27.1 C
Jakarta
Friday, April 18, 2025

Demokrasi dan Demonstrasi Dalam Politik Negara

DEMOKRASI memahfumkan demontrasi, karena masing-masing kekuatan sipil membutuhkan wadah untuk menyampaikan pikiran dan pendapat
sebagaimana negara menjamin
hak setiap warga negara. Maka tiada pilihan lain untuk
keberlangsungan legitimasi kekuasaan negara dalam membangun demokrasi, mestilah dapat menerima walaupun dengan
resistensi. Jika tidak, kita akan tampak menjadi ambigu,
atau lebih dikenal dengan demokrasi semu atau istilah barunya “otoritarian
electoral
” (Larry Diamond “Developing Democracy” Toward Consolidation).

Kekerasan berlangsung dalam
penangan demontrasi, menjadi persoalan hukum yang mesti ditegakkan. Karena demokrasi membutuhkan rule of law sehingga terjamin hak
masing-masing individu dan kelompok dalam berpolitik. Maka diharamkan afiliasi kekuasan negara
berselingkuh dengan kekuatan non sipil untuk memarginalkan kekuatan sipil yang sedang bertarung dalam arena demokrasi.

Sejatinya dalam pemerintahan
demokrasi, domainnya adalah
pemerintahan sipil untuk mengatur dan mengelola negara tanpa menggunakan kekuatan negara lainnya
dalam menjaga chek and balanced
kekuasaan. Sehingga rakyat berkuasa atas
kebebasannya berserikat, berkumpul dan menyuarakan
pendapat, sebagaimana undang-undang
dasar menjaminnya.

Lalu jika terjadi chaos dalam
berdemonstrasi dan kemudian memakan korban jiwa, apakah negara absen untuk menjaga proses demokrasi tersebut
berlangsung? Bisa jadi “iya”. Karena negara mempunyai perangkat kekuasaan yang dapat menjaga
masyarakatnya dari rasa aman dalam berdemontrasi. Bisa
juga sebaliknya, negara hadir melalui
perangkat kekuasaannya memukul para demontran dengan dalih keamana negara dan demontran dianggap kaum
yang ingin memaksakan
kehendak, bahkan dianggap
ingin menggagalkan pelantikan presiden terpilih.

Walau masih ada resistensi bahwa hasil pilpres yang berlangsung
kemarin menyisakan ketidakpuasaan, bahkan dianggap tidak legitimit.
Akan tetapi bisa beda ketika ambiguitas berlangsung secara kasat mata, sehingga
negara dianggap memainkan isu
bahwa para demontran adalah sekelompok orang yang dianggap kelompok Islam radikal yang dianggap musuh negara (isu lama yang dimainkan kembali, dianggap paling efektif melemehkan musuh negara, Roy C Macridis dalam Perbandingan Politik), serta kelompok elit
lain yang punya agenda tersembunyi ingin menggagalkan pelantikan presiden.

Menurut ahli tata negara
Margarito Kamis, tidak satu pun celah dalam proses tata negara untuk menggagalkan pelantikan
presiden. Bahkan pernyataan Menkopolhukman
dianggap berlebihan, sehingga dengan dalih tersebut penguasa melalui kekuasaan negara yang dimiliki mampu meredam
kekuatan demonstran. Bahkan jika
ada jatuh korban sebagai akibat dari berlebihannya cara penanganan demontran
dianggap biasa.

Baca Juga :  Enam Gejala Katarak yang Jarang Disadari dan Cara Pencegahannya

Jika sudut pandang ini digunakan, maka profesionalitas dan netralitas aparat  yang sejatinya mampu menjaga keberlangungan
proses demokrasi dimana kekuatan sipil masing-masing sedang melakukan kontrol atas penguasa, bisa menjadi
bias.

Tuntutan demontran akan
pembatalan RKUHP dan UU KPK adalah bentuk kekuatan negara yang gagal  mengkomunikasikannya dengan kekuatan di luar pemerintahan dan parlemen. Resistensi penolakan oleh segenap
kalangan adalah hal biasa dalam perspektif yang berbeda, jika kemudian tidak
dianggap ada agenda politik tersembunyi, ini menjadi agenda setting oleh masing
masing aktor untuk menerjemahkannya.

Di lain pihak, KPK dianggap sebagai dewa yang mampu membantu
mengungkapkan kebencian masyarakat terhadap perilaku aparatur dan penguasa negara, dalam perlombaan penguasaan sumber daya, yang kadang secara samar
diaminkan oleh partai politik yang menaungi. Bahkan
perselingkuhan keduanya menjadi sangat jelas dengan afiliasinya para pejabat
yang personifikasi jabatannya bersumber dari kepartaian. Maka bias ini berdampak terhadap perilaku
individu dalam memperoleh jabatan.

Hal ini terungkap sebagaimana dilansir media, betapa Sesmenpora sangat ketakutan terhadap pencopotan jabatannya oleh Menpora, karena dianggap tidak loyal. Dan persitiwa
seperti ini sedang berlangsung hampir disemua level pemerintahan. Copot mencopot jabatan adalah hal yang
dianggap lumrah jika bersanding kata “loyalis”. Model
orientasi politik praktis yang seperti ini, kadang melupakan perjuangan
ideologi kepartaian yang sesungguhnya, sehingga masyarakat dibuat abai
karenanya.

Birokrasi yang dinggap sebagai
mesin kekuatan pemerintahan dalam penyelenggaraan  negara
adalah kekuatan dahsyat untuk mengkapitalisasi sumber-sumber daya untuk
kepentingan partai. Partai
berhasil sukses mengelola dan menempatkan simpatisan dan bahkan loyalisnya ke dalam mesin birokrasi. Bahkan makna “loyalis” kadang melebihi
makna kader sesunggguhnya dalam sistem
kepartaian. Sehingga hampir
semua kebijakan, pengaturan
kepentingan, adalah hasil
kompromi politik personifikasi individu dalam jabatan ketimbang sebagai jabatan
publik yang justru pro publik.

Perlombaan pengisian jabatan
strategis baik untuk jabatan level negara
maupun level pemerintahan dengan makna kaya sumber daya ekonomi dan kaya sumber
daya politik menjadi pilihan, maka kekuasaan menjelma menjadi hantu yang siap
melibas lawan politik yang dianggap mengganggu, bahkan stabilitas memainkan
peran penting untuk menjadi tameng, demokrasi menjadi alat sekedar
melanggengkan kekuasaan  sehingga makna
otoritarian electoral teramini.

Baca Juga :  45 Ribu Benih Ikan Lokal Ditebar

Kegelisahan politik yang terjadi
pada kalangan elit menganggap KPK melampaui batas kekuasannya, bahkan tidak
jarang dianggap lembaga super body yang dianggap mengganggu sampai batas
toleransi. Padahal disadari, memang KPK juga bukan malaikat tanpa
salah. Bahkan mungkin juga ada benarnya
yang disampaikan politikus Fahri Hamzah, bahwa KPK di dalamnya banyak
skandal dan mencoba berdamai dalam bentuk lain untuk kasus Century, BLBI, Sumber Waras dll, (kutipan wawancara Fahri Hamzah melalui TV).

Lalu jika demikian,
apakah salah pemerintah mencoba melakukan perbaikan KPK untuk sebuah perubahan
agar lebih baik? Karena kita dalam sistem tata negara sudah punya kepolisian dan kejaksaan. Jawabanya adalah tidak. Karena sesungguhnya ekspektasi masyarakat terlampau tinggi kepada KPK. Dan lembaga lain yang dimiliki negara dianggap tidak
mampu, sehingga perubahan RUU KPK
mendapat resistensi.

Kita sering melihat model
kekuasaan untuk menterjemahkan afiliasi kekuasaan, dimana aktor masing-masing melakukan penetrasi
kekuasaan sampai pada level terendah. Intip
mengintip dan memainkan isu
model spionase tidak mampu dilakukan kalangan sipil secara baik, karena hal tersebut tentu hanya
dimiliki oleh negara melalui
perangkatnya. Level tertentu negara dapat saja tegas, tapi menggunakan dua sisi yang berbeda. Sementara rakyatnya tidak punya sumber daya pilihan, maka demontrasi
adalah jawabanya.

Lalu jika demikian,
apakah salah jika mereka berdemonstrasi? Jawabanya
juga tidak. Karena negara juga
butuh legitimasi kekuasaannya
melalui kontrol dengan cara
demontrasi. Keduanya adalah dua entitas yang tidak terpisahkan untuk
dimainkan menjadi instrument penting politik kekuasaan negara. Karena keduanya adalah sahabat untuk
memperoleh kekuasaan dan kekayaan, (Cristian Wibisono “the man with power can buy wealth)

Sementara kegelisahan publik adalah informasi yang sampai
untuk dicerna tidak utuh, friksi berkembang dinamis, beragam pemahaman akibat
kegagalan negara mengkomunikasikannya adalah
konsekwensi logis. Tentu untuk
mereduksinya butuh jawaban dengan pengetahuan sesuai eranya, tanpa harus dengan
menindas dengan kekerasan. Regulasi
dibuat tidak boleh sekadar
menguntungkan penguasa dengan cara meminjam kekuasaan negara membungkam lawan politik, maka
regulasi mestilah dibuat ajeg untuk menjaga tertib social tanpa keberpihakan. (Palangkaraya, 1 Oktober 2019)

(Penulis adalah Candidat Doktor
FIA UB)

DEMOKRASI memahfumkan demontrasi, karena masing-masing kekuatan sipil membutuhkan wadah untuk menyampaikan pikiran dan pendapat
sebagaimana negara menjamin
hak setiap warga negara. Maka tiada pilihan lain untuk
keberlangsungan legitimasi kekuasaan negara dalam membangun demokrasi, mestilah dapat menerima walaupun dengan
resistensi. Jika tidak, kita akan tampak menjadi ambigu,
atau lebih dikenal dengan demokrasi semu atau istilah barunya “otoritarian
electoral
” (Larry Diamond “Developing Democracy” Toward Consolidation).

Kekerasan berlangsung dalam
penangan demontrasi, menjadi persoalan hukum yang mesti ditegakkan. Karena demokrasi membutuhkan rule of law sehingga terjamin hak
masing-masing individu dan kelompok dalam berpolitik. Maka diharamkan afiliasi kekuasan negara
berselingkuh dengan kekuatan non sipil untuk memarginalkan kekuatan sipil yang sedang bertarung dalam arena demokrasi.

Sejatinya dalam pemerintahan
demokrasi, domainnya adalah
pemerintahan sipil untuk mengatur dan mengelola negara tanpa menggunakan kekuatan negara lainnya
dalam menjaga chek and balanced
kekuasaan. Sehingga rakyat berkuasa atas
kebebasannya berserikat, berkumpul dan menyuarakan
pendapat, sebagaimana undang-undang
dasar menjaminnya.

Lalu jika terjadi chaos dalam
berdemonstrasi dan kemudian memakan korban jiwa, apakah negara absen untuk menjaga proses demokrasi tersebut
berlangsung? Bisa jadi “iya”. Karena negara mempunyai perangkat kekuasaan yang dapat menjaga
masyarakatnya dari rasa aman dalam berdemontrasi. Bisa
juga sebaliknya, negara hadir melalui
perangkat kekuasaannya memukul para demontran dengan dalih keamana negara dan demontran dianggap kaum
yang ingin memaksakan
kehendak, bahkan dianggap
ingin menggagalkan pelantikan presiden terpilih.

Walau masih ada resistensi bahwa hasil pilpres yang berlangsung
kemarin menyisakan ketidakpuasaan, bahkan dianggap tidak legitimit.
Akan tetapi bisa beda ketika ambiguitas berlangsung secara kasat mata, sehingga
negara dianggap memainkan isu
bahwa para demontran adalah sekelompok orang yang dianggap kelompok Islam radikal yang dianggap musuh negara (isu lama yang dimainkan kembali, dianggap paling efektif melemehkan musuh negara, Roy C Macridis dalam Perbandingan Politik), serta kelompok elit
lain yang punya agenda tersembunyi ingin menggagalkan pelantikan presiden.

Menurut ahli tata negara
Margarito Kamis, tidak satu pun celah dalam proses tata negara untuk menggagalkan pelantikan
presiden. Bahkan pernyataan Menkopolhukman
dianggap berlebihan, sehingga dengan dalih tersebut penguasa melalui kekuasaan negara yang dimiliki mampu meredam
kekuatan demonstran. Bahkan jika
ada jatuh korban sebagai akibat dari berlebihannya cara penanganan demontran
dianggap biasa.

Baca Juga :  Enam Gejala Katarak yang Jarang Disadari dan Cara Pencegahannya

Jika sudut pandang ini digunakan, maka profesionalitas dan netralitas aparat  yang sejatinya mampu menjaga keberlangungan
proses demokrasi dimana kekuatan sipil masing-masing sedang melakukan kontrol atas penguasa, bisa menjadi
bias.

Tuntutan demontran akan
pembatalan RKUHP dan UU KPK adalah bentuk kekuatan negara yang gagal  mengkomunikasikannya dengan kekuatan di luar pemerintahan dan parlemen. Resistensi penolakan oleh segenap
kalangan adalah hal biasa dalam perspektif yang berbeda, jika kemudian tidak
dianggap ada agenda politik tersembunyi, ini menjadi agenda setting oleh masing
masing aktor untuk menerjemahkannya.

Di lain pihak, KPK dianggap sebagai dewa yang mampu membantu
mengungkapkan kebencian masyarakat terhadap perilaku aparatur dan penguasa negara, dalam perlombaan penguasaan sumber daya, yang kadang secara samar
diaminkan oleh partai politik yang menaungi. Bahkan
perselingkuhan keduanya menjadi sangat jelas dengan afiliasinya para pejabat
yang personifikasi jabatannya bersumber dari kepartaian. Maka bias ini berdampak terhadap perilaku
individu dalam memperoleh jabatan.

Hal ini terungkap sebagaimana dilansir media, betapa Sesmenpora sangat ketakutan terhadap pencopotan jabatannya oleh Menpora, karena dianggap tidak loyal. Dan persitiwa
seperti ini sedang berlangsung hampir disemua level pemerintahan. Copot mencopot jabatan adalah hal yang
dianggap lumrah jika bersanding kata “loyalis”. Model
orientasi politik praktis yang seperti ini, kadang melupakan perjuangan
ideologi kepartaian yang sesungguhnya, sehingga masyarakat dibuat abai
karenanya.

Birokrasi yang dinggap sebagai
mesin kekuatan pemerintahan dalam penyelenggaraan  negara
adalah kekuatan dahsyat untuk mengkapitalisasi sumber-sumber daya untuk
kepentingan partai. Partai
berhasil sukses mengelola dan menempatkan simpatisan dan bahkan loyalisnya ke dalam mesin birokrasi. Bahkan makna “loyalis” kadang melebihi
makna kader sesunggguhnya dalam sistem
kepartaian. Sehingga hampir
semua kebijakan, pengaturan
kepentingan, adalah hasil
kompromi politik personifikasi individu dalam jabatan ketimbang sebagai jabatan
publik yang justru pro publik.

Perlombaan pengisian jabatan
strategis baik untuk jabatan level negara
maupun level pemerintahan dengan makna kaya sumber daya ekonomi dan kaya sumber
daya politik menjadi pilihan, maka kekuasaan menjelma menjadi hantu yang siap
melibas lawan politik yang dianggap mengganggu, bahkan stabilitas memainkan
peran penting untuk menjadi tameng, demokrasi menjadi alat sekedar
melanggengkan kekuasaan  sehingga makna
otoritarian electoral teramini.

Baca Juga :  45 Ribu Benih Ikan Lokal Ditebar

Kegelisahan politik yang terjadi
pada kalangan elit menganggap KPK melampaui batas kekuasannya, bahkan tidak
jarang dianggap lembaga super body yang dianggap mengganggu sampai batas
toleransi. Padahal disadari, memang KPK juga bukan malaikat tanpa
salah. Bahkan mungkin juga ada benarnya
yang disampaikan politikus Fahri Hamzah, bahwa KPK di dalamnya banyak
skandal dan mencoba berdamai dalam bentuk lain untuk kasus Century, BLBI, Sumber Waras dll, (kutipan wawancara Fahri Hamzah melalui TV).

Lalu jika demikian,
apakah salah pemerintah mencoba melakukan perbaikan KPK untuk sebuah perubahan
agar lebih baik? Karena kita dalam sistem tata negara sudah punya kepolisian dan kejaksaan. Jawabanya adalah tidak. Karena sesungguhnya ekspektasi masyarakat terlampau tinggi kepada KPK. Dan lembaga lain yang dimiliki negara dianggap tidak
mampu, sehingga perubahan RUU KPK
mendapat resistensi.

Kita sering melihat model
kekuasaan untuk menterjemahkan afiliasi kekuasaan, dimana aktor masing-masing melakukan penetrasi
kekuasaan sampai pada level terendah. Intip
mengintip dan memainkan isu
model spionase tidak mampu dilakukan kalangan sipil secara baik, karena hal tersebut tentu hanya
dimiliki oleh negara melalui
perangkatnya. Level tertentu negara dapat saja tegas, tapi menggunakan dua sisi yang berbeda. Sementara rakyatnya tidak punya sumber daya pilihan, maka demontrasi
adalah jawabanya.

Lalu jika demikian,
apakah salah jika mereka berdemonstrasi? Jawabanya
juga tidak. Karena negara juga
butuh legitimasi kekuasaannya
melalui kontrol dengan cara
demontrasi. Keduanya adalah dua entitas yang tidak terpisahkan untuk
dimainkan menjadi instrument penting politik kekuasaan negara. Karena keduanya adalah sahabat untuk
memperoleh kekuasaan dan kekayaan, (Cristian Wibisono “the man with power can buy wealth)

Sementara kegelisahan publik adalah informasi yang sampai
untuk dicerna tidak utuh, friksi berkembang dinamis, beragam pemahaman akibat
kegagalan negara mengkomunikasikannya adalah
konsekwensi logis. Tentu untuk
mereduksinya butuh jawaban dengan pengetahuan sesuai eranya, tanpa harus dengan
menindas dengan kekerasan. Regulasi
dibuat tidak boleh sekadar
menguntungkan penguasa dengan cara meminjam kekuasaan negara membungkam lawan politik, maka
regulasi mestilah dibuat ajeg untuk menjaga tertib social tanpa keberpihakan. (Palangkaraya, 1 Oktober 2019)

(Penulis adalah Candidat Doktor
FIA UB)

Terpopuler

Artikel Terbaru