di rumah mertuanya: 10 mesin jahit. Lama-lama menjadi 100
mesin. Sang MA-lah yang menjalankan industri rumahan itu.

Produknya adalah mukena dan
baju koko. Tidak boleh produk yang sama dengan pabrik milik Hongkong itu. 

Setelah rumah mertua tidak
cukup lagi Mas Pri mulai berpikir untuk berhenti sebagai profesional. Toh sudah
20 tahun. Ia berniat menjadi wirausaha mandiri.

Berdirilah pabrik pertama.
Sekitar 5 Km dari pabrik milik Hongkong itu. Lalu pabrik kedua dan ketiga.

Ia merasa mendapat bekal yang
cukup selama ikut perusahaan Hongkong itu. Mas Pri-lah yang membidani produksi
celana jeans Levi’s seri 501 yang legendaris itu. Kalau di kancing celana kain
itu ada angka 133, itulah bikinan Mas Pri dan tim-nya. Angka 133 sebagai tanda
bahwa Levi’s itu bikinan Probolinggo. Bikinan negara lain menggunakan nomor
yang berbeda.

Pabrik tekstil milik Hongkong
itu masih tetap maju. Sekarang ini. Lahannya sudah menjadi 7 hektare.
Karyawannya sudah 7.000 orang. 

Pabrik Mas Pri juga terus
berkembang. Kini sudah memiliki hampir 2.000 mesin jahit.

Dua orang anaknya juga sudah
bisa membantu bapak mereka: yang sulung di bidang IT, yang kedua memegang
pabrik.

Dua anaknya itu lulusan
Malaysia semua. ”Waktu kuliah mereka cari uang sendiri. Dengan cara menjadi
guru mengaji Alquran di sana,” ujar Mas Pri.

Saya lihat tiga pabrik Mas Pri
lagi berjalan di kapasitas penuh. 100 persen untuk urusan wabah Covid-19.

Saya pun diajak sampai ke
belakang. ”Tuh, semua dihentikan dulu,” ujarnya sambil menunjuk tumpukan baju
dan celana merk internasional.

Di pabrik ini tidak ada lonceng
tanda istirihat. ”Loncengnya azan zuhur dan asar,” ujar Mas Pri.

Tepat sekali. Saat saya di
salah satu pabriknya, azan zuhur berkumandang. Semua karyawan meninggalkan
tempat kerja. Menuju gedung aula yang merangkap musala: salat berjamaah.

Saya sendiri akhirnya agak lama
di pabrik itu. Gegara Aa Gym ternyata harus berdialog dengan saya lewat Zoom.
Saat itu juga. Maka jadilah dialog itu dengan latar belakang produksi APD. Yang
suara gemerisiknya kadang tercampur dengan suara Aa Gym. Saya pun merasa kurang
sopan bersuara setengah teriak di depan ulama besar itu.

Ramainya pabrik tekstil di kala
Covid ini membuat saya ingat Dunia Tekstil. Pabrik besar yang menghebohkan itu.
Yang bermasalah itu. Dunia Tekstil tidak seperti sabar menunggu rejeki baru.

Rejeki selalu datang kapan
saja. Kita saja yang kadang tidak lagi siap menerimanya. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru