28.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Hidup di Dunia Tatap Layar

DUNIA nyata saja fana, apalagi dunia maya.
Tapi, di situlah kini kita menghabiskan umur. Menggunakan sebagian waktu kita,
bahkan sebagian besar di antaranya, untuk bergaul dengan akun-akun media
sosial.

Ada yang kita kenal sejak lama, semacam memindah lingkungan pergaulan dari
tatap muka jadi tatap layar. Ada juga yang baru kita kenal, semacam mencipta
ruang dan waktu baru untuk berinteraksi.

Ada pula yang tidak kita kenal sama sekali, tapi tetap kita ikuti.

Media sosial berkembang sebagaimana ia dinamakan. Dalam banyak hal, media
sosial bahkan melampaui media massa, jika bukan bahkan mengambil alih
peran-perannya. Ia berhasil merebut hati nurani dan akal sehat penggunanya
untuk menikmati post-truth, istilah mutakhir untuk klaim pendapat atau
pernyataan yang konon pasca kebenaran. Tidak mau didebat, tapi terus saling
debat. Tidak mau dibantah, tapi tidak berhenti saling mendebat. Kebenaran
dijadikan milik.

Twitter, misalnya. Dulu lucu. Menyenangkan. Kini, terutama sejak dijadikan
alat berpolitik, dengan bungkus dalih apa pun, bergerak dari lucu menjadi
satire, lantas jadi sarkas, kemudian menjadi arena olok-olok yang tak lagi
jelas mana yang benar dan mana yang salah.

Tentu, tidak ada yang mau dianggap salah. Karena itulah, mendakwahkan
hal-hal yang sebetulnya benar pun bisa jadi malah disertai ujaran merendahkan.
Tak terkecuali, itu pun dilakukan oleh akun berpendidikan.

Masyarakat di dunia maya memang sengaja saya sebut akun. Sebab, memang
begitulah adanya. Ada yang dikelola langsung oleh si pemilik, ada yang
dimainkan oleh admin, ada pula yang digerakkan oleh kepentingan –kepentingan
itulah yang memotori bot atau jari jemari berbayar untuk membuat dan mengolah
isu sosial. Bahkan, sering kali kita jumpai isu pribadi pun bisa bermetafora
menjadi isu sosial. Terlebih, kita suka lalai bahwa media sosial bukan media
personal.

Baca Juga :  Vaksin Bandung

Ya, kita suka membawa hal-hal yang bersifat personal, domestik, privat, ke
ranah sosial. Mungkin kita beranggapan bahwa media itu bisa dijadikan ajang
pelepasan dari berbagai tekanan hidup. Kita lupa bahwa kepala punya isinya
masing-masing. Demikian pula jemari, punya pembenarannya sendiri-sendiri untuk
mengetik atau mengunggah. Ironisnya, kita lalu menganggap privasi kita
dicampuri orang lain. Padahal, kita sendiri yang mulai. Media sosial menjadi
karut-marut oleh kubu.

Citizen journalism, isme jurnalistik berbasis warga, mendorong media sosial
bergerak lebih cepat ke arah klaim pasca kebenaran. Warga, yang tidak
benar-benar memiliki dasar keilmuan kewartawanan, berhasrat amat kuat ikut
menyebarkan info secepat-cepatnya.

Tak bisa dimungkiri, setiap hal disertai framing, pembingkaian perspektif.
Padahal, pandangan atas suatu hal perlu didasari atas cara pandang, sudut
pandang, jarak pandang, dan batas pandang.

Polisi moral muncul di mana-mana di media sosial, di seantero kita. Bahkan,
disadari atau tidak, kita kadang-kadang juga jadi satu di antaranya. Copy paste
atau salin tempel dan forward message atau meneruskan pesan menjadikan sesuatu
hal yang belum teruji kesahihannya menyebar secara berantai dan ”jangan
berhenti di kamu”. Meski dibubuhi tuturan meminta tabayun atas informasi yang
kita sebarkan itu, tidak ada bantahan bahwa kita telah ikut menyebarkannya.

Baca Juga :  Dorong Reformasi Birokrasi Tematik, Pemko Palangkaraya Fokus 5 Hal Ini

Itulah silang sengkarut yang telah menjadi lingkaran setan dalam kehidupan
manusia modern, yang susah benar lepas dari jerat gawai dan segala hal di
dalamnya. Sembako atau sembilan bahan pokok manusia hari ini sepertinya telah
beralih. Meliputi gawai atau telepon pintar, pulsa, kuota, sinyal, aplikasi
media sosial, akun media sosial, pengikut, unggahan status, dan responsnya
–like and comment, reply, retweet, dan sebagainya.

Hoaks atau dusta, propaganda, agitasi, ujaran kebencian, dan permusuhan
makin merajalela. Dalam banyak hal, saya menjadi korban. Anda juga. Kita.
Namun, disadari atau tidak, diakui atau tidak, saya pun telah atau pernah
menjadi pelakunya. Saya tak akan menyebut Anda juga, apalagi kita. Tak akan
menjernihkan keadaan jika tidak mau mawas diri. Meski telah meminta maaf dan berikrar
takkan mengulangi, belum tentu dimaafkan, pun belum tentu tak begitu lagi.

Ada idiom ”mahabenar netizen dengan segala kicauannya”. Namun, tak
seharusnya kita berhenti belajar untuk terus-menerus memahami betapa dunia
nyata saja fana, apalagi dunia maya. Sering terngiang di benak saya betapa
nikmat hidup seorang Nasirun, pelukis hebat yang hidup tanpa memegang telepon
pintar, apalagi gawai. Berkirim pesan pendek pun tidak. Dia setia dengan
perjumpaan antara manusia dan manusia. Tatap muka, bukan tatap layar. (*)

(Penulis adalah budayawan)

DUNIA nyata saja fana, apalagi dunia maya.
Tapi, di situlah kini kita menghabiskan umur. Menggunakan sebagian waktu kita,
bahkan sebagian besar di antaranya, untuk bergaul dengan akun-akun media
sosial.

Ada yang kita kenal sejak lama, semacam memindah lingkungan pergaulan dari
tatap muka jadi tatap layar. Ada juga yang baru kita kenal, semacam mencipta
ruang dan waktu baru untuk berinteraksi.

Ada pula yang tidak kita kenal sama sekali, tapi tetap kita ikuti.

Media sosial berkembang sebagaimana ia dinamakan. Dalam banyak hal, media
sosial bahkan melampaui media massa, jika bukan bahkan mengambil alih
peran-perannya. Ia berhasil merebut hati nurani dan akal sehat penggunanya
untuk menikmati post-truth, istilah mutakhir untuk klaim pendapat atau
pernyataan yang konon pasca kebenaran. Tidak mau didebat, tapi terus saling
debat. Tidak mau dibantah, tapi tidak berhenti saling mendebat. Kebenaran
dijadikan milik.

Twitter, misalnya. Dulu lucu. Menyenangkan. Kini, terutama sejak dijadikan
alat berpolitik, dengan bungkus dalih apa pun, bergerak dari lucu menjadi
satire, lantas jadi sarkas, kemudian menjadi arena olok-olok yang tak lagi
jelas mana yang benar dan mana yang salah.

Tentu, tidak ada yang mau dianggap salah. Karena itulah, mendakwahkan
hal-hal yang sebetulnya benar pun bisa jadi malah disertai ujaran merendahkan.
Tak terkecuali, itu pun dilakukan oleh akun berpendidikan.

