26.1 C
Jakarta
Friday, April 26, 2024

Buku, Pembaca, dan Rating

Jika saya sebagai seorang pembaca –terlepas dari buku apa pun yang dibaca– diberi rating oleh dunia hari ini yang bersinar oleh mukjizat internet yang memunculkan ragam situs jaringan sosial katalogisasi buku atau semacam aplikasi membaca, saya mungkin hanya akan mendapat 1,5 bintang.

Saya tidak memilih buku karena seseorang memberi 4,5 bintang. Saya juga tidak antusias pada buku karena tokoh publik atau bookstagram, misalnya, berpose imut dengan buku itu di media sosial atau memberi lima bintang di situs pembaca buku.

INI cukup membuktikan bahwa mukjizat ragam situs pemantau proses membaca belum cukup kuat mendekati pembaca ”semacam saya”. ”Semacam” di sini boleh diartikan sebagai pembaca yang banyak mengandalkan sarana cetak (buku, majalah, koran) untuk mendapat kabar tentang buku (resensi, sinopsis, kritik) dan penulis (biografi, proses kreatif).

Saya juga masih menikmati waktu-waktu berkelana di toko buku atau pasar buku bekas tanpa rencana akan bertemu buku apa. Saya memang menggunakan media sosial dan mengikuti beberapa akun penerbit, tapi hal itu cukup sebagai ruang menemukan informasi buku baru alih-alih penentu nilai suatu buku.

Bisa dibilang hidup di persimpangan antara masa-masa senjakala (media) cetak dan mekarnya hal-hal berbau digital, saya merasa lebih mudah membaca ulasan-ulasan tentang buku dalam Sastra dan Religiositas (1982) garapan Y.B.

Mangunwijaya, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-Esai Sastra dan Budaya (2004) oleh Ignas Kleden, atau lebih baru berupa catatan pembaca(an) berjudul Usaha Menulis Silsilah Bacaan (2020) milik Eka Kurniawan yang personal tapi tidak akan seheboh novelnya, daripada membuka situs katalogisasi buku untuk mencari rating secara cepat dan sedekat genggaman.

Namun, kejadian di toko buku beberapa waktu lalu membuat saya geli sendiri. Teman saya ingin membeli salah satu novel misteri penulis Jepang Keigo Higashino yang konon sedang populer (tentu informasi ini didapat dari situs katalogisasi buku) atau buku sebayanya. Teman saya mencocokkan setiap novel dengan rating dan komentar di situs katalogisasi buku.

Baca Juga :  Tentang Ketiak Kota yang tanpa Deodoran

Hasilnya, tidak ada buku yang berhasil ”memikat” teman saya! Sebagian besar karena rating buku-buku ini hanya empat lebih sedikit –bahkan tidak mencapai 4,5– atau beberapa review singkat pembaca yang terkadang langsung menguras minat; ending-nya begini, konflik kurang begitu, terlalu fokus pada masalah psikologis, dan lain-lain.

Seperti yang diyakini pembaca berbasis internet, situs katalogisasi buku memang menawarkan penilaian ringkas dan cepat tentang buku. Orang-orang tidak hanya bisa mencari rating, sinopsis, dan komentar, mereka juga terhubung dengan penulis atau booktuber idola, membuka akun pribadi, dan menikmati fitur giveaway buku. Jika penerbit atau dunia perbukuan secara umum selalu fokus pada sosok penulis, ruang virtual bacaan inilah yang memusatkan pembaca –pembaca sebagai sang sosok.

Siapakah Pembaca?

Bagi beberapa orang, membaca adalah peristiwa yang ajaib. Aceng Ruhendi Saifullah dalam pengantar buku Membaca dalam Kehidupan (1990) menulis, ”Nyaris tidak ada manusia yang tidak mengalami membaca sepanjang hayatnya. Membaca adalah kegiatan yang sangat purba.”

Membaca yang begitu personal meski tampaknya seorang pembaca menyelami kehidupan ”lain” di dalam buku, sebenarnya ia sedang menelusuri rute ke dalam diri. Maka, pembacaan satu buku bagi seseorang dengan seseorang lainnya bisa sangat memunculkan dampak yang berbeda. Satu buku bagi seseorang bisa begitu meresap, sedangkan bagi orang lain bisa sekadar lewat.

Situs jaringan sosial katalogisasi buku mengubah –atau Anda mungkin lebih suka istilah ”membentuk”– cara seseorang membaca dan menjadi pembaca. Membaca memang masih terkesan personal, tapi di sini terbentuk kesepakatan-kolektif virtual yang terlalu langsung untuk secara tersurat ataupun tersirat mengatakan bahwa ”buku ini bagus” atau ”buku itu jelek” –bahkan sebelum orang tertentu bisa memiliki lalu membacanya dengan mata hatinya. Pembaca (di)gagal(kan) bukan karena kesukaran akses (teknis) menuju buku, tapi penilaian yang cenderung mutlak dan langsung dipercaya.

Kesan persuasi lebih melekati alih-alih penawaran suatu perspektif. Para calon pembaca tidak ingin dikecewakan bahkan sebelum sekadar memegang bukunya. Atas nama pembaca-pemilik akun dan tidak anonim. Rating dan review (singkat) menentukan apakah buku akan berumur singkat atau beruntung berumur panjang menemukan pembaca lainnya.

Baca Juga :  Pemerataan Internet Terus Diupayakan

Ragam pembaca dari pelbagai latar yang memanfaatkan media digital –justru mereka bukan akademikus sastra, kritikus, atau pakar topik tertentu– menentukan bagaimana citra buku di hadapan calon umat pembaca. Anda terutama tidak membutuhkan penulis dan apa yang ditulisnya. Anda lebih membutuhkan pembaca yang nyata, tidak lagi anonim, dan siap memberikan rating!

Sebuah buku jadinya harus dihadapi dengan perasaan yang sama sekaligus kolektif. Anda mungkin pernah juga direkomendasikan buku oleh kenalan dengan alasan, ”Ini lagi viral dong!” Padahal, kenalan Anda pun belum membaca buku yang tengah viral ini! Atau, mungkin penyataan tidak wajar semacam, ”Masak kamu tidak baca buku ini, si anu (biasanya tokoh publik) posting buku ini di IG-nya lho!” Seandainya pun Anda sudah membaca buku yang dimaksud tapi tidak menangkap hal yang sama dengan si tokoh publik, Anda ditempatkan dalam situasi yang salah dan naif. Jelas suatu perendahan spontan yang begitu sistematis, memangkas keyakinan-keberanian sebagai pembaca sekaligus menurunkan kedaulatan diri atas daya pengalaman membaca.

Melihat rating adalah sebagian dari iman pembaca hari ini. Jaringan sosial yang disokong internet melahirkan ”keajaiban” dalam bentuk lain. Inilah masa pembaca kolektif yang pada akhirnya cukup mencetak rating. Para pembaca ini mungkin semakin sulit memetakan kedekatan pribadi atas teks seolah kerasukan seperti yang dialami dengan dramatis oleh ”aku” dalam novel Hari-Hari yang Mencurigakan (Dea Anugrah, 2022), ”Saat kubaca lembar pertama, ada sesuatu yang terasa bergerak dalam perutku, mungkin pankreas atau usus dua belas kilometer atau apalah.

Rusukku sudah lama sembuh, tapi jonjot-jonjot dalam usus besarku mungkin sedang saling membelit, mengisap, dan memeras. Aku berserdawa dan berpikir bahwa apa yang baru saja kubaca takkan kulupakan selama-lamanya.” (*)

SETYANINGSIH, Penulis emerging di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2021, berkantor di akademitinggaldua.com

Jika saya sebagai seorang pembaca –terlepas dari buku apa pun yang dibaca– diberi rating oleh dunia hari ini yang bersinar oleh mukjizat internet yang memunculkan ragam situs jaringan sosial katalogisasi buku atau semacam aplikasi membaca, saya mungkin hanya akan mendapat 1,5 bintang.

Saya tidak memilih buku karena seseorang memberi 4,5 bintang. Saya juga tidak antusias pada buku karena tokoh publik atau bookstagram, misalnya, berpose imut dengan buku itu di media sosial atau memberi lima bintang di situs pembaca buku.

INI cukup membuktikan bahwa mukjizat ragam situs pemantau proses membaca belum cukup kuat mendekati pembaca ”semacam saya”. ”Semacam” di sini boleh diartikan sebagai pembaca yang banyak mengandalkan sarana cetak (buku, majalah, koran) untuk mendapat kabar tentang buku (resensi, sinopsis, kritik) dan penulis (biografi, proses kreatif).

Saya juga masih menikmati waktu-waktu berkelana di toko buku atau pasar buku bekas tanpa rencana akan bertemu buku apa. Saya memang menggunakan media sosial dan mengikuti beberapa akun penerbit, tapi hal itu cukup sebagai ruang menemukan informasi buku baru alih-alih penentu nilai suatu buku.

Bisa dibilang hidup di persimpangan antara masa-masa senjakala (media) cetak dan mekarnya hal-hal berbau digital, saya merasa lebih mudah membaca ulasan-ulasan tentang buku dalam Sastra dan Religiositas (1982) garapan Y.B.

Mangunwijaya, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-Esai Sastra dan Budaya (2004) oleh Ignas Kleden, atau lebih baru berupa catatan pembaca(an) berjudul Usaha Menulis Silsilah Bacaan (2020) milik Eka Kurniawan yang personal tapi tidak akan seheboh novelnya, daripada membuka situs katalogisasi buku untuk mencari rating secara cepat dan sedekat genggaman.

Namun, kejadian di toko buku beberapa waktu lalu membuat saya geli sendiri. Teman saya ingin membeli salah satu novel misteri penulis Jepang Keigo Higashino yang konon sedang populer (tentu informasi ini didapat dari situs katalogisasi buku) atau buku sebayanya. Teman saya mencocokkan setiap novel dengan rating dan komentar di situs katalogisasi buku.

