25.5 C
Jakarta
Wednesday, May 14, 2025

Jalan Panjang Islamofilia

SEORANG kawan, warga negara Prancis, berbagi cerita. Ia lama
tinggal dan bekerja di Indonesia. Suatu saat, ia pulang ke Prancis. Saat berada
di negaranya itu, ia menerima kunjungan kolega dari Indonesia, sepasang suami
istri muslim.

Pada suatu malam, seorang warga
datang ke rumahnya, memprotes kehadiran perempuan berjilbab di kompleks tempat
tinggal mereka. Pemrotes mengkhawatirkan kehadiran perempuan muslim berjilbab
itu akan membawa masalah keamanan bagi mereka.

Namun, dengan sabar dan telaten,
kawan ini memberikan pengertian bahwa tak semua muslim seperti yang ia
bayangkan. Muslim yang dibayangkan sebagai ancaman sesungguhnya hanya kelompok
kecil dalam Islam.

Ia mengakui, si pemrotes sulit
menerima keterangannya. Namun, dengan memberikan jaminan bahwa dia akan
bertanggung jawab jika ada hal-hal yang terjadi akibat kehadiran tamu muslim
itu, sang tetangga akhirnya bisa menerima.

Di kala lain, kawan ini juga
terlibat dalam diskusi kecil dengan saya. Sebagai orang Prancis yang mengetahui
Indonesia (dan Islam Indonesia) secara mendalam, ia berniat mendirikan sebuah
pusat kebudayaan Indonesia di pinggiran Prancis. Tak hanya budaya Indonesia,
namun dengan sendirinya nilai-nilai Islam akan dipromosikan kepada masyarakat
Prancis melalui usaha itu.

“Tanpa harus menampilkan simbol.”
Begitu ia merancang strategi. Lebih jauh, dia meminta pandangan saya tentang
bagaimana cara menampilkan nilai Islam dan Indonesia itu tanpa simbol karena
simbol Islam akan membuat orang Prancis menjauh sejak awal.

Setelah merenung sejenak, saya
berbagi pikiran. Jika pusat kebudayaan itu memang sudah berdiri, kata saya,
ambillah muslim Indonesia sebagai pegawai. Mintalah mereka menjalankan fungsi
sebagai pegawai itu dengan berpegang teguh pada nilai-nilai Islam seperti penghargaan
pada waktu, salam, sapa, senyum, profesionalisme, dan kebersihan.

Saya membayangkan, jika
nilai-nilai itu bisa dijalankan dengan baik, lambat laun pandangan masyarakat
Prancis yang mengunjungi pusat kebudayaan itu akan berubah. Mereka mungkin akan
berpikir, ’’Oh, ternyata Islam seperti ini…’’

Baca Juga :  Ancaman Resesi-Masalah Serapan Anggaran

Ini memang imajinasi. Tetapi
sesungguhnya sangat mungkin menjadi kenyataan. Nilai-nilai seperti disebutkan
di atas adalah juga nilai-nilai yang dipraktikkan oleh masyarakat Prancis dan
Eropa pada umumnya. Dalam diskusi itu, kami berdua akhirnya sampai kepada
kesimpulan bahwa jika dipraktikkan dengan ideal, sesungguhnya ada titik temu
atau paralelisme antara nilai-nilai Islam dengan praktik atau kebiasaan
masyarakat Prancis dan Eropa.

Jika demikian, lalu kenapa
ketakutan dan sikap anti-Islam begitu mengemuka di Prancis dan Eropa? Dalam
kasus Prancis, pada mulanya adalah laicite. Secara sederhana, istilah ini bisa
diterjemahkan dengan sekularisme. Akan tetapi, laicite Prancis lebih dari
sekadar sekularisme.

Olivier Roy (2005), seorang
ilmuwan politik asal Prancis, menyebut bahwa sementara sekularisasi pada
umumnya merujuk kepada proses di mana pemisahan hal-hal yang bersifat sakral
dari urusan publik tanpa ada penolakan secara mendasar kepada agama. Laicite di
Prancis merupakan pengenyahan agama dari ruang publik yang melibatkan kebijakan
resmi negara.

