SEPASANG kerbau bajak berendam di anak sungai. Munaji yang berada
tak jauh dari binatang peliharaannya itu membersihkan kaki dan tangan yang
penuh lumpur. Dari kejauhan ia mendengar bising traktor. Dadanya bergemuruh.
Cepat-cepat ia menjejakkan kaki pada tumpak belukar, lalu meniti pematang.
Meninggalkan sepasang kerbau dan deru traktor yang bergerak mendekap
pohon-pohon.
Belakangan ini, Munaji kerap
dihantui ketakutan. Dua puluh tahun menggarap sawah, baru sekarang ia
benar-benar gundah. Ia tahu perkembangan zaman tak bisa dilawan. Namun,
perkembangan zaman pula yang menyebabkan berkelindan segala macam utang. Ocehan
kebutuhan dapur dan iuran tembok kukuh sekolah tumpah ruah ke segala sudut
tubuh bagai anak panah lepas dari busur.
Utang-utang yang kian menikam
badan itu menyebabkan Munaji ingin gantung diri sebagaimana yang diperbuat Mat
Ra’i setahun lalu. Di sini, di Bumi Pandalungan ini, para lelaki menghafal
rumus tembakau serupa mengingat kelahiran bayi yang keluar dari farji
perempuan. Menanam tembakau tak ubahnya berjudi. Kalau untung, bakal naik haji
berkali-kali. Kalau buntung, nyawa melekat harus disyukuri. Agaknya, Mat Ra’i
hendak bermain api. Padahal, isu tembakau yang digenjot kenaikan cukai telah
diembuskan penguasa jauh-jauh hari.
Sebetulnya, ketika Munaji
menengok Mat Ra’i yang gantung diri pada batang mahoni –musabab berton-ton
tembakaunya ditolak gudang– saat itulah benih risau mulai tumbuh. Sebagai
petani yang hanya memiliki sepetak sawah sempit, tak bakal mumpuni menghidupi
keluarga melalui panen empat bulan sekali. Apa boleh dikata, mulut-mulut petani
merekah. Hampir seluruh petani beralih ke traktor baja, padahal kerbau bajak
adalah sumber keuangannya.
Munaji yang tiba di belakang
dapur memasang tampang bersungut. Istrinya yang sedari tadi menunggu di ambang
pintu cepat-cepat mengambil bakul dan memindahkan isi tak seberapa itu ke atas
piring. Seakan tak memedulikan keadaan, Munaji bersila di atas lincak dan
melahap nasi bersama ikan asin. Perut Misni berbunyi nyaring, tapi ia pura-pura
batuk. Pura-pura menyerakkan suara.
â€Dur Rahem datang bersama
istrinya. Dua pekan lagi mereka berangkat ke Taiwan,†kata Misni. Munaji tak
menyahut.
â€Aku sudah menyerahkan fotokopi
KK dan KTP. Bisa jadi aku berangkat bersama.â€
Munaji menaruh piring. Ditatapnya
lekat-lekat istrinya itu. Belum sempat mengucap sepatah kata, Misni menjegalnya
terlebih dulu.
â€Gaji di sana sembilan juta.
Tidak sampai setahun, utang kita lunas. Bahkan kita bisa berbenah rumah. Bisa
beli sawah. Beli sepeda keluaran anyar. Bisa beli…â€
â€Tapi kau baru pulang tujuh tahun
lagi.â€
Percakapan berakhir. Misni
memungut piring yang belum bersih itu.
***
Tidak ada yang keliru dengan
kepergian Misni. Tidak ada yang keliru dengan pergantian rumah reot menjadi
rumah megah di antara rumah reot yang lain. Namun, gemeretak ngilu bukan
berarti tidak terdengar ke Taiwan. Berkali-kali Misni menerima kabar berduri
bahwa lelakinya hidup bak raja dalam istana bersama permaisuri muda yang tak
lain adalah kerabatnya.
Biar kontrak kerja berkata baru bisa
pulang usai tujuh tahun lamanya, Misni bersikukuh pulang kampung. Hendak
membuktikan seluk-beluk penderitaan yang ia simpan bertahun-tahun. Tanpa
sepengetahuan Munaji, ia tiba di rumah megahnya pada malam hari ketika langit
tiba-tiba gerimis. Seolah-olah ikut menangis manakala Misni mengendap-ngendap
lewat pintu belakang, dan ia mendapati adegan paling memuakkan. Perempuan itu
tak mampu menenangkan gelombang yang telanjur menerjang ubun-ubun. Nyala dendam
mengantarnya pada sebilah kapak di sudut dapur.
Akhirnya, lubang menganga dalam
dadanya tuntas saat darah merah muncrat sebagai sejarah. Misni berhasil menebas
kepala Munaji, sedangkan selingkuhannya berhasil melarikan diri tanpa sempat
memakai celana dalam dan kutang.
***
Bunyi gerigi besi bego yang
mengeruk bebatuan kian menggigilkan tulang. Murtadi tersenyum payau mendapati
mandor meminta sopir bego pindah haluan ketika batu-batu ditengarai rentan
runtuh. Tangannya mengepal. Dadanya sesak. Bukan apa-apa. Dua bulan lalu, justru
dirinya yang berada di gumuk itu. Mereka mengais rezeki dengan cara menggali
batu fondasi yang kini diminati banyak orang. Menggunakan linggis dan palu,
mereka membuat jalan setapak sebagai akses keluar masuk truk pengangkut hasil
galian. Namun, tebing setinggi 5 meter tiba-tiba longsor dan menimpa Jasen.
Polisi bertindak cepat dengan menghentikan penambangan.
Murtadi tak paham mengapa aparat
keamanan menyebutnya sebagai penambang ilegal, padahal gumuk yang ia gali atas
izin pemiliknya. Malah dua Minggu lalu, gumuk itu kembali dikeruk menggunakan
bego, dan mereka muncul di situ tanpa melarang.
Mana yang lebih kejam, hilangnya
mata pencaharian atau utang-utang yang kian muram, rasa-rasanya Murtadi tak
bisa memilih. Napasnya kian tersengal mendengar deru alat berat itu. Ingin
rasanya ia berdiri di atas tebing lalu berteriak lantang, mengapa tambang
mereka diperkenankan, tetapi tambang yang dikerjakan orang kecil ditentang?
Napas Murtadi kian tersengal. Ia tinggalkan ladang Wak Umar, padahal ketela belum
terserabut semua.
Rupanya, penjuru mata angin telah
menguasai lelaki itu. Sesampainya di rumah, ia bongkar isi lemari dan memungut
KTP. Jamilah yang mendapati suaminya menyentuh kunci sepeda butut keluaran
tahun tujuh puluhan menarik lengan.
â€Lebih baik kerja di sini meski
hasilnya sedikit daripada di tanah orang yang rentan lupa kampung halaman.â€
â€Aku ini lelaki. Pantang
berpangku tangan mendapati utang kian berjejal.â€
â€Lantas, dengan apa kita bayar
ongkos ke Malaysia? Pinjam ke Wak Umar yang bunganya mencekik kita
pelan-pelan?â€
â€Kau tak usah khawatir. Akan
kukirim uang bulanan sebagai pelunas utang. Lagi pula aku masih punya harga
diri. Tidak membiarkan istrinya pergi ke Taiwan yang gajinya lebih besar.â€
Jamilah tak mampu menahan
Murtadi. Keputusan suaminya menyeberang ke negeri jiran betul-betul terjadi.
***
Hari-hari terus bergerak.
Bulan-bulan terus berarak. Tahun ke tahun yang bukan lagi sekadar bilangan
angka seakan menjawab ketakutan Jamilah bahwa jarak terkadang melahirkan perih
berkepanjangan. Murtadi benar-benar hilang. Entah hilang betulan atau sengaja
tak berkabar, tak pernah ia kirim uang. Berkali-kali Jamilah mengutuk waktu,
mengapa ia memiliki takdir buruk sebab ia tak hanya ditinggal lelaki, tetapi
juga ditinggali utang ongkos keberangkatan Murtadi.
Baru pekan lalu, ia memberanikan
diri menemui Husen, lelaki yang baru datang dari Malaysia. Mula-mula lelaki itu
enggan membuka bibir. Lama-lama lelaki itu bersuara sebab bagaimanapun ia
berangkat bersama Murtadi. Betapa gemuruhnya hati Jamilah ketika Husen menyebut
Murtadi tak lagi di Malaysia, melainkan ke Taiwan mengejar gaji yang lebih
besar. Sialnya, Murtadi menghamburkan gajinya bersama perempuan lain.
Maka, ketika tiba kesempatan
menumpahkan segala kemarahan, Jamilah tak menyia-nyiakan waktu. Hari di mana
ibu Murtadi wafat, dan meninggalkan sepetak sawah di tepi jalan yang ditaksir
cukong dengan harga melangit, adik Murtadi meminta kakaknya pulang barang
sebentar untuk mengurusi warisan. Jamilah menyambutnya dengan sebilah belati yang
disimpan dalam kutang.
Sebagaimana perpisahan dua insan
yang lama tak saling membuahi, Jamilah bertindak layaknya perempuan binal yang
haus pelukan. Ia seret Murtadi ke dalam kamar. Ia biarkan suaminya melepas
pakaiannya sendiri. Ketika lelaki itu hendak membuka pakaian bawah Jamilah,
perempuan tersebut mendorong tubuh lelaki itu hingga telentang di atas ranjang,
lalu ia tikam berulang-ulang.
***
Deru angin kemarau yang cukup
kencang menyambut dua tahanan perempuan yang baru saja melepas seragam. Sebagai
warga negara yang tercatat sebagai pembunuh, keduanya tak berada di kamar yang
sama selama mendekam di Lapas Kelas II-A Jember. Tak ayal, mereka saling
melempar senyum ketika melewati gerbang abu-abu yang bertulis Pintu Taubat.
Pembunuh Pertama membantu penjual
kopi keliling yang kelimpungan menutupi dagangan. Angin yang makin kencang tak
hanya mengayunkan dedaunan dan pohon ketapang, melainkan mengantar debu pada
racikan.
â€Nunggu angkot atau dijemput?â€
kata Pembunuh Pertama.
â€Pulang ke rumah atau menghilang,
pembunuh akan selalu dicap pembunuh. Kau sendiri?â€
â€Hendak mencari orang yang
sanggup menerima pembunuh.â€
Layaknya kawan lama tak berjumpa,
keduanya saling bertukar cerita musabab terdampar di penjara. Pembunuh Pertama
tergelak tawa ketika ia menangkap jalan cerita yang mirip.
â€Ah, andai kau kerja di luar
negeri,†ujar Pembunuh Pertama sembari mencecap kopi. â€Kau bisa melampiaskan
perselingkuhan suami. Seperti aku ini. Tahu suami selingkuh, tahu anak
diserahkan ke Simbah, tahu gaji yang kukirim buat foya-foya dengan istri anyar.
Ya, aku juga selingkuh di tanah orang.â€
â€Lantas, sekarang kau hendak
mencari selingkuhanmu itu?â€
Pembunuh Pertama mengangguk.
â€Kami sama-sama pulang dari Taiwan. Pisah di terminal. Sekarang mau ke rumahnya
di Karangharjo.â€
Pembunuh Kedua tercekat. Matanya
tiba-tiba terbelalak. â€Aku orang sana. Siapa selingkuhanmu?â€
Segelas kopi diteguk habis.
Pembunuh Pertama menyodorkan beberapa ribu. Angkot yang akan membawanya ke arah
timur menepi.
“Murtadi,†bisiknya. “Dia ahlinya
meremas payudara sembari menikam kemaluan.†(*)
=================
NURILLAH ACHMAD, Menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan,
Sumenep, sekaligus alumnus Fakultas Hukum Universitas Jember, emerging writer
Ubud Writers & Readers Festival 2019, saat ini tinggal di Jember, Jawa
Timur