Masyarakat di dunia maya memang sengaja saya sebut akun. Sebab, memang
begitulah adanya. Ada yang dikelola langsung oleh si pemilik, ada yang
dimainkan oleh admin, ada pula yang digerakkan oleh kepentingan –kepentingan
itulah yang memotori bot atau jari jemari berbayar untuk membuat dan mengolah
isu sosial. Bahkan, sering kali kita jumpai isu pribadi pun bisa bermetafora
menjadi isu sosial. Terlebih, kita suka lalai bahwa media sosial bukan media
personal.

Baca Juga :  Vaksin Bandung

Ya, kita suka membawa hal-hal yang bersifat personal, domestik, privat, ke
ranah sosial. Mungkin kita beranggapan bahwa media itu bisa dijadikan ajang
pelepasan dari berbagai tekanan hidup. Kita lupa bahwa kepala punya isinya
masing-masing. Demikian pula jemari, punya pembenarannya sendiri-sendiri untuk
mengetik atau mengunggah. Ironisnya, kita lalu menganggap privasi kita
dicampuri orang lain. Padahal, kita sendiri yang mulai. Media sosial menjadi
karut-marut oleh kubu.

Citizen journalism, isme jurnalistik berbasis warga, mendorong media sosial
bergerak lebih cepat ke arah klaim pasca kebenaran. Warga, yang tidak
benar-benar memiliki dasar keilmuan kewartawanan, berhasrat amat kuat ikut
menyebarkan info secepat-cepatnya.

Tak bisa dimungkiri, setiap hal disertai framing, pembingkaian perspektif.
Padahal, pandangan atas suatu hal perlu didasari atas cara pandang, sudut
pandang, jarak pandang, dan batas pandang.

Polisi moral muncul di mana-mana di media sosial, di seantero kita. Bahkan,
disadari atau tidak, kita kadang-kadang juga jadi satu di antaranya. Copy paste
atau salin tempel dan forward message atau meneruskan pesan menjadikan sesuatu
hal yang belum teruji kesahihannya menyebar secara berantai dan ”jangan
berhenti di kamu”. Meski dibubuhi tuturan meminta tabayun atas informasi yang
kita sebarkan itu, tidak ada bantahan bahwa kita telah ikut menyebarkannya.

Baca Juga :  Dorong Reformasi Birokrasi Tematik, Pemko Palangkaraya Fokus 5 Hal Ini

Itulah silang sengkarut yang telah menjadi lingkaran setan dalam kehidupan
manusia modern, yang susah benar lepas dari jerat gawai dan segala hal di
dalamnya. Sembako atau sembilan bahan pokok manusia hari ini sepertinya telah
beralih. Meliputi gawai atau telepon pintar, pulsa, kuota, sinyal, aplikasi
media sosial, akun media sosial, pengikut, unggahan status, dan responsnya
–like and comment, reply, retweet, dan sebagainya.

Hoaks atau dusta, propaganda, agitasi, ujaran kebencian, dan permusuhan
makin merajalela. Dalam banyak hal, saya menjadi korban. Anda juga. Kita.
Namun, disadari atau tidak, diakui atau tidak, saya pun telah atau pernah
menjadi pelakunya. Saya tak akan menyebut Anda juga, apalagi kita. Tak akan
menjernihkan keadaan jika tidak mau mawas diri. Meski telah meminta maaf dan berikrar
takkan mengulangi, belum tentu dimaafkan, pun belum tentu tak begitu lagi.

Ada idiom ”mahabenar netizen dengan segala kicauannya”. Namun, tak
seharusnya kita berhenti belajar untuk terus-menerus memahami betapa dunia
nyata saja fana, apalagi dunia maya. Sering terngiang di benak saya betapa
nikmat hidup seorang Nasirun, pelukis hebat yang hidup tanpa memegang telepon
pintar, apalagi gawai. Berkirim pesan pendek pun tidak. Dia setia dengan
perjumpaan antara manusia dan manusia. Tatap muka, bukan tatap layar. (*)

(Penulis adalah budayawan)

Terpopuler

Artikel Terbaru