28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pajak Rajapaksa

Begitu mendarat di Sri Lanka saya ingat Buddha. Saya pernah dua kali
dianggap Buddha dan Buddhis.

 

Buddha telah membuat saya lancar masuk ke Sri Lanka. Antrian visa
on
 arrival Jumat lalu itu panjang. Di belakang petugas ada
tulisan USD 40. Untuk sekali masuk negara itu.

 

Saya pun tahu cara untuk lancar. Saya sudah siapkan jawaban untuk
pertanyaan ‘tujuan ke Sri Lanka’.

 

“Ke kuil Buddha,” jawab saya. 

 

“Anda Buddhis?”

 

Yang bertanya menghadap komputer. Saya diam saja. Diam itu rupanya
disamakan dengan ‘ya’.

 

Saya pun diantar ke loket imigrasi. Kasihan yang antre di belakang saya
–ditinggal begitu saja.

 

Di imigrasi saya langsung diserahterimakan ke petugas paspor. Tanpa harus
antre. Tidak ada pertanyaan lagi. Paspor pun langsung distempel.

 

Uang USD 40 dolar yang sudah saya pegang masuk ke saku lagi.

 

Toh di Colombo, ibu kota Sri Lanka, saya harus ke kuil terbesar di situ.
Seperti kalau ke Eropa harus ke gereja legendaris.

 

Dan lagi saya toh sangat familiar dengan kuil Buddha. Begitu banyak kuil
Buddha yang mengundang saya –di Medan yang luasnya 30 hektare itu, di Jakarta
yang dekat Ancol itu, di Gorontalo yang dekat teluk itu. Tak terhitung.

 

Buddha Empat Wajah di Kenjeran Surabaya saya juga yang diminta meresmikan.
Demikian juga kuil yang di Samarinda –sampai teman saya yang Islam harus salat
asar di dalam kuil itu– seijin Biksu di situ.

 

Saya juga pernah diminta mewakili umat Buddha –untuk memberi sambutan di
depan Bapak Presiden SBY di Borobudur.

 

Kini saya datang ke negara Buddha. Lebih 65 persen penduduk Sri Lanka
adalah Buddha.

 

Ups, saya juga ingat saat di Kamboja awal tahun ini. Di Kamboja-lah saya
mengurus visa ke India.

Baca Juga :  Saksi Sugianto-Edy Temukan Kecurangan, Hasil Pleno PPK Tidak Sesuai Ha

 

Saya pun ke perusahaan pengurusan visa. Tinggal serahkan copy paspor
dan bayar di situ. Semua formulir ia yang mengisi.

 

Setelah semua berkas selesai barulah saya ke kedutaan besar India di Phnom
Phen.

 

Dalam perjalanan itu saya baca-baca isi dokumen. Saya pun tersenyum: di
situ ditulis agama saya Buddha.

 

Kini Sri Lanka kembali menarik perhatian saya. Dengan presiden barunya yang
‘hanya’ berpangkat letnan kolonel: Gotabaya Rajapaksa.

 

Hampir saja Letkol Gota gagal jadi capres. Penyebabnya: ia telanjur jadi
warga negara Amerika Serikat.

 

Sepuluh tahun Letkol Gota tinggal di Amerika. Sejak memutuskan pensiun dini
dari dinas kemiliteran. Di sana Letkol Gota ambil gelar doktor. Bidang
komputer. Lalu bergabung ke sebuah perusahaan besar di California.

 

Isu kewarganegaraan itu tidak muncul selama Letkol Gota menjabat menteri
pertahanan. Di zaman kakak kandungnya, Mahinda Rajapaksa, menjabat Presiden Sri
Lanka. Padahal 10 tahun Letkol Gota menjadi menteri.

 

Begitu mencapreskan diri, soal kewarganegaraan itu tidak hanya digugat
–bahkan diperkarakan lewat pengadilan.

 

Akhirnya pengadilan memutuskan: Letkol Gota berhak menjadi capres. Waktu
menjadi warga negara Amerika itu Letkol Gota tidak melepaskan kewarganegaraan
Sri Lanka. Ia memegang dua paspor –dwikewarganegaraan.

 

Putusan itu agak telat: 4 Oktober lalu. Sampai-sampai Letkol Gota tidak
ikut debat publik pertama: 5 Oktober.

 

Tapi Letkol Gota punya nama. Ia pernah mendapat gelar pahlawan –biar pun
masih hidup. Di masa ia jadi Menhan-lah perang sipil selama 30 tahun berakhir.

 

Letkol Gota pun memenangi pilpres. Dengan perolehan suara 52 persen. Suku
mayoritas Sinhala Buddha memihaknya.

 

Ia kalah di lingkungan suku Tamil –baik Tamil yang Hindu maupun Tamil
Islam.

Baca Juga :  Ormas dan Media Massa Punya Peranan Penting Mengawasi Pilkada

 

Tiga gebrakan langsung dilakukan presiden baru. Bukan di 100 hari pertama,
tapi di satu minggu pertama.

 

Pertama, ia mengangkat kakaknya –mantan presiden itu– sebagai perdana
menteri Sri Lanka (Lihat DI’s Way kemarin:Presiden
Letkol
). 

 

Kedua, ia langsung mengunjungi India –yang renggang sejak 15 tahun lalu.

 

Ketiga, melakukan pemotongan pajak besar-besaran. Bahkan beberapa jenis
pajak dihapus.

 

Tiga hari Presiden Gota di New Delhi. “Pokoknya saya akan bikin
hubungan dengan India pada level yang tertinggi,” ujarnya ketika di New
Delhi Sabtu lalu.

 

Waktu saya mendarat di Colombo, ia mendarat di New Delhi.

 

Tiga hal yang membuat India renggang dengan Sri Lanka. Semua tidak terkait
penculikan Dewi Sita oleh Rahwana.

 

Pertama, soal banyaknya nelayan India yang ditangkap di Sri Lanka. 

 

Kedua, soal mesranya hubungan Sri Lanka dengan Pakistan –temannya musuh
adalah juga musuhnya.

 

Ketiga, ehm, terbentuknya poros Colombo-Beijing (DI’s Way kemarin).

 

India menjadi dikepung dari tiga arah mata angin –utara (Tiongkok), barat
(Pakistan) dan selatan (Sri Lanka).

 

“Please, India tanam modal di Sri Lanka,” ujar Presiden Gota di
New Delhi.

 

Ia juga minta Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan negara barat tanam
modal di Sri Lanka.

 

“Agar kami tidak tergantung pada Tiongkok,” katanya.
“Hubungan kami dengan Tiongkok adalah komersial biasa,” tambahnya.

 

Dengan menancapkan jangkar di Sri Lanka dan Pakistan Tiongkok memang
langsung menguasai jalur strategis Samudera Hindia.

 

Sri Lanka memang hanya negara satu pulau kecil. Di tangan Dinasti Rajapaksa
ia ingin jadi Singapura kedua.


Ups, kalimat terakhir itulah nomor 4 –yang membuat India was-was.(Dahlan
Iskan) 

Begitu mendarat di Sri Lanka saya ingat Buddha. Saya pernah dua kali
dianggap Buddha dan Buddhis.

 

Buddha telah membuat saya lancar masuk ke Sri Lanka. Antrian visa
on
 arrival Jumat lalu itu panjang. Di belakang petugas ada
tulisan USD 40. Untuk sekali masuk negara itu.

 

Saya pun tahu cara untuk lancar. Saya sudah siapkan jawaban untuk
pertanyaan ‘tujuan ke Sri Lanka’.

 

“Ke kuil Buddha,” jawab saya. 

 

“Anda Buddhis?”

 

Yang bertanya menghadap komputer. Saya diam saja. Diam itu rupanya
disamakan dengan ‘ya’.

 

Saya pun diantar ke loket imigrasi. Kasihan yang antre di belakang saya
–ditinggal begitu saja.

 

Di imigrasi saya langsung diserahterimakan ke petugas paspor. Tanpa harus
antre. Tidak ada pertanyaan lagi. Paspor pun langsung distempel.

 

Uang USD 40 dolar yang sudah saya pegang masuk ke saku lagi.

 

Toh di Colombo, ibu kota Sri Lanka, saya harus ke kuil terbesar di situ.
Seperti kalau ke Eropa harus ke gereja legendaris.

 

Dan lagi saya toh sangat familiar dengan kuil Buddha. Begitu banyak kuil
Buddha yang mengundang saya –di Medan yang luasnya 30 hektare itu, di Jakarta
yang dekat Ancol itu, di Gorontalo yang dekat teluk itu. Tak terhitung.

 

Buddha Empat Wajah di Kenjeran Surabaya saya juga yang diminta meresmikan.
Demikian juga kuil yang di Samarinda –sampai teman saya yang Islam harus salat
asar di dalam kuil itu– seijin Biksu di situ.

 

Saya juga pernah diminta mewakili umat Buddha –untuk memberi sambutan di
depan Bapak Presiden SBY di Borobudur.

 

Kini saya datang ke negara Buddha. Lebih 65 persen penduduk Sri Lanka
adalah Buddha.

 

Ups, saya juga ingat saat di Kamboja awal tahun ini. Di Kamboja-lah saya
mengurus visa ke India.

Baca Juga :  Saksi Sugianto-Edy Temukan Kecurangan, Hasil Pleno PPK Tidak Sesuai Ha

 

Saya pun ke perusahaan pengurusan visa. Tinggal serahkan copy paspor
dan bayar di situ. Semua formulir ia yang mengisi.

 

Setelah semua berkas selesai barulah saya ke kedutaan besar India di Phnom
Phen.

 

Dalam perjalanan itu saya baca-baca isi dokumen. Saya pun tersenyum: di
situ ditulis agama saya Buddha.

 

Kini Sri Lanka kembali menarik perhatian saya. Dengan presiden barunya yang
‘hanya’ berpangkat letnan kolonel: Gotabaya Rajapaksa.

 

Hampir saja Letkol Gota gagal jadi capres. Penyebabnya: ia telanjur jadi
warga negara Amerika Serikat.

 

Sepuluh tahun Letkol Gota tinggal di Amerika. Sejak memutuskan pensiun dini
dari dinas kemiliteran. Di sana Letkol Gota ambil gelar doktor. Bidang
komputer. Lalu bergabung ke sebuah perusahaan besar di California.

 

Isu kewarganegaraan itu tidak muncul selama Letkol Gota menjabat menteri
pertahanan. Di zaman kakak kandungnya, Mahinda Rajapaksa, menjabat Presiden Sri
Lanka. Padahal 10 tahun Letkol Gota menjadi menteri.

 

Begitu mencapreskan diri, soal kewarganegaraan itu tidak hanya digugat
–bahkan diperkarakan lewat pengadilan.

 

Akhirnya pengadilan memutuskan: Letkol Gota berhak menjadi capres. Waktu
menjadi warga negara Amerika itu Letkol Gota tidak melepaskan kewarganegaraan
Sri Lanka. Ia memegang dua paspor –dwikewarganegaraan.

 

Putusan itu agak telat: 4 Oktober lalu. Sampai-sampai Letkol Gota tidak
ikut debat publik pertama: 5 Oktober.

 

Tapi Letkol Gota punya nama. Ia pernah mendapat gelar pahlawan –biar pun
masih hidup. Di masa ia jadi Menhan-lah perang sipil selama 30 tahun berakhir.

 

Letkol Gota pun memenangi pilpres. Dengan perolehan suara 52 persen. Suku
mayoritas Sinhala Buddha memihaknya.

 

Ia kalah di lingkungan suku Tamil –baik Tamil yang Hindu maupun Tamil
Islam.

Baca Juga :  Ormas dan Media Massa Punya Peranan Penting Mengawasi Pilkada

 

Tiga gebrakan langsung dilakukan presiden baru. Bukan di 100 hari pertama,
tapi di satu minggu pertama.

 

Pertama, ia mengangkat kakaknya –mantan presiden itu– sebagai perdana
menteri Sri Lanka (Lihat DI’s Way kemarin:Presiden
Letkol
). 

 

Kedua, ia langsung mengunjungi India –yang renggang sejak 15 tahun lalu.

 

Ketiga, melakukan pemotongan pajak besar-besaran. Bahkan beberapa jenis
pajak dihapus.

 

Tiga hari Presiden Gota di New Delhi. “Pokoknya saya akan bikin
hubungan dengan India pada level yang tertinggi,” ujarnya ketika di New
Delhi Sabtu lalu.

 

Waktu saya mendarat di Colombo, ia mendarat di New Delhi.

 

Tiga hal yang membuat India renggang dengan Sri Lanka. Semua tidak terkait
penculikan Dewi Sita oleh Rahwana.

 

Pertama, soal banyaknya nelayan India yang ditangkap di Sri Lanka. 

 

Kedua, soal mesranya hubungan Sri Lanka dengan Pakistan –temannya musuh
adalah juga musuhnya.

 

Ketiga, ehm, terbentuknya poros Colombo-Beijing (DI’s Way kemarin).

 

India menjadi dikepung dari tiga arah mata angin –utara (Tiongkok), barat
(Pakistan) dan selatan (Sri Lanka).

 

“Please, India tanam modal di Sri Lanka,” ujar Presiden Gota di
New Delhi.

 

Ia juga minta Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan negara barat tanam
modal di Sri Lanka.

 

“Agar kami tidak tergantung pada Tiongkok,” katanya.
“Hubungan kami dengan Tiongkok adalah komersial biasa,” tambahnya.

 

Dengan menancapkan jangkar di Sri Lanka dan Pakistan Tiongkok memang
langsung menguasai jalur strategis Samudera Hindia.

 

Sri Lanka memang hanya negara satu pulau kecil. Di tangan Dinasti Rajapaksa
ia ingin jadi Singapura kedua.


Ups, kalimat terakhir itulah nomor 4 –yang membuat India was-was.(Dahlan
Iskan) 

Terpopuler

Artikel Terbaru