Saya belum pernah makan dua jenis durian ini:
namlong dan super tembaga.
Beruntunglah orang Bangka –daerah asal dua
jenis durian itu.
Kalau saja tidak sedang ada wabah saya pasti
langsung ke Bangka. Mengajak dua penggila durian independen –belum ketemu
siapa orangnya. Mereka harus jadi juri: mana yang lebih mak-nyus –musang
king-nya Malaysia atau namlong dan super tembaganya Bangka.
Saya penasaran. Terutama atas jawaban Gubernur
Bangka Belitung, Erzaldi Rosman ini. Yakni jawaban atas pertanyaan saya, mana
yang nilainya lebih tinggi: musang king, namlong atau super tembaga.
Jawab Erzaldi mengejutkan saya:
Nilai musang king: 70.
Nilai namlong: 75.
Nilai super tembaga: 90.
Wow!
Hari itu saya memang bertanya ke Pak Gubernur
Erzaldi: kalau nilai musang king 90, berapa nilai super tembaga?
Ternyata jawaban beliau seperti itu.
Saya pun flash back ke
masa lalu: berapa dong nilai durian di Sorolangun –yang dulu sering saya makan
itu. Yang sudah saya anggap lezat itu.
Kalau Gubernur Babel benar, bukan main lezatnya
super tembaga itu. Apalagi kalau dewan juri nanti sependapat dengan Gubernur
Erzaldi.
Senin lalu saya memang terlibat diskusi dengan
Pak Gubernur. Diskusi jarak jauh. Lewat Zoom.
Hadir juga di layar ponsel saya Pak Djohan
Aping. Juga Pak Juaidi (Kepala Dinas Pertanian Bangka).
Saya memang terlalu berharap agar Bangka
menjadi garda depan ekspor durian Indonesia.
Pertimbangan saya banyak. Bangka-lah yang sudah
memulai program durian estate. Tanah Bangka memang sangat istimewa –untuk
durian.
Posisi Bangka sendiri kan di garda depan
–menghadap Laut China Selatan. Yang lebih utama: Bangka-lah yang pertama
memiliki durian terstandar.
Di Bangka, seperti dikemukakan Pak Gubernur
Erzaldi, hanya dikembangkan dua jenis durian itu saja –namlong dan super
tembaga.
Dengan hanya mengembangkan dua unggulan Bangka
bisa lebih fokus.
Selama ini pembeli durian di Indonesia suka
bingung. Terutama kalau lagi menghadapi tumpukan durian di pinggir jalan: yang
mana yang enak. Anekanya terlalu ria. Kadang beli lima hanya dua yang
memuaskan.
Inilah kelemahan utama durian kita — di pasar
ekspor. Pembeli durian internasional tidak mau pusing. Mau mereka sederhana:
jenis apa, rasanya bagaimana.
Itulah keunggulan durian Malaysia: musang king.
Rasanya pasti: seperti itu. Teksturnya pasti: seperti itu. Ketebalan dagingnya
pasti: setebal itu. Ukuran bijinya pasti: sekecil dan segepeng itu.
Pembeli durian di Indonesia itu memang pemaaf
dan toleran. Sudah berapa kali pun â€tertipu†masih juga mau membeli lagi. Saat
mendapat yang kurang enak pun masih bisa bilang: hari ini lagi sial. Merasa
masih ada hari berikutnya.
Dengan gambaran seperti itu terlalu sulit bagi
kita untuk mengejar Malaysia.
Bagaimana jalan keluarnya?
Harus lebih dulu dilakukan revolusi! Yakni
revolusi durian. Revolusi durian Indonesia. Yakni membabat habis pohon durian
yang terlalu berjenis-jenis itu. Untuk diganti satu dua jenis saja yang
unggulan semua.
Dan itu tidak mungkin. Tidak realistis.
Mana bisa penduduk diminta menebang pohon
durian mereka –setidak enak apa pun rasanya. Menanam durian itu sulit.
Menunggu berbuahnya lama. Untuk menggantinya dengan yang unggul tidak bisa
cepat. Mereka bisa kehilangan penghasilan selama enam tahun. Siapa yang menanggung.
Tapi kalau terus dibiarkan begini, seumur hidup
pun kita tidak bisa mengejar Malaysia. Padahal kita pernah bisa mengalahkan
Malaysia: di kelapa sawit. Yang dulu juga pernah dinilai tidak mungkin.
Sambil menanti jalan revolusi itu muncullah
harapan dari Bangka. Bukan main senangnya orang seperti saya.
Kan saya tahu. Begitu besar pasar durian di
Tiongkok. Dengan penduduk 1,4 miliar. Yang pendapatan mereka terus meningkat.
Durian merupakan barang baru bagi mereka.
Sampai-sampai ada yang tidak tahu bagaimana cara makan durian. Lihatlah humor
yang saya sertakan di naskah ini. Lucu sekali.
Yang berjasa menduriankan Tiongkok adalah
Thailand. Tapi kita semua tahu: durian Thailand kalah dengan durian Medan. Atau
durian Jambi. Atau durian Pontianak. Atau durian Palu. Durian Ambon. Durian
Semarang. Durian mana pun dari Indonesia.
Tapi saya tidak pernah bisa menemukan durian
Indonesia di Tiongkok.
Belakangan muncullah durian musangking dari
Malaysia. Yang langsung mengalahkan durian Thailand.
Semua durian di muka bumi pun langsung tewas
oleh musang king –nama dan reputasinya.
Itulah yang saya ceritakan di diskusi Zoom
dengan Pak Erzaldi dan Pak Djohan Aping Senin lalu.
Djohan Aping adalah orang asli Bangka. Nama
sebenarnya: Djohan Riduan Hasan. Buyutnya pun sudah lahir di Bangka. Ia anak
ke-8 dari sembilan bersaudara.
Keuletannya muncul lantaran ayahnya meninggal
ketika ia baru berumur 3 tahun.
Sejak kecil ia sudah harus jualan kue bikinan
ibunya: piang nanas. Saya belum pernah mendengar nama kue itu –apalagi
merasakan enaknya. Ketika pak Djohan menyebut nama â€piang nanas†saya minta
diulang tiga kali: agar tidak salah menuliskannya.
Dari jualan itu pula ia bisa kuliah di
Tarumanegara Jakarta. Jurusan teknik mesin. Lalu bekerja di perusahaan spare part di Jakarta.
Tahun 1997 ia pulang ke Bangka. Bikin smelter
tambang timah. Sepuluh tahun kemudian Djohan merintis kebun sawit di Bangka.
â€Puluhan perusahaan Jakarta dan Malaysia punya kebun sawit di Bangka. Kok saya
yang putra Bangka tidak punya,†katanya saat itu.
Kini Djohan punya 5.000 hektare kebun sawit.
Juga mendirikan satu PKS berkapasitas 30 ton/hari. Pabrik kepala sawitnya itu
tergolong kecil di sana.
Dari kebun sawit itu Djohan memikirkan kebun
durian. Itu karena ia tahu durian Bangka tidak ada duanya. Khususnya yang dua
jenis tadi: namlong dan super tembaga.
â€Saya dengar Pak Djohan sudah punya 500 hektare
kebun durian…†tanya saya.
â€Baru 200 hektare,†katanya. â€Pelan-pelan,â€
tambahnya merendah.
Memang targetnya sampai 500 hektare. Tidak lama
lagi. Rasanya akan berhasil.
Ia pun sudah memiliki kebun pembibitan sendiri.
Yang tidak sesederhana pembibitan kelapa sawit.
â€Target kami Bangka harus memiliki 5.000 sampai
8.000 hektare kebun durian,†ujar Gubernur Erzaldi. â€Termasuk kebun milik
masyarakat,†tambah Gubernur.
Saat ini, ujar Pak Erzaldi, Bangka sudah
memiliki 800 hektare kebun durian.
â€Teman saya sudah ada yang punya 500 hektare,â€
ujar Pak Djohan.
Djohan kini fasih sekali bicara durian.
Termasuk bisa mengungkap rahasia di balik keistimewaan durian Bangka.
Tanah Bangka, katanya, adalah tanah tambang.
Khususnya timah dan tembaga. Itulah yang tidak dimiliki propinsi lain.
Hanya saja tanah seperti itu kurang unsur
makronya. â€Tapi unsur makro, seperti N, P, K, bisa ditambahkan,†ujar Djohan.
Dengan demikian tanah mineral tersebut menjadi
pembeda dari wilayah lain.
â€Jangankan durian,†ujar Djohan. â€Petai dari
Bangka ini baunya baru hilang setelah dua hari,†lanjutnya.
Juga jengkol.
â€Makan jengkol Bangka bisa benar-benar
jengkolen,†katanya.
Saya tidak tahu apa itu jengkolen. Tapi saya
akan bisa bertanya ke istri saya. Yang begitu sering merebus jengkol satu panci
–dimakan sendiri.
Walhasil, tanah Bangka itulah kuncinya. Mungkin
mirip tanah daerah Ipoh dan sekitarnya, Malaysia. Yang di masa lalu juga pusat
tambang timah –sekaligus kini menjadi pusat musang king.
Bangka akan membayar dendam lama kita: agar
Indonesia bisa ekspor buah tropik secara besar-besaran ke utara sana. Sebagai
senjata pengimbang neraca perdagangan kita.
Duluuuuuu, orang dari utara membanjir ke
Bangka.
Kelak, ganti durian Bangka akan mengalir ke
utara. (dahlan iskan)