Site icon Prokalteng

Skinker dan Algoritma Demo Mahasiswa

skinker-dan-algoritma-demo-mahasiswa

DEMONSTRASI mahasiswa pasca pengesahan RUU KPK
terkait dengan RUU KUHP dan sejumlah RUU lain kali ini berbeda dengan gerakan
mahasiswa 98. Bukan hanya tuntutan aksi yang didesakkan. Melainkan, yang juga
telah menarik perhatian publik adalah artikulasi demonstrasi tersebut dalam
berbagai ungkapan yang lebih kekinian.

Kedua, kehadiran media sosial juga turut mewarnai berbagai strategi yang
digunakan untuk menggerakkan massa. Inilah bentuk baru gerakan mahasiswa
generasi milenial yang besar dalam asuhan media, dimanja gawai yang serba
memanjakan, dan dibanjiri serbuan informasi.

Narasi Kekinian

Ernesto Laclau (1935–2014), seorang pemikir teori politik Argentina,
menyebutkan bahwa ’’masyarakat itu tidak ada’’ (society doesn’t exist). Dia
mengonsepsikan masyarakat sebagai gugusan gagasan.

Karena itu, ide adalah pusat keberadaan masyarakat. Dia menyatakan, salah
satu elemen terpenting dalam sebuah gerakan sosial baru adalah demand.

Kata demand dalam bahasa Inggris dapat berarti dua hal: tuntutan dan klaim.
Dua makna tersebut digunakan untuk menjelaskan apa yang dimaksud ’’social
demand’’, termasuk dalam tuntutan yang diserukan dan klaim para mahasiswa yang
dimulai dengan #GejayanMemanggil hingga #GejayanMemanggil Jilid II.

Pertama, tuntutan mahasiswa dapat dipetakan dari poster-poster buatan
tangan yang tersebar di media sosial. Tidak mudah menangkap maksud mereka
karena tuntutan ’’seolah’’ tidak dibuat seragam dan setiap mahasiswa
mengekspresikan suara mereka dengan ungkapan serta cara yang sangat personal.
Mulai persoalan skinker (skin care) mahal yang harus dikorbankan untuk acara
demo, mager dan mabar yang juga turut kena dampak, hingga urusan kuliah yang
juga terganggu. Seolah ingin menyatakan masalah DPR yang tidak becus dalam
bekerja tidak terlalu penting, tapi bagaimana lagi karena ’’DPR ku Pekok’’
(kata beberapa poster).

Kedua terkait dengan klaim atas kerja DPR. Terdapat tren baru cara
menyampaikan aspirasi mahasiswa dengan menggunakan ungkapan satire dengan
melakukan komparasi antara kerja DPR dan mengaitkannya dengan sejumlah standup
comedian Dodit Muyatno atau selebgram Anya Geraldin. Misalnya, ungkapan ’’Dodit
aja yang ngelucu, Moeldoko jangan’’ dan ’’Say no RKUHP, say yes Anye Geraldine
#Save Anya’’.

Yang lain adalah ungkapan kekesalan atas RUU yang tidak tepat sasaran dan
terlalu banyak masuk di ranah privat. Aksi #SurabayaMenggugat dibanjiri
ungkapan makian khas Suroboyoan yang ditujukan untuk DPR. Selain itu, beberapa
ungkapan receh lain menjadi cara mahasiswa untuk menunjukkan aksi mereka.
Misalnya, ’’Janjimu palsu koyok omongan mantanku’’.

Berbagai tuntutan dan klaim yang muncul di jalanan dalam ekspresi receh
tersebut dapat dimaknai secara beragam. Salah satunya, anak muda zaman sekarang
memandang politik sebagai olok-olok dan permainan belaka.

Di sisi lain, terlepas dari tuduhan adanya pihak yang menunggangi gerakan
tersebut, kita dapat melihat kepedulian mereka atas situasi yang berkembang di
pemerintahan. Keseriusan mereka juga dapat dilihat dari cara mereka
menggerakkan massa dengan memanfaatkan media sosial. Termasuk cara mereka
menggerakkan aksi perdana #GejayanMemanggil yang hanya trending sehari, tetapi
dapat menggalang massa dan merembet ke berbagai kota lain dan menghasilkan
gerakan-gerakan serupa.

Kekuatan Hastag dalam
Gerakan

Selain euforia massa atas kecerdasan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
UGM Atiatul Muqtadir yang viral pasca berbagai pernyataannya dalam acara
Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One pada 24 September lalu, publik juga dibuat
terkesan oleh gerakan mahasiswa yang secara keseluruhan telah berhasil
mengerahkan massa.

Ismail Fahmi, pendiri sekaligus peneliti media sosial di Drone Emprit,
menyebutkan, keberhasilan itu sangat ditentukan oleh penggunaan media sosial
meski koordinasi secara offline dan kemungkinan dilakukan sebelumnya dengan
sangat matang.

Berdasar pengamatan terhadap data di Drone Emprit Academic, terdapat tiga
hastag yang sentral dalam aksi demonstrasi mahasiswa di Twitter. Yakni,
#HidupMahasiswa (1.000 mention), #MahasiswaBergerak (250-an ribu), dan
#GejayanMemanggil (225-an ribu). Hastag lain dengan total mention kurang dari
60-an ribu juga muncul: #SurabayaMenggugat, #MahasiswaBersatu, dan
#RakyatCabutMandat. Keberhasilannya dilihat dari gerakan di media sosial yang
lebih banyak ditentukan oleh #HidupMahasiswa dengan 61 persen share of voice
dari keseluruhan hastag tersebut.

Hal itu bukanlah kebetulan belaka. Namun, para aktivis secara serius
mempelajari data di media sosial dan memantau pergerakannya sebagai bagian dari
gerakan mereka sebagai kesatuan.

Gerakan Mahasiswa Baru

Mencermati dua aspek tersebut, bisa saya simpulkan bahwa inilah sebuah
gerakan mahasiswa baru. Gerakan yang dilakukan dengan sangat serius, tetapi
dengan berbagai tuntutan sosial yang dibungkus hal receh. Pengelolaan massa pun
sangat sistematis dengan memikirkan bagaimana gerakan di offline dapat
di-support dengan berbagai cara berkomunikasi di media online.

Kerecehan mahasiswa milenial tiada lain merupakan bentuk sindiran dari kaum
milenial yang sering dianggap apatis dan malas gerak (mager). Inilah momentum
mereka untuk menunjukkan jati diri dan kepedulian mereka dalam bentuk yang
khas.

Dunia berubah dan gerakan mahasiswa juga berubah serta menemukan bentuk
baru. Semoga, demikian pula ketua dan anggota DPR RI 2019–2024 menjadi semakin
cerdas dan mendengarkan rakyat. (*)

(Penulis adalah Peneliti di Drone Emprit Academic, pengajar di Prodi Ilmu
Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya)

Exit mobile version