PARTNER DONGENG: Ivan
Sumantri dan Iin Muthmainnah sudah berkiprah bersama Komunitas Dongeng Dakocan
selama 16 tahun.
MENYEMBUHKAN hati anak
negeri yang mengalami trauma lewat dongeng. Itulah yang dilakukan oleh Ivan
Sumantri Bonang dan Iin Muthmainnah. Pasutri dari Bandar Lampung tersebut mendirikan
Komunitas Dongeng Dakocan. Mereka berkeliling ke daerah-daerah konflik.
FERLYNDA PUTRI, Bandar
Lampung
Wangi kopi tiom yang
disuguhkan oleh Iin Jumat malam itu (21/6) sungguh menggoda. Rasa kopi tersebut
asam di awal. Tapi kemudian manis. Seperti pengalamannya bersama sang suami,
Ivan, saat mengambil kopi yang dibanderol hingga Rp5,3 juta per kg itu di Lanny
Jaya, Papua.
Misi mereka ke Lanny Jaya
bukanlah pelesiran. Penggawa Komunitas Dongeng Dakocan tersebut datang untuk
bercerita. Di daerah tertinggal seperti Lanny Jaya, banyak kelas kosong karena
tak ada guru yang mengajar. Untuk menghidupkan kelas-kelas itu, Polri mengisi
kegiatan belajar mengajar lewat Binmas Noken.
Iin dan Ivan digandeng Polri
untuk membantu mendongeng. Mereka keluar masuk sekolah di sana. Selain itu,
mereka ditugaskan untuk mendidik polisi calon anggota Binmas Noken agar piawai
mendongeng. Supaya bisa meneruskan apa yang sudah mereka lakukan.
Iin tak ingat betul kapan
dirinya mengambil kopi tiom. Yang dia ingat, pada 2018 dirinya dan sang suami
turun ke Distrik Tiom, Kabupaten Lanny Jaya. Saat berangkat, rombongan dua
mobil itu sudah diwanti-wanti agar tidak terlambat pulang. Maksimal pukul 16.00
harus turun gunung menuju Wamena.
Namun, ternyata mereka baru
menyelesaikan kegiatan pukul 16.00 dan bisa meninggalkan lokasi 30 menit
setelah itu. Mereka terlambat, salah satunya, karena menunggu kopi tiom.
Perempuan 42 tahun tersebut duduk di mobil pertama bersama suaminya serta
beberapa polisi pengawal. Sopirnya merupakan warga sipil. â€Kami semua
menggunakan rompi antipeluru,†tutur Iin saat ditemui di kediamannya di Bandar
Lampung.
Di tengah perjalanan, ada
segerombolan orang yang menghentikan mobil. Menurut informasi yang diperoleh
Iin, mereka merupakan partisan Organisasi Papua Merdeka (OPM). â€Yang
menghentikan mobil memang tidak bersenjata. Namun, di sisi-sisi bukit pasti ada
yang bersenjata. Siap-siap kalau ada perlawanan,†ujar sarjana pertanian
Universitas Lampung yang juga sempat mengenyam pendidikan psikologi di
Universitas Muhammadiyah Lampung tapi tak sampai lulus itu.
Ivan dan Iin ingat wejangan
polisi sebelum menuju Distrik Tiom. Jika ada penyerangan tapi mobil masih
berjalan, harus merunduk. Tapi, kalau mobil sudah berhenti, yang mesti
dilakukan adalah segera keluar dan bersembunyi di parit. â€Kalau penembaknya
mendekat, ya berdoa saja,†tutur Ivan, disambung tawa.
Tiba saatnya rombongan Iin
melintas. Sopir sudah hafal. Semua orang diminta untuk menunduk. Mobil Fortuner
yang mereka tumpangi dipacu kencang. Tidak peduli apakah nanti ada korban yang
tertabrak. Yang terpenting adalah segera melewati jembatan sepanjang 20 meter
itu.
Situasi tegang bukan hanya
karena kebut-kebutan. Tapi juga karena semua polisi di dalam mobil itu sudah
mengokang senjata. Iin dan Ivan mengaku tak mampu berpikir banyak. Pasrah saja
melewati rencana Tuhan. â€Mungkin karena yang di bukit belum siap menembak, jadi
kami aman,†ucap dia.
Rombongan melaju kencang
hingga sinyal ponsel muncul. Entah seberapa jauh yang mereka tempuh. Begitu
sinyal ada, ternyata Ivan mendapat missed call berkali-kali dari salah seorang
petinggi polisi di Jayapura. Ivan menelepon balik. Petinggi polisi itu hendak
mengabarkan bahwa ada penyerangan di tempat mereka lewat dan ada korban. Kabar
yang terlambat karena mereka sudah melewati jalan tersebut. Namun, yang
terpenting, seluruh rombongan selamat.
Asap di gelas yang berisi
kopi tiom masih mengepul. Cerita dari keduanya tak berhenti. Perjalanan dongeng
di Papua tersebut dimulai 15 Juli tahun lalu. Komunitas Dongeng Dakocan yang bermarkas
di Lampung berangkat ke Papua. Tawaran dari Polri itu mereka terima karena
memang misi mereka adalah membagi sukacita kepada seluruh anak di penjuru
negeri.
Sasaran utamanya adalah
anak-anak yang tinggal di wilayah konflik. Anak-anak itu rentan mengalami
trauma. Mendongeng dan bermain dianggap sebagai salah satu cara trauma healing.
Cerita yang dibawakan adalah yang menyenangkan dan bertema cinta tanah air. Di
antaranya, kisah Si Rambut Satu dan Si Rambut Dua, Kakek dan Nenek, juga Empat
Sahabat. Tiga cerita tersebut memiliki nilai baik. Tentang keragaman, kasih
sayang, kebangsaan, rasa cinta tanah air, kerja sama, sikap saling menghormati,
kejujuran, dan kedamaian.
Selain mendengarkan dongeng,
anak-anak diajak menyanyi dan menggambar. â€Lagu-lagu kebangsaan seperti Garuda
Pancasila dan Berkibarlah Benderaku,†tutur Ivan.
Selain mendongeng, Ivan dan
Iin diminta untuk melatih teknik mendongeng. Di Papua, mereka meminta polisi
yang pandai bicara dan suka anak-anak. Dua modal tersebut membuat polisi yang
terpilih gampang dilatih. â€Latihannya 3–4 jam saja,†ucapnya.
Materi dalam pelatihan itu,
antara lain, teknik komunikasi dengan anak-anak, aspek teknik dongeng, dan
afirmasi pesan. â€Rencananya, menerbitkan kumpulan cerita anak yang ditulis
polisi-polisi itu,†lanjut Ivan.
Komunitas Dongeng Dakocan
sudah 16 tahun berkiprah. Perjalanan ke Papua bukan kali pertama bagi Ivan dan
Iin. Selain ke wilayah konflik, mereka kerap datang pascabencana. Pengalaman
pertama mereka adalah mendongeng untuk anak-anak korban gempa dan tsunami besar
di Aceh pada 2004. â€Lebih mudah melakukan trauma healing kepada anak korban
bencana ketimbang di daerah konflik. Mereka tidak memiliki dendam kepada siapa
pun,†ungkap pria 50 tahun itu.
Kiprah keduanya dalam
mendongeng sudah diakui. Komunitas itu pernah melatih lebih dari 8.000 guru dan
orang tua di Lampung, Jakarta, dan Bali pada kurun 2007–2018. â€Ini komunitas
nirlaba,†ucapnya.
Saat mendongeng, biasanya
Iin berperan sebagai penutur. Sementara itu, Ivan memegang alat musik seperti
gitar. Ilmu psikologi yang diperoleh Iin membantunya dalam menyampaikan pesan.
Ketika ditanya hal yang membuat mereka senang mendongeng, keduanya sepakat
bahwa kebahagiaan pada diri anak-anak harus ditularkan. Kebahagiaan bukan hanya
milik anak-anak yang hidupnya relatif stabil.
Hampir tiga jam Iin dan Ivan
bercerita. Gelas yang berisi kopi tiom sudah tak hangat. Airnya juga sudah
tinggal sedikit sehingga terlihat ampas kopi yang digiling kasar. Kopi tiom
memang belum sepopuler kopi gayo atau kopi toraja. Namun, kopi tiom mampu
menunjukkan kelasnya. Dia memiliki keunikan sendiri. Seperti bocah-bocah di
Papua. (jpc)