Singkatnya, di Prancis, laicite
adalah menolak kehadiran semua agama di ruang publik, dan bukan hanya Islam,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tahun 1905. Merujuk kepada Undang-Undang
Tahun 1905 itu, sesungguhnya ada kerangka normatif tentang kebebasan beragama
yang digariskan.

Pasal 1 UU 1905 menyebutkan bahwa
republik menjamin kebebasan berkeyakinan dan memastikan kebebasan praktik
beragama yang sejalan dengan sejumlah pembatasan yang berkaitan dengan tatanan
publik. Sementara pasal 2 menyatakan bahwa republik tidak mengakui maupun
mendanai agama apa pun.

Sejarawan dan sosiolog Prancis
Jean Bauberot menyimpulkan bahwa laicite adalah upaya menyingkirkan kekuasaan
(politik) gereja Katolik dan pada saat yang sama mempromosikan kebebasan
beragama.

Namun, dengan Islam, persoalannya
agak berbeda. Nadia Kiwal (2020) menyebut Islam di Prancis secara umum dianggap
sebagai isu politik. Maka, laicite awal yang dimaksudkan sebagai jaminan
kebebasan beragama itu lalu berubah menjadi sikap antimuslim.

Baca Juga :  Dinsos Sosialisasikan Perencanaan Program Tahun Anggaran 2020

Jean Bauberot menyebut ini
sebagai laicite baru. Ini terjadi karena kelompok sayap kanan politik Prancis
membajak laicite untuk kepentingan
politik. Tokoh-tokoh politik seperti Marine Le Pen dan Sarkozy menjadikan
laicite sebagai perangkat politik. Sarkozy bahkan memandang muslim sebagai
kambing hitam dan menghadirkan ancaman bagi republik yang satu dan bersatu
melalui permintaan mereka untuk memakai jilbab di sekolah, konsumsi makanan
halal, dan membangun masjid-masjid baru.

Dengan latar belakang seperti
ini, tidaklah mengherankan jika laicite sering dianggap sebagai versi
sekularisme yang antiagama.

Nadia Kiwal (2020) dalam
Secularism, Islam and Public Intellectual in Contemporary France mengungkapkan,
sejumlah intelektual publik muslim berusaha mendefinisikan Islam dengan beragam
cara dan menunjukkan bagaimana mereka mengadopsi sekularisme kritis dalam
konteks keyakinan yang beragam maupun konteks nonagama. Misalnya, dengan
mengembangkan bentuk-bentuk baru keterlibatan publik dan harmonisasi antara
nilai-nilai agama dan tradisi humanisme sekuler.

Usaha-usaha pada level
intelektual semacam ini berpotensi besar mempersempit jarak dan prasangka
terhadap Islam. Hal yang tak juga boleh dilupakan adalah usaha-usaha kultural
seperti yang dilakukan oleh seorang kawan yang saya ceritakan di awal tulisan
ini. Kehadiran dan peran agen-agen intelektual dan kultural seperti ini sangat
penting dan perlu dipertebal lapisannya sehingga politik tidak menjadi
pendekatan dominan dalam memahami hubungan Islam dan Prancis atau Eropa pada
umumnya.

Tentu masih panjang jalan yang
harus ditempuh agar Islamofobia (takut kepada Islam) di Prancis khususnya dan
Eropa pada umumnya berubah menjadi Islamofilia (meminjam istilah Andrew
Shryock, 2010), yakni rasa cinta kepada Islam. Cinta diawali dengan kedekatan
dan kedekatan pastilah bermula dari mengenal. Jalan memang masih panjang.
Namun, jalan menuju Islamofilia itu harus terus diusahakan melalui berbagai
saluran. (*)

(Penulis adalah Asisten rektor
Universitas Muhammadiyah Malang)

SEORANG kawan, warga negara Prancis, berbagi cerita. Ia lama
tinggal dan bekerja di Indonesia. Suatu saat, ia pulang ke Prancis. Saat berada
di negaranya itu, ia menerima kunjungan kolega dari Indonesia, sepasang suami
istri muslim.

Pada suatu malam, seorang warga
datang ke rumahnya, memprotes kehadiran perempuan berjilbab di kompleks tempat
tinggal mereka. Pemrotes mengkhawatirkan kehadiran perempuan muslim berjilbab
itu akan membawa masalah keamanan bagi mereka.

Namun, dengan sabar dan telaten,
kawan ini memberikan pengertian bahwa tak semua muslim seperti yang ia
bayangkan. Muslim yang dibayangkan sebagai ancaman sesungguhnya hanya kelompok
kecil dalam Islam.

Ia mengakui, si pemrotes sulit
menerima keterangannya. Namun, dengan memberikan jaminan bahwa dia akan
bertanggung jawab jika ada hal-hal yang terjadi akibat kehadiran tamu muslim
itu, sang tetangga akhirnya bisa menerima.

Di kala lain, kawan ini juga
terlibat dalam diskusi kecil dengan saya. Sebagai orang Prancis yang mengetahui
Indonesia (dan Islam Indonesia) secara mendalam, ia berniat mendirikan sebuah
pusat kebudayaan Indonesia di pinggiran Prancis. Tak hanya budaya Indonesia,
namun dengan sendirinya nilai-nilai Islam akan dipromosikan kepada masyarakat
Prancis melalui usaha itu.

“Tanpa harus menampilkan simbol.”
Begitu ia merancang strategi. Lebih jauh, dia meminta pandangan saya tentang
bagaimana cara menampilkan nilai Islam dan Indonesia itu tanpa simbol karena
simbol Islam akan membuat orang Prancis menjauh sejak awal.

Setelah merenung sejenak, saya
berbagi pikiran. Jika pusat kebudayaan itu memang sudah berdiri, kata saya,
ambillah muslim Indonesia sebagai pegawai. Mintalah mereka menjalankan fungsi
sebagai pegawai itu dengan berpegang teguh pada nilai-nilai Islam seperti penghargaan
pada waktu, salam, sapa, senyum, profesionalisme, dan kebersihan.

Saya membayangkan, jika
nilai-nilai itu bisa dijalankan dengan baik, lambat laun pandangan masyarakat
Prancis yang mengunjungi pusat kebudayaan itu akan berubah. Mereka mungkin akan
berpikir, ’’Oh, ternyata Islam seperti ini…’’

Baca Juga :  Ancaman Resesi-Masalah Serapan Anggaran

Ini memang imajinasi. Tetapi
sesungguhnya sangat mungkin menjadi kenyataan. Nilai-nilai seperti disebutkan
di atas adalah juga nilai-nilai yang dipraktikkan oleh masyarakat Prancis dan
Eropa pada umumnya. Dalam diskusi itu, kami berdua akhirnya sampai kepada
kesimpulan bahwa jika dipraktikkan dengan ideal, sesungguhnya ada titik temu
atau paralelisme antara nilai-nilai Islam dengan praktik atau kebiasaan
masyarakat Prancis dan Eropa.

Jika demikian, lalu kenapa
ketakutan dan sikap anti-Islam begitu mengemuka di Prancis dan Eropa? Dalam
kasus Prancis, pada mulanya adalah laicite. Secara sederhana, istilah ini bisa
diterjemahkan dengan sekularisme. Akan tetapi, laicite Prancis lebih dari
sekadar sekularisme.

Olivier Roy (2005), seorang
ilmuwan politik asal Prancis, menyebut bahwa sementara sekularisasi pada
umumnya merujuk kepada proses di mana pemisahan hal-hal yang bersifat sakral
dari urusan publik tanpa ada penolakan secara mendasar kepada agama. Laicite di
Prancis merupakan pengenyahan agama dari ruang publik yang melibatkan kebijakan
resmi negara.

Singkatnya, di Prancis, laicite
adalah menolak kehadiran semua agama di ruang publik, dan bukan hanya Islam,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tahun 1905. Merujuk kepada Undang-Undang
Tahun 1905 itu, sesungguhnya ada kerangka normatif tentang kebebasan beragama
yang digariskan.

Pasal 1 UU 1905 menyebutkan bahwa
republik menjamin kebebasan berkeyakinan dan memastikan kebebasan praktik
beragama yang sejalan dengan sejumlah pembatasan yang berkaitan dengan tatanan
publik. Sementara pasal 2 menyatakan bahwa republik tidak mengakui maupun
mendanai agama apa pun.

Sejarawan dan sosiolog Prancis
Jean Bauberot menyimpulkan bahwa laicite adalah upaya menyingkirkan kekuasaan
(politik) gereja Katolik dan pada saat yang sama mempromosikan kebebasan
beragama.

Namun, dengan Islam, persoalannya
agak berbeda. Nadia Kiwal (2020) menyebut Islam di Prancis secara umum dianggap
sebagai isu politik. Maka, laicite awal yang dimaksudkan sebagai jaminan
kebebasan beragama itu lalu berubah menjadi sikap antimuslim.

Baca Juga :  Dinsos Sosialisasikan Perencanaan Program Tahun Anggaran 2020

Jean Bauberot menyebut ini
sebagai laicite baru. Ini terjadi karena kelompok sayap kanan politik Prancis
membajak laicite untuk kepentingan
politik. Tokoh-tokoh politik seperti Marine Le Pen dan Sarkozy menjadikan
laicite sebagai perangkat politik. Sarkozy bahkan memandang muslim sebagai
kambing hitam dan menghadirkan ancaman bagi republik yang satu dan bersatu
melalui permintaan mereka untuk memakai jilbab di sekolah, konsumsi makanan
halal, dan membangun masjid-masjid baru.

Dengan latar belakang seperti
ini, tidaklah mengherankan jika laicite sering dianggap sebagai versi
sekularisme yang antiagama.

Nadia Kiwal (2020) dalam
Secularism, Islam and Public Intellectual in Contemporary France mengungkapkan,
sejumlah intelektual publik muslim berusaha mendefinisikan Islam dengan beragam
cara dan menunjukkan bagaimana mereka mengadopsi sekularisme kritis dalam
konteks keyakinan yang beragam maupun konteks nonagama. Misalnya, dengan
mengembangkan bentuk-bentuk baru keterlibatan publik dan harmonisasi antara
nilai-nilai agama dan tradisi humanisme sekuler.

Usaha-usaha pada level
intelektual semacam ini berpotensi besar mempersempit jarak dan prasangka
terhadap Islam. Hal yang tak juga boleh dilupakan adalah usaha-usaha kultural
seperti yang dilakukan oleh seorang kawan yang saya ceritakan di awal tulisan
ini. Kehadiran dan peran agen-agen intelektual dan kultural seperti ini sangat
penting dan perlu dipertebal lapisannya sehingga politik tidak menjadi
pendekatan dominan dalam memahami hubungan Islam dan Prancis atau Eropa pada
umumnya.

Tentu masih panjang jalan yang
harus ditempuh agar Islamofobia (takut kepada Islam) di Prancis khususnya dan
Eropa pada umumnya berubah menjadi Islamofilia (meminjam istilah Andrew
Shryock, 2010), yakni rasa cinta kepada Islam. Cinta diawali dengan kedekatan
dan kedekatan pastilah bermula dari mengenal. Jalan memang masih panjang.
Namun, jalan menuju Islamofilia itu harus terus diusahakan melalui berbagai
saluran. (*)

(Penulis adalah Asisten rektor
Universitas Muhammadiyah Malang)

Terpopuler

Artikel Terbaru