Oleh HASAN ASPAHANI
—
Permintaan Dila pagi itu seakan menampar kesadaran Andi. Anak perempuannya itu mengajak Andi menengok kuburan ibunya. Ia seperti disadarkan, sejak istrinya dimakamkan lima tahun lalu, meninggal karena melahirkan Dila, ia tak pernah berziarah, sendiri, apalagi mengajak Dila.
KATA Katrin di sana ada penjual bunga. Kita bisa beli buat ditabur di makam mama. Katrin kemarin menengok makam neneknya,” kata Dila, mengulang cerita teman sekelasnya.
Andi tidak bisa menolak. Pagi Minggu itu dia sedang tak ada kegiatan. Dia ambil cuti mingguan dari pekerjaannya sebagai kepala sekuriti di gedung perkantoran Graha Kadin, kantor pusat organisasi pengusaha dan kantor beberapa perusahaan anggotanya.
Hantaman kedua, yang lebih keras, menampar Andi ketika di TPU Ketapang Kencana, ia tak menemukan makam istrinya. Ia lalai membayar biaya perawatan tahunan. Tanpa itu, setelah satu tahun makam siapa pun akan ditimpa dengan makam lain. Dila yang sudah membeli kembang hanya menaburkannya di tempat yang kira-kira di situlah mamanya dimakamkan.
Kompleks pemakaman itu memang sudah penuh dan padat. Petugas hanya memberi informasi berdasar catatan di mana lokasi makam seseorang, tapi tak ada lagi nisan penanda siapa dimakamkan di mana. Pulang dari TPU Ketapang Kencana, Dila ngambek, dia sama sekali tak mau bicara sama Andi.
Besoknya Dila tak mau sekolah. Andi minta Runi membujuknya. Runi yang masih terbilang saudara sudah lima tahun membantu Andi merawat Dila. Andi sebenarnya ingin menemani Dila saja.
Tapi, hari itu dia harus masuk kerja karena ada perusahaan baru yang mau pindah berkantor di sana, dan urusan begini, apalagi terkait aspek keamanan, dia yang bertanggung jawab, tak bisa ia serahkan pada sekuriti lain anak buahnya.
Dirut perusahaan baru, sebuah perusahaan EO cukup terkenal, ternyata mengenali Andi. Lima tahun bukanlah waktu yang lama. Dialah dulu yang menjadi promotor pertandingan tinju profesional Andi yang pertama dan –sialnya– juga yang terakhir.
”The Thunder Boxer? Wah, ketemu di sini kita,” kata Ilham Banteng. Ia tak berubah, tetap dengan gayanya yang riang. Seolah semua persoalan di dunia ini bisa ia bereskan, seperti bagaimana dulu ia membujuk Andi untuk masuk ke kancah profesional.
Andi adalah raja kelas ringan amatir. Di PON –bertarung mewakili Bali– bertahun-tahun tak ada yang bisa mengalahkan Andi. Sampai peristiwa di Surabaya itu. Ia bertarung dengan Josh Rambang. Petinju yang sebenarnya satu kelas di atas Andi. Ilham menawarkan bayaran yang besar bagi Andi.
Tergiur dengan angka yang disodorkan Ilham, Andi teken kontrak. Ia kala itu perlu uang untuk biaya pernikahannya dengan Arina. Dan di pertarungan itu dia nyaris tewas. Ia ternyata tak siap bertarung di ring profesional. Sebulan di rumah sakit, baru kesadarannya berangsur pulih.
Andi lalu menghilang dari dunia tinju. Ia pindah ke Jakarta, bekerja apa saja, sampai akhirnya bergabung di perusahaan penyedia jasa keamanan, lalu menikahi Arina, dan tak lama kemudian mengandung Dila.
Selesai urusan pindah kantor, Ilham mengajak Andi berbincang di kafe di gedung kantor itu. Di mata Ilham, sosok Andi masih seperti petinju. Tak banyak berubah. Andi untuk kepentingan pekerjaan memang masih disiplin menjaga kesehatan dan bentuk tubuhnya.
Setelah pembicaraan ke sana kemari, seperti hendak meringkas apa yang terjadi selama lima tahun berselang, Ilham dengan ringan menawarkan sesuatu pada Andi. ”Masih mau naik ring, nggak, Mas Andi? Kita siapkan event-nya, deh. Ini bisa kita kemas jadi show yang menarik, Mas… Tahu gak judulnya apa? Apa coba? Ini nih: The Thunder Boxer is Back!”
Andi dengan tegas menolak. Ia masih belum bebas dari trauma lima tahun lalu itu. Trauma yang ingin benar ia bisa bebaskan dari dalam jiwanya. Tapi, ia masih terbayang bagaimana sebuah pukulan lurus menghantam hidungnya, disusul sebuah swing yang membuat dia terlempar ke tali ring sebelum terempas jatuh dan tak ingat apa-apa lagi.
”Bung, jangan langsung bilang nggak mau gitu, dong. Pikir saja dulu, Bung Andi,” kata Ilham. Ia bahkan sudah menjanjikan bayaran yang besar. Andi sebenarnya sedang tak terlalu menyimak kata-kata Ilham. Ia masih memikirkan Dila. Dia lalu menelepon Runi.
”Dila demam. Sepertinya harus lekas dibawa ke rumah sakit,” kata Runi dengan suara cemas. Mendengar kabar itu, Andi lebih khawatir lagi. Tak jadi dia bertanya apakah setoran bajaj yang ia sewakan sudah masuk.
Sebagai tambahan penghasilan, Andi mengelola belasan bajaj yang ia sewakan dengan tarif harian. Dipotong biaya perawatan hasilnya sangat lumayan. Ia membagi hasilnya untuk Runi yang mencatat keuangan usaha tersebut.
”Bawa saja duluan ke rumah sakit. Saya menyusul,” kata Andi.
Suhu tubuh Dila meninggi dan napasnya sesak. Ada pembengkakan di leher dan dia merasakan nyeri ketika menelan. Karena itu, dia seharian tak mau makan. Dokter yang memeriksa Dila mendeteksi adanya limfadenopati, pembengkakan pada kelenjar getah bening.
”Anak Anda terinfeksi virus. Limfadenopati terjadi ketika tubuh melawan virus itu. Makanya jadi demam. Sementara kita kasih antibiotik dulu. Mudah-mudahan kelenjar getah beningnya belum terinfeksi,” kata dokter. Dila harus dirawat inap. Perawat menyiapkan tes darah untuk analisis yang lebih akurat.
Malam itu Andi tidur di rumah sakit. Dila masih tak mau bicara dengannya. Andi mengenang sifat istrinya yang sama tegasnya dan keras kepalanya. Andi tak bisa tidur. Melihat anaknya terbaring lemah dengan gantungan botol infus dan slang yang terhubung lewat lengan, Andi seperti tertampar lagi untuk kali ketiga. Ia merasa seakan telah melupakan pesan terakhir istrinya.
Setelah kematian Arina, sebuah harga yang sangat mahal yang harus dia bayar untuk menyelamatkan Dila, Andi hanya punya satu jalan untuk menebusnya, ia harus membesarkan Dila sebaik-baiknya. Itulah yang dibisikkan Arina dalam kesadaran yang tak sampai setengahnya. ”…. rawat anak kita, besarkan anak kita… anak kita…”
Menjelang kelahiran Dila, Andi diam-diam sedang menyiapkan diri naik ring lagi. Ada tawaran bertanding yang bayarannya ia hitung cukup untuk biaya bersalin. Sejak usia kandungan enam bulan, sudah terdeteksi Arina kemungkinan akan mengalami masalah persalinan. Harus disiapkan kemungkinan operasi dan itu mahal. Rencana naik ring itu ditentang oleh Arina.
Arina bahkan marah. Menganggap tindakan Andi itu konyol. ”Kamu mau mati? Gak ingat kamu koma sebulan lebih?” Andi membatalkan pertandingan dan setelah Arina meninggal, Andi makin jauh dari ring tinju.
Andi semakin cemas. Beberapa hari setelah Dila dirawat sama sekali tak ada gejala membaik, hasil tes darahnya telah keluar. Penjelasan dokter membuat Andi harus mengajak Runi berunding. Ia tak punya siapa-siapa, hanya Runi kerabat dekatnya. Dila terdeteksi mengidap kanker getah bening.
Dokter tadi sudah memberi tahu risiko, kemungkinan sembuh, dan menjelaskan tindakan terbaik yang bisa dipersiapkan dan perkiraan biayanya. Andi punya tabungan yang sebenarnya ia persiapkan untuk biaya pendidikan Dila. Ia sudah menghitung berapa dana tambahan yang terkumpul jika sebagian atau semua bajaj dijual. Hasilnya? Masih tidak cukup.
Andi teringat tawaran Ilham Banteng.
Dari ranjang pasien, Dila meminta Runi menghidupkan televisi, mencari kanal yang menyiarkan langsung pertandingan tinju Andi ”The Thunder Boxer” Ray melawan Josh Rambang. Anak sekecil itu tak terlalu paham dan tak bisa merasakan ada hawa balas dendam yang menguar di ring itu.
Tapi, Ilham Banteng melihat aliran uang yang deras dari situ. Tak susah buatnya untuk mencari sponsor. Dila hanya tahu ayahnya bertarung demi uang untuk biaya penyembuhannya. Ia menonton tanpa ekspresi dan tanpa emosi, apa pun yang terjadi sepanjang pertarungan hingga Andi berhasil menumbangkan Josh, yang sejak awal meremehkan Andi dan merasa di atas angin.
Runi mematikan televisi. Dila tampak meneteskan air mata, lalu memiringkan tubuh, menghadapkan wajahnya ke dinding. Anak itu berusaha tidur.
Rampai kembang mawar berjatuhan perlahan dari tangan Andi. Rampai kembang mawar menutupi tanah yang masih segar. Dua nisan tertancap berdampingan. Andi masih saja tak percaya, tak mau percaya, meski berulang-ulang membaca dua nama itu: Dila dan Arina, anak dan istrinya.
Kompleks pemakaman petang itu senyap meski tak jauh dari tempat Andi terduduk sejak tadi, ada petugas yang menggali lubang kubur baru di antara batu nisan yang berdesakan. Runi memandangi Andi dari jauh dari rimbunan pohon yang teduh di tepi kompleks pemakaman. (*)
—
HASAN ASPAHANI, Penulis, penyair, jurnalis, kelahiran 1971 di Sei Raden, Samboja, Kutai Kartanegara, Kaltim. Kini menetap di Jakarta, berkhidmat di DKJ.