Baca Juga :  Tentang Ketiak Kota yang tanpa Deodoran

Hasilnya, tidak ada buku yang berhasil ”memikat” teman saya! Sebagian besar karena rating buku-buku ini hanya empat lebih sedikit –bahkan tidak mencapai 4,5– atau beberapa review singkat pembaca yang terkadang langsung menguras minat; ending-nya begini, konflik kurang begitu, terlalu fokus pada masalah psikologis, dan lain-lain.

Seperti yang diyakini pembaca berbasis internet, situs katalogisasi buku memang menawarkan penilaian ringkas dan cepat tentang buku. Orang-orang tidak hanya bisa mencari rating, sinopsis, dan komentar, mereka juga terhubung dengan penulis atau booktuber idola, membuka akun pribadi, dan menikmati fitur giveaway buku. Jika penerbit atau dunia perbukuan secara umum selalu fokus pada sosok penulis, ruang virtual bacaan inilah yang memusatkan pembaca –pembaca sebagai sang sosok.

Siapakah Pembaca?

Bagi beberapa orang, membaca adalah peristiwa yang ajaib. Aceng Ruhendi Saifullah dalam pengantar buku Membaca dalam Kehidupan (1990) menulis, ”Nyaris tidak ada manusia yang tidak mengalami membaca sepanjang hayatnya. Membaca adalah kegiatan yang sangat purba.”

Membaca yang begitu personal meski tampaknya seorang pembaca menyelami kehidupan ”lain” di dalam buku, sebenarnya ia sedang menelusuri rute ke dalam diri. Maka, pembacaan satu buku bagi seseorang dengan seseorang lainnya bisa sangat memunculkan dampak yang berbeda. Satu buku bagi seseorang bisa begitu meresap, sedangkan bagi orang lain bisa sekadar lewat.

Situs jaringan sosial katalogisasi buku mengubah –atau Anda mungkin lebih suka istilah ”membentuk”– cara seseorang membaca dan menjadi pembaca. Membaca memang masih terkesan personal, tapi di sini terbentuk kesepakatan-kolektif virtual yang terlalu langsung untuk secara tersurat ataupun tersirat mengatakan bahwa ”buku ini bagus” atau ”buku itu jelek” –bahkan sebelum orang tertentu bisa memiliki lalu membacanya dengan mata hatinya. Pembaca (di)gagal(kan) bukan karena kesukaran akses (teknis) menuju buku, tapi penilaian yang cenderung mutlak dan langsung dipercaya.

Kesan persuasi lebih melekati alih-alih penawaran suatu perspektif. Para calon pembaca tidak ingin dikecewakan bahkan sebelum sekadar memegang bukunya. Atas nama pembaca-pemilik akun dan tidak anonim. Rating dan review (singkat) menentukan apakah buku akan berumur singkat atau beruntung berumur panjang menemukan pembaca lainnya.

Baca Juga :  Pemerataan Internet Terus Diupayakan

Ragam pembaca dari pelbagai latar yang memanfaatkan media digital –justru mereka bukan akademikus sastra, kritikus, atau pakar topik tertentu– menentukan bagaimana citra buku di hadapan calon umat pembaca. Anda terutama tidak membutuhkan penulis dan apa yang ditulisnya. Anda lebih membutuhkan pembaca yang nyata, tidak lagi anonim, dan siap memberikan rating!

Sebuah buku jadinya harus dihadapi dengan perasaan yang sama sekaligus kolektif. Anda mungkin pernah juga direkomendasikan buku oleh kenalan dengan alasan, ”Ini lagi viral dong!” Padahal, kenalan Anda pun belum membaca buku yang tengah viral ini! Atau, mungkin penyataan tidak wajar semacam, ”Masak kamu tidak baca buku ini, si anu (biasanya tokoh publik) posting buku ini di IG-nya lho!” Seandainya pun Anda sudah membaca buku yang dimaksud tapi tidak menangkap hal yang sama dengan si tokoh publik, Anda ditempatkan dalam situasi yang salah dan naif. Jelas suatu perendahan spontan yang begitu sistematis, memangkas keyakinan-keberanian sebagai pembaca sekaligus menurunkan kedaulatan diri atas daya pengalaman membaca.

Melihat rating adalah sebagian dari iman pembaca hari ini. Jaringan sosial yang disokong internet melahirkan ”keajaiban” dalam bentuk lain. Inilah masa pembaca kolektif yang pada akhirnya cukup mencetak rating. Para pembaca ini mungkin semakin sulit memetakan kedekatan pribadi atas teks seolah kerasukan seperti yang dialami dengan dramatis oleh ”aku” dalam novel Hari-Hari yang Mencurigakan (Dea Anugrah, 2022), ”Saat kubaca lembar pertama, ada sesuatu yang terasa bergerak dalam perutku, mungkin pankreas atau usus dua belas kilometer atau apalah.

Rusukku sudah lama sembuh, tapi jonjot-jonjot dalam usus besarku mungkin sedang saling membelit, mengisap, dan memeras. Aku berserdawa dan berpikir bahwa apa yang baru saja kubaca takkan kulupakan selama-lamanya.” (*)

SETYANINGSIH, Penulis emerging di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2021, berkantor di akademitinggaldua.com

Terpopuler

Artikel Terbaru