24.2 C
Jakarta
Monday, April 7, 2025

Martabak Politik

PADA mulanya, politik adalah jalan luhur. Kerja politik adalah
kerja mulia, yang bagi filsuf Aristotle sejajar dengan kemuliaan pekerjaan
seorang guru.

Sebagaimana guru, pelaku politik
adalah orang-orang yang membawa manfaat bagi orang lain, punya kebijaksanaan
dan pengetahuan yang bisa menunjukkan arah kehidupan lebih baik bagi para
pengikutnya, dan punya martabat.

Dengan begitu, kepercayaan dan
rasa hormat diberikan dengan sukarela kepada mereka.

Tapi, itu dulu. Atau lebih tepatnya,
itu idealnya. Itu teorinya. Tentu saja lain dengan praktiknya di masa sekarang.

Dari Amerika, Eropa, hingga
negeri kita tercinta, politik jadi olok-olok. Orang-orang tanpa kompetensi dan
jejak rekam kepedulian ramai-ramai maju dalam pemilu.

Mereka minta dipilih tanpa
membawa tujuan mulia yang bisa dipercaya. Mereka minta dipercaya walaupun tak
pernah berbuat apa-apa selain untuk memakmurkan diri sendiri dan keluarga.

Lalu mereka benar-benar terpilih.
Entah apakah mereka dipilih karena dipercaya atau karena bagi banyak orang
pemilu sekadar suka atau tak suka dan mana yang lebih dikenal belaka.

Orang-orang nirkompetensi ini
terpilih secara demokratis. Tak akan ada yang bisa menurunkan atau menggugat
mereka selama menjabat, kecuali mereka terbukti korupsi atau melakukan tindak
pidana lainnya.

Tak ada aturan yang memungkinkan
kegagalan kebijakan pemimpin dipersoalkan. Apalagi kalau pemimpin itu hanya
diam –tak melakukan apa-apa, tak membuat kebijakan apa-apa.

Pekerjaan seorang pejabat publik
hanya diukur dari unggahan-unggahan foto di media sosial; peresmian, kunjungan,
foto-foto rapat. Kebenaran arah kebijakan hanya didasarkan pada dukungan suara
di media sosial. Pokoknya asal Twitter aman, semua aman. Penggiring opini
–buzzer, influencer– pun jadi andalan.

Baca Juga :  Sukses Ungkap Kasus Pencurian Alkes, PJU Polresta Palangka Raya Terim

Sampai kemudian semua diterjang
wabah. Jumlah kasus dan kematian tak bisa disembunyikan walau tetap bisa
sedikit-sedikit dimanipulasi.

Dampak ekonomi tak bisa dibendung
walau narasi dan informasi bisa tetap dimodifikasi. Pandemi ini telah
mengingatkan betapa kompetensi adalah hal yang harus dimiliki seorang pemimpin,
dan tak selamanya nirkompetensi bisa ditutupi dengan citra.

Rekam jejak seorang pemimpin
adalah catatan atas hal nyata yang telah dilakukan dan disuarakan untuk publik,
bukan koleksi foto-foto yang diunggah di media sosial. Imajinasi seorang
pemimpin adalah kemampuan untuk melihat mau dibawa ke mana bangsa ini dengan
sumbangan pijakan yang ia bangun, bukannya berpikir bagaimana mau mengamankan
keluarga dan keturunannya setelah ia tak lagi berkuasa.

Tapi, inilah yang sedang kita
saksikan sekarang. Dari Amerika hingga Indonesia, inkompetensi seorang pemimpin
dipertontonkan.

Hasrat untuk mempertahankan
kekuasaan dipamerkan tanpa martabat. Dan khususnya di negeri kita tercinta,
jabatan dianggap sebagai barang warisan yang harus dikangkangi, diamankan,
dipastikan jatuh ke anak, menantu, keponakan, dan para ipar.

Muncullah secara tiba-tiba para
pemuda tanpa kompetensi, integritas, dan imajinasi ke dalam gelanggang politik
untuk sekadar merebut kursi. Lalu politisi-politisi nirmartabat itu akan
berteriak garang, ’’Ini bukan dinasti. Ini adalah demokrasi.”

Politisi-politisi itu pura-pura
lupa, merekalah yang memegang kunci gelanggang kontestasi. Mereka yang
menentukan siapa-siapa saja yang bisa masuk arena.

Tentu saja, kalau yang memegang
kunci adalah orang-orang tanpa kompetensi dan integritas, yang masuk gelanggang
pun tak harus mereka yang punya dua hal itu. Yang penting adalah anakku,
keponakanku, saudara-saudaraku.

Baca Juga :  Pedagang dan Pengunjung Pasar Besar Palangka Raya di Rapid Tes Massal

Lalu rakyat dipaksa untuk memilih
calon ala kadarnya itu. Proses politik pun dimanipulasi agar jalan yang
ditempuh anak keturunan ini semakin mudah.

Jangan sampai ada calon lain yang
mengancam. Bersaing dengan kotak kosong menjadi kebanggaan, padahal itu justru
menunjukkan betapa tak sehatnya praktik demokrasi kita.

Politik kian jauh dari tujuan
luhurnya. Martabat politik telah digantikan oleh martabak politik. Sebagaimana
martabak, politik hanya menjadi sajian perayaan yang dinikmati bersama-sama
oleh kawanan.

Martabak politik sebagai
antitesis dari martabat politik menempatkan kekenyangan anggota kawanan sebagai
tujuan utama. Dalam martabak politik, inovasi dan kebijakan pemimpin tak lebih
dari sekadar memberi varian rasa kekinian tanpa menyentuh substansi, apalagi
perubahan struktural. Martabak politik tak pernah butuh kompetensi dan visi
karena yang dihitung hanyalah untung-rugi.

Ketika martabak politik telah
jadi ideologi, pada mereka yang tak berada di meja perayaanlah harapan bisa
dititipkan; pemuda-pemuda yang tak terlahir dari keluarga pejabat dan politisi
yang telah selalu peduli dan mengabdi untuk orang-orang di luar keluarga
sendiri.

Ketika martabak politik telah
jadi ideologi, setiap suara kita dalam pemilu kian berarti. Hanya suara kita
yang bisa menggagalkan dinasti. Hanya suara kita yang bisa membalik martabak
agar politik kembali punya martabat. (*)

(Novelis dan kandidat PhD
National University of Singapore)

PADA mulanya, politik adalah jalan luhur. Kerja politik adalah
kerja mulia, yang bagi filsuf Aristotle sejajar dengan kemuliaan pekerjaan
seorang guru.

Sebagaimana guru, pelaku politik
adalah orang-orang yang membawa manfaat bagi orang lain, punya kebijaksanaan
dan pengetahuan yang bisa menunjukkan arah kehidupan lebih baik bagi para
pengikutnya, dan punya martabat.

Dengan begitu, kepercayaan dan
rasa hormat diberikan dengan sukarela kepada mereka.

Tapi, itu dulu. Atau lebih tepatnya,
itu idealnya. Itu teorinya. Tentu saja lain dengan praktiknya di masa sekarang.

Dari Amerika, Eropa, hingga
negeri kita tercinta, politik jadi olok-olok. Orang-orang tanpa kompetensi dan
jejak rekam kepedulian ramai-ramai maju dalam pemilu.

Mereka minta dipilih tanpa
membawa tujuan mulia yang bisa dipercaya. Mereka minta dipercaya walaupun tak
pernah berbuat apa-apa selain untuk memakmurkan diri sendiri dan keluarga.

Lalu mereka benar-benar terpilih.
Entah apakah mereka dipilih karena dipercaya atau karena bagi banyak orang
pemilu sekadar suka atau tak suka dan mana yang lebih dikenal belaka.

Orang-orang nirkompetensi ini
terpilih secara demokratis. Tak akan ada yang bisa menurunkan atau menggugat
mereka selama menjabat, kecuali mereka terbukti korupsi atau melakukan tindak
pidana lainnya.

Tak ada aturan yang memungkinkan
kegagalan kebijakan pemimpin dipersoalkan. Apalagi kalau pemimpin itu hanya
diam –tak melakukan apa-apa, tak membuat kebijakan apa-apa.

Pekerjaan seorang pejabat publik
hanya diukur dari unggahan-unggahan foto di media sosial; peresmian, kunjungan,
foto-foto rapat. Kebenaran arah kebijakan hanya didasarkan pada dukungan suara
di media sosial. Pokoknya asal Twitter aman, semua aman. Penggiring opini
–buzzer, influencer– pun jadi andalan.

Baca Juga :  Sukses Ungkap Kasus Pencurian Alkes, PJU Polresta Palangka Raya Terim

Sampai kemudian semua diterjang
wabah. Jumlah kasus dan kematian tak bisa disembunyikan walau tetap bisa
sedikit-sedikit dimanipulasi.

Dampak ekonomi tak bisa dibendung
walau narasi dan informasi bisa tetap dimodifikasi. Pandemi ini telah
mengingatkan betapa kompetensi adalah hal yang harus dimiliki seorang pemimpin,
dan tak selamanya nirkompetensi bisa ditutupi dengan citra.

Rekam jejak seorang pemimpin
adalah catatan atas hal nyata yang telah dilakukan dan disuarakan untuk publik,
bukan koleksi foto-foto yang diunggah di media sosial. Imajinasi seorang
pemimpin adalah kemampuan untuk melihat mau dibawa ke mana bangsa ini dengan
sumbangan pijakan yang ia bangun, bukannya berpikir bagaimana mau mengamankan
keluarga dan keturunannya setelah ia tak lagi berkuasa.

Tapi, inilah yang sedang kita
saksikan sekarang. Dari Amerika hingga Indonesia, inkompetensi seorang pemimpin
dipertontonkan.

Hasrat untuk mempertahankan
kekuasaan dipamerkan tanpa martabat. Dan khususnya di negeri kita tercinta,
jabatan dianggap sebagai barang warisan yang harus dikangkangi, diamankan,
dipastikan jatuh ke anak, menantu, keponakan, dan para ipar.

Muncullah secara tiba-tiba para
pemuda tanpa kompetensi, integritas, dan imajinasi ke dalam gelanggang politik
untuk sekadar merebut kursi. Lalu politisi-politisi nirmartabat itu akan
berteriak garang, ’’Ini bukan dinasti. Ini adalah demokrasi.”

Politisi-politisi itu pura-pura
lupa, merekalah yang memegang kunci gelanggang kontestasi. Mereka yang
menentukan siapa-siapa saja yang bisa masuk arena.

Tentu saja, kalau yang memegang
kunci adalah orang-orang tanpa kompetensi dan integritas, yang masuk gelanggang
pun tak harus mereka yang punya dua hal itu. Yang penting adalah anakku,
keponakanku, saudara-saudaraku.

Baca Juga :  Pedagang dan Pengunjung Pasar Besar Palangka Raya di Rapid Tes Massal

Lalu rakyat dipaksa untuk memilih
calon ala kadarnya itu. Proses politik pun dimanipulasi agar jalan yang
ditempuh anak keturunan ini semakin mudah.

Jangan sampai ada calon lain yang
mengancam. Bersaing dengan kotak kosong menjadi kebanggaan, padahal itu justru
menunjukkan betapa tak sehatnya praktik demokrasi kita.

Politik kian jauh dari tujuan
luhurnya. Martabat politik telah digantikan oleh martabak politik. Sebagaimana
martabak, politik hanya menjadi sajian perayaan yang dinikmati bersama-sama
oleh kawanan.

Martabak politik sebagai
antitesis dari martabat politik menempatkan kekenyangan anggota kawanan sebagai
tujuan utama. Dalam martabak politik, inovasi dan kebijakan pemimpin tak lebih
dari sekadar memberi varian rasa kekinian tanpa menyentuh substansi, apalagi
perubahan struktural. Martabak politik tak pernah butuh kompetensi dan visi
karena yang dihitung hanyalah untung-rugi.

Ketika martabak politik telah
jadi ideologi, pada mereka yang tak berada di meja perayaanlah harapan bisa
dititipkan; pemuda-pemuda yang tak terlahir dari keluarga pejabat dan politisi
yang telah selalu peduli dan mengabdi untuk orang-orang di luar keluarga
sendiri.

Ketika martabak politik telah
jadi ideologi, setiap suara kita dalam pemilu kian berarti. Hanya suara kita
yang bisa menggagalkan dinasti. Hanya suara kita yang bisa membalik martabak
agar politik kembali punya martabat. (*)

(Novelis dan kandidat PhD
National University of Singapore)

Terpopuler

Artikel Terbaru