Site icon Prokalteng

Membaca Retakan-Retakan Peristiwa Darah Api

COVER BUKU (-)

Oleh A.R. OKA FAHRUDZIN, Founder Suara Jalang dan penulis kumpulan puisi ”Danyang” di Teater Gapus

Puisi-puisi Adnan Guntur tidak hanya berkisar pada estetika bahasa. Tapi juga upaya membaca kehidupan urban, Surabaya, yang menjadi kawah candradimuka kesusastraannya.

 

BAGI penyair, peristiwa merupakan ide yang mendasari kelahiran sebuah karya. Karena itu, puisi dapat dipahami sebagai teks yang mengurai retakan-retakan peristiwa. Penyair seperti halnya fotografer, dia memotret peristiwa kehidupan dengan medium bahasa yang estetik, padat, dan berangkat dari keterbacaan sekaligus pengakumulasian realitas.

Meskipun begitu, puisi tidak berhenti pada fenomenanya saja. Tapi, semacam ada nilai-nilai humanitas yang dititipkan. Barangkali begitu pula yang terjadi dalam kumpulan puisi Sebagai Daun yang Tak Lagi Raib Terbakar oleh Darah Api karya Adnan Guntur.

Buku ini terdiri atas empat puluh sembilan puisi, yang dia tulis sejak 2020 sampai 2022. Beberapa puisi pernah dipublikasikan di media, seperti Langgam Pustaka yang sekaligus menjadi penerbit kumpulan puisi ini.

Membaca kumpulan puisi Adnan seperti dