28.6 C
Jakarta
Wednesday, April 9, 2025

Rumah Ghozi

“Ini pasti Ghozi,” kata
saya dalam hati.

“Ting… ting..”,
berbunyi lagi ponsel saya setengah tidak terdengar. Saya pun menatap jam di
dinding: pukul 02.51.

“Kok senyum-senyum…,”
celetuk istri saya yang juga lagi makan sahur.

“Biasa…,” jawab saya.

Saya hentikan ambil
sembilang-masak-kuah-asam. Saya baca WA itu dulu.

“Saya diminta pimpinan untuk
membuat aplikasi lindung-peduli. Sekarang sudah jadi,” tulis Ahmad Alghozi
Ramadhan di WA itu.

Pimpinan yang dimaksud adalah
Letnan Jendral Doni Monardo, kepala BNPB. Sejak muncul di DI’s Way sebagai
“Milenial Nakal” (Baca: Milenial Nakal) bulan lalu Ghozi memang
“pindah kos” di BNPB. Ia menempati salah satu sekat di lantai 10 di
gedung BNPB itu. Bekerja di situ. Tidur di situ. Makan di situ. Ia diminta
menjadi programer di pusat pengendalian Covid-19 itu.

Kebetulan Ghozi memang belum
punya rumah. Tidak ada “gangguan” sedikit pun –misalnya ingin
pulang. Ia bisa sepenuhnya membantu BNPB –hampir sepanjang siang dan malam.

Ghozi juga tidak punya banyak
aset. Tidak punya barang yang perlu ia pikirkan. Pikirannya bisa penuh di BNPB.

“Sepeda motor Anda ditaruh
di mana?” tanya saya.

“Saya tidak punya sepeda
motor,” jawabnya.

“Barang-barang Anda yang
lain disimpan di mana?” tanya saya lagi.

“Di tempat saya kos
dulu,” jawabnya.

“Jadi, Anda masih bayar kos
itu meski tidak Anda tempati?”

“Tidak. Barangnya saya
titipan di kantor kos-kosan.”

Baca Juga :  Tingkatkan Kinerja Pelayanan

“Barang apa saja?”

“Panci dan rice
cooker
 kecil.”

“Hanya itu barang
Anda?”

“Iya.”

Ya sudah. Ghozi memang nakal.
Yang ia pikirkan hanya aplikasi, aplikasi, dan aplikasi. Ini memang zaman
aplikasi –yang ke depan akan mengalahkan birokrasi.

“Gak pernah ketemu
pacar?”

“Tidak pernah.”

“Tapi masih terus kontakan
kan?”

“Masih. Hanya kalau malam.
Lewat chatting.”

“Tidak kangen?”

“Sejak dulu biasanya ya
hanya begitu.”

“Dia bekerja di mana?”

“Masih cari-cari kerja. Kan
sama-sama baru lulus.”

“Oh… Satu almamater di
Universitas Telkom ya…?”

“Satu kelas,” jawab
Ghozi.

“Berarti dia gadis
Bandung?”

“Iya. Sunda.”

Sesekali Ghozi juga menelepon
orang tuanya. Yang tinggal di Bangka –tenaga serabutan.

“Aplikasi yang diperintahkan
pimpinan itu sudah dicoba di Bangka-Belitung. Sudah beberapa hari ini,”
ujar Ghozi. “Berjalan sangat baik,” tambahnya.

Dengan aplikasi ini –#gardaperbatasan–
orang yang ingin pergi-pergi tidak perlu repot. Dari rumah mereka sudah bisa download aplikasi
itu. Lalu memasukkan data yang diperlukan untuk pergi. Misalnya hasil
tes-cepat, surat izin pergi, KTP dan seterusnya.

Di perbatasan nanti –ini antar
provinsi dulu– tinggal menunjukkan QR ke petugas. Dari scan QR
itu petugas bisa tahu semua kelengkapan tadi.

Tidak perlu lagi pemeriksaan
surat-surat.

Bagaimana kalau dokumen itu
palsu?

“Ke depan masing-masing
orang tidak bisa memasukkan data hasil tes. Rumah sakit-lah yang upload ke
aplikasi,” katanya.

Baca Juga :  BPN Luncurkan Program Layanan Hak Tanggungan Digital

Di Bangka Belitung hasil
percobaan itu sangat baik. Kebetulan baru saja ada kapal merapat di pelabuhan
Bangka Barat. Dari… tidak perlu disebut di sini. Membawa 70 penumpang.

Sebelum turun dari kapal mereka
diminta download Apps
tersebut. Lalu dipasangi gelang ‘pahlawan anti Covid’.

Simpel sekali.

Bagaimana yang ponselnya iPhone?

“Kebetulan dari 70 penumpang
itu yang 62 orang pakai Android,” ujar Ghozi.

Sedang yang 8 orang lagi juga
bukan karena iPhone. “Ada juga yang karena pakai ponsel jadul,”
tambahnya.

Mereka itu ditangani secara
khusus: isi dokumen kertas.

Sehari kemudian salah seorang
penumpang kapal itu merasakan gejala tidak enak badan. Lapor ke BNPB Bangka
Belitung. Dilakukanlah tes-cepat: positif. Lalu dites swab: positif.

Maka 69 penumpang kapal lainnya
wajib melanjutkan karantina di rumah masing-masing. Dimonitor lewat ‘gelang
pahlawan’ –yang terhubung dengan komputer di BNPB.

Alhamdulillah. BNPB mulai punya
aplikasi yang praktis untuk digunakan publik. Tinggal kapan provinsi lain
mencobanya. Dan kapan dimulai: rumah sakit-lah yang mengunggah data hasil tes
–untuk mencegah pemalsuan.

“Masih ada beberapa aplikasi
lagi yang disiapkan. Baru selesai 70 persen,” ujar Ghozi.

Itu termasuk aplikasi untuk
mengatur pengunjung mal. Yang sangat diperlukan di era new
normal
 nanti.

Masih begitu banyak yang perlu
dikerjakan. Berarti Ghozi memang masih belum perlu punya rumah.(Dahlan Iskan)

 

“Ini pasti Ghozi,” kata
saya dalam hati.

“Ting… ting..”,
berbunyi lagi ponsel saya setengah tidak terdengar. Saya pun menatap jam di
dinding: pukul 02.51.

“Kok senyum-senyum…,”
celetuk istri saya yang juga lagi makan sahur.

“Biasa…,” jawab saya.

Saya hentikan ambil
sembilang-masak-kuah-asam. Saya baca WA itu dulu.

“Saya diminta pimpinan untuk
membuat aplikasi lindung-peduli. Sekarang sudah jadi,” tulis Ahmad Alghozi
Ramadhan di WA itu.

Pimpinan yang dimaksud adalah
Letnan Jendral Doni Monardo, kepala BNPB. Sejak muncul di DI’s Way sebagai
“Milenial Nakal” (Baca: Milenial Nakal) bulan lalu Ghozi memang
“pindah kos” di BNPB. Ia menempati salah satu sekat di lantai 10 di
gedung BNPB itu. Bekerja di situ. Tidur di situ. Makan di situ. Ia diminta
menjadi programer di pusat pengendalian Covid-19 itu.

Kebetulan Ghozi memang belum
punya rumah. Tidak ada “gangguan” sedikit pun –misalnya ingin
pulang. Ia bisa sepenuhnya membantu BNPB –hampir sepanjang siang dan malam.

Ghozi juga tidak punya banyak
aset. Tidak punya barang yang perlu ia pikirkan. Pikirannya bisa penuh di BNPB.

“Sepeda motor Anda ditaruh
di mana?” tanya saya.

“Saya tidak punya sepeda
motor,” jawabnya.

“Barang-barang Anda yang
lain disimpan di mana?” tanya saya lagi.

“Di tempat saya kos
dulu,” jawabnya.

“Jadi, Anda masih bayar kos
itu meski tidak Anda tempati?”

“Tidak. Barangnya saya
titipan di kantor kos-kosan.”

Baca Juga :  Tingkatkan Kinerja Pelayanan

“Barang apa saja?”

“Panci dan rice
cooker
 kecil.”

“Hanya itu barang
Anda?”

“Iya.”

Ya sudah. Ghozi memang nakal.
Yang ia pikirkan hanya aplikasi, aplikasi, dan aplikasi. Ini memang zaman
aplikasi –yang ke depan akan mengalahkan birokrasi.

“Gak pernah ketemu
pacar?”

“Tidak pernah.”

“Tapi masih terus kontakan
kan?”

“Masih. Hanya kalau malam.
Lewat chatting.”

“Tidak kangen?”

“Sejak dulu biasanya ya
hanya begitu.”

“Dia bekerja di mana?”

“Masih cari-cari kerja. Kan
sama-sama baru lulus.”

“Oh… Satu almamater di
Universitas Telkom ya…?”

“Satu kelas,” jawab
Ghozi.

“Berarti dia gadis
Bandung?”

“Iya. Sunda.”

Sesekali Ghozi juga menelepon
orang tuanya. Yang tinggal di Bangka –tenaga serabutan.

“Aplikasi yang diperintahkan
pimpinan itu sudah dicoba di Bangka-Belitung. Sudah beberapa hari ini,”
ujar Ghozi. “Berjalan sangat baik,” tambahnya.

Dengan aplikasi ini –#gardaperbatasan–
orang yang ingin pergi-pergi tidak perlu repot. Dari rumah mereka sudah bisa download aplikasi
itu. Lalu memasukkan data yang diperlukan untuk pergi. Misalnya hasil
tes-cepat, surat izin pergi, KTP dan seterusnya.

Di perbatasan nanti –ini antar
provinsi dulu– tinggal menunjukkan QR ke petugas. Dari scan QR
itu petugas bisa tahu semua kelengkapan tadi.

Tidak perlu lagi pemeriksaan
surat-surat.

Bagaimana kalau dokumen itu
palsu?

“Ke depan masing-masing
orang tidak bisa memasukkan data hasil tes. Rumah sakit-lah yang upload ke
aplikasi,” katanya.

Baca Juga :  BPN Luncurkan Program Layanan Hak Tanggungan Digital

Di Bangka Belitung hasil
percobaan itu sangat baik. Kebetulan baru saja ada kapal merapat di pelabuhan
Bangka Barat. Dari… tidak perlu disebut di sini. Membawa 70 penumpang.

Sebelum turun dari kapal mereka
diminta download Apps
tersebut. Lalu dipasangi gelang ‘pahlawan anti Covid’.

Simpel sekali.

Bagaimana yang ponselnya iPhone?

“Kebetulan dari 70 penumpang
itu yang 62 orang pakai Android,” ujar Ghozi.

Sedang yang 8 orang lagi juga
bukan karena iPhone. “Ada juga yang karena pakai ponsel jadul,”
tambahnya.

Mereka itu ditangani secara
khusus: isi dokumen kertas.

Sehari kemudian salah seorang
penumpang kapal itu merasakan gejala tidak enak badan. Lapor ke BNPB Bangka
Belitung. Dilakukanlah tes-cepat: positif. Lalu dites swab: positif.

Maka 69 penumpang kapal lainnya
wajib melanjutkan karantina di rumah masing-masing. Dimonitor lewat ‘gelang
pahlawan’ –yang terhubung dengan komputer di BNPB.

Alhamdulillah. BNPB mulai punya
aplikasi yang praktis untuk digunakan publik. Tinggal kapan provinsi lain
mencobanya. Dan kapan dimulai: rumah sakit-lah yang mengunggah data hasil tes
–untuk mencegah pemalsuan.

“Masih ada beberapa aplikasi
lagi yang disiapkan. Baru selesai 70 persen,” ujar Ghozi.

Itu termasuk aplikasi untuk
mengatur pengunjung mal. Yang sangat diperlukan di era new
normal
 nanti.

Masih begitu banyak yang perlu
dikerjakan. Berarti Ghozi memang masih belum perlu punya rumah.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru