28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Dendam Ilmiah

Banjir sudah berlalu –mestinya.

Yang belum adalah
sentimen-sentimennya. Setiap kali ada masalah di Jakarta gema pilpres
mendengung lagi. 

Itu seperti luka yang belum
sembuh tergores kembali.

Masih juga belum bisa move
on
.

Bahasa ejekannya saja yang
berubah. Dari cebong dan kampret menjadi kutu babi dan kadal gurun.

Bersih-bersih gorong-gorong bisa
cepat dilakukan. Bersih-bersih emosi sampai tujuh turunan –kelihatannya.

Ya sudah. Nikmati saja. Itulah
kita. Dendam adalah kita. Bully adalah kita. Kita
adalah dendam. Kita adalah bully.

Saya masih bersyukur. Tidak ada
yang menyalahkan alam. Tidak ada yang menghujat Tuhan.

Ilmu pengetahuan juga harus
mengalah. Tidak ada yang mempersoalkan mengapa tidak ada warning.

Semua sibuk liburan. Sibuk tahun
baru. Tidak hanya Carlos Ghosn yang memanfaatkan kelengahan akibat keasyikan
pesta liburan.

Curah hujan pun tumpah di saat
orang asyik bertutup tahun.

Tapi apa yang terjadi seandainya
lembaga peramal cuaca turun tangan? Dengan memberi warning habis-habisan bakal
turun hujan yang berlebihan? Bahkan yang terbesar dalam 100 tahun?

Jangan-jangan kita juga tidak
peduli. Kita bukanlah ilmu. Ilmu bukanlah kita.

Filsafat negara kita tidak
menempatkan ilmu sebagai salah satu silanya.

Tidak usah gundah. Filsafat
komunis juga tidak menempatkan ilmu dalam doktrinnya.

Setidaknya dulu. Ketika komunis
dilahirkan.

Ketika komunisme masih asli.
Masih hanya menjadi alat perjuangan kaum buruh. Untuk melawan kapitalis.

Baca Juga :  Ben dan Nafiah Lepas 350 CJH Kapuas

Tapi ketika komunis masuk ke
Tiongkok harus realistis. Tidak banyak buruh di sana. Yang banyak adalah petani
miskin.

Maka komunisme pun berubah.
Menjadi alat perjuangan tani. Dari komunis satu kaki (buruh) menjadi komunis
dua kaki –buruh dan tani.
Itu di zaman Mao Zedong.

Yang komunisme –meski sudah dua
kaki– tetap tidak bisa menyejahterakan rakyat.

Maka komunisme pun dibuatkan satu
kaki lagi. Di zaman Deng Xiaoping – pengganti Mao. Menjadi komunisme tiga kaki:
buruh-tani-pengusaha.

Masuknya pengusaha ke dalam
komunisme diresmikan di zaman pengganti Deng Xiaoping: Jiang Zeming.

Dilihat dari azas dasar
komunisme, komunis Tiongkok yang seperti itu bukan komunis sama sekali.

Coba simak.

Komunis adalah alat kaum proletar
untuk melawan kapitalis. Tapi di Tiongkok prinsip itu dihancurkan. Justru si
kapitalis dimasukkan sekalian ke dalam komunisme.

Opo tumon!

Dan itu pun belum cukup.

Memang Tiongkok cepat maju. Bisa
menjadi negara no. 2 di dunia. Tapi merasa masih punya kekurangan.

Tiongkok harus maju lagi. Ingin
menjadi nomor satu, mengalahkan Amerika.

Komunisme tiga kaki dianggap
kurang kuat. Ibarat meja, kakinya harus empat –kalau ingin kokoh.

Maka dicarilah kaki keempat itu.
Ketemu: ilmu pengetahuan. Sesuatu yang tidak ilmiah dianggap tidak sesuai
dengan prinsip komunisme.

Itulah komunis empat kaki:
buruh-tani-pengusaha dan ilmuwan.

Baca Juga :  Tingkat Kepatuhan Badan Publik Masih Rendah

Teknologi harus maju.

Kalau ingin menjadi nomor satu.

Dalam hal cuaca targetnya bukan
saja mampu meramalkan cuaca –tapi sampai ke mengubah cuaca.

Ilmuwan harus bisa membantu
petani –tidak hanya sampai ke soal perkiraan cuaca.

Apakah berarti tidak ada lagi
banjir di Tiongkok?

Sayangnya: masih ada. Terutama di
bulan Juli dan Agustus. Tapi dampak banjir di sana kian bisa dikurangi.

Tentu kita juga perlu minta
bantuan ilmuwan –meski kita bukan komunis empat kaki. Tahap pertama ilmuwan
yang bisa membuat peta.

Peta banjir. Yang bisa di akses
di HP masing-masing.

Setidaknya penduduk bisa tahu:
kawasan perumahan mereka termasuk yang mana.

Kan ada kawasan yang banjir
ketika hujan deras berlangsung 3 jam. Itu kelurahan mana saja. RT berapa saja.
Warnanya kuning tua.

Ada kawasan yang baru banjir
kalau hujan derasnya 4 jam. Diberi warna merah muda.

Dan seterusnya. Merah tua dan
merah kehitaman.

Semua orang pun bisa tahu
rumahnya di kawasan warna apa. Masing-masing bisa berpikir sendiri apa yang
harus dilakukan –kalau hujan deras sudah berlangsung empat jam.

Mungkin tidak harus seperti itu.
Ilmuwan bisa menemukan cara yang lebih baik.

Kita memang anti komunis.

Mestinya kita bisa lebih baik
dari komunis.

Dendam itu tidak ilmiah sama
sekali.(Dahlan Iskan)

 

Banjir sudah berlalu –mestinya.

Yang belum adalah
sentimen-sentimennya. Setiap kali ada masalah di Jakarta gema pilpres
mendengung lagi. 

Itu seperti luka yang belum
sembuh tergores kembali.

Masih juga belum bisa move
on
.

Bahasa ejekannya saja yang
berubah. Dari cebong dan kampret menjadi kutu babi dan kadal gurun.

Bersih-bersih gorong-gorong bisa
cepat dilakukan. Bersih-bersih emosi sampai tujuh turunan –kelihatannya.

Ya sudah. Nikmati saja. Itulah
kita. Dendam adalah kita. Bully adalah kita. Kita
adalah dendam. Kita adalah bully.

Saya masih bersyukur. Tidak ada
yang menyalahkan alam. Tidak ada yang menghujat Tuhan.

Ilmu pengetahuan juga harus
mengalah. Tidak ada yang mempersoalkan mengapa tidak ada warning.

Semua sibuk liburan. Sibuk tahun
baru. Tidak hanya Carlos Ghosn yang memanfaatkan kelengahan akibat keasyikan
pesta liburan.

Curah hujan pun tumpah di saat
orang asyik bertutup tahun.

Tapi apa yang terjadi seandainya
lembaga peramal cuaca turun tangan? Dengan memberi warning habis-habisan bakal
turun hujan yang berlebihan? Bahkan yang terbesar dalam 100 tahun?

Jangan-jangan kita juga tidak
peduli. Kita bukanlah ilmu. Ilmu bukanlah kita.

Filsafat negara kita tidak
menempatkan ilmu sebagai salah satu silanya.

Tidak usah gundah. Filsafat
komunis juga tidak menempatkan ilmu dalam doktrinnya.

Setidaknya dulu. Ketika komunis
dilahirkan.

Ketika komunisme masih asli.
Masih hanya menjadi alat perjuangan kaum buruh. Untuk melawan kapitalis.

Baca Juga :  Ben dan Nafiah Lepas 350 CJH Kapuas

Tapi ketika komunis masuk ke
Tiongkok harus realistis. Tidak banyak buruh di sana. Yang banyak adalah petani
miskin.

Maka komunisme pun berubah.
Menjadi alat perjuangan tani. Dari komunis satu kaki (buruh) menjadi komunis
dua kaki –buruh dan tani.
Itu di zaman Mao Zedong.

Yang komunisme –meski sudah dua
kaki– tetap tidak bisa menyejahterakan rakyat.

Maka komunisme pun dibuatkan satu
kaki lagi. Di zaman Deng Xiaoping – pengganti Mao. Menjadi komunisme tiga kaki:
buruh-tani-pengusaha.

Masuknya pengusaha ke dalam
komunisme diresmikan di zaman pengganti Deng Xiaoping: Jiang Zeming.

Dilihat dari azas dasar
komunisme, komunis Tiongkok yang seperti itu bukan komunis sama sekali.

Coba simak.

Komunis adalah alat kaum proletar
untuk melawan kapitalis. Tapi di Tiongkok prinsip itu dihancurkan. Justru si
kapitalis dimasukkan sekalian ke dalam komunisme.

Opo tumon!

Dan itu pun belum cukup.

Memang Tiongkok cepat maju. Bisa
menjadi negara no. 2 di dunia. Tapi merasa masih punya kekurangan.

Tiongkok harus maju lagi. Ingin
menjadi nomor satu, mengalahkan Amerika.

Komunisme tiga kaki dianggap
kurang kuat. Ibarat meja, kakinya harus empat –kalau ingin kokoh.

Maka dicarilah kaki keempat itu.
Ketemu: ilmu pengetahuan. Sesuatu yang tidak ilmiah dianggap tidak sesuai
dengan prinsip komunisme.

Itulah komunis empat kaki:
buruh-tani-pengusaha dan ilmuwan.

Baca Juga :  Tingkat Kepatuhan Badan Publik Masih Rendah

Teknologi harus maju.

Kalau ingin menjadi nomor satu.

Dalam hal cuaca targetnya bukan
saja mampu meramalkan cuaca –tapi sampai ke mengubah cuaca.

Ilmuwan harus bisa membantu
petani –tidak hanya sampai ke soal perkiraan cuaca.

Apakah berarti tidak ada lagi
banjir di Tiongkok?

Sayangnya: masih ada. Terutama di
bulan Juli dan Agustus. Tapi dampak banjir di sana kian bisa dikurangi.

Tentu kita juga perlu minta
bantuan ilmuwan –meski kita bukan komunis empat kaki. Tahap pertama ilmuwan
yang bisa membuat peta.

Peta banjir. Yang bisa di akses
di HP masing-masing.

Setidaknya penduduk bisa tahu:
kawasan perumahan mereka termasuk yang mana.

Kan ada kawasan yang banjir
ketika hujan deras berlangsung 3 jam. Itu kelurahan mana saja. RT berapa saja.
Warnanya kuning tua.

Ada kawasan yang baru banjir
kalau hujan derasnya 4 jam. Diberi warna merah muda.

Dan seterusnya. Merah tua dan
merah kehitaman.

Semua orang pun bisa tahu
rumahnya di kawasan warna apa. Masing-masing bisa berpikir sendiri apa yang
harus dilakukan –kalau hujan deras sudah berlangsung empat jam.

Mungkin tidak harus seperti itu.
Ilmuwan bisa menemukan cara yang lebih baik.

Kita memang anti komunis.

Mestinya kita bisa lebih baik
dari komunis.

Dendam itu tidak ilmiah sama
sekali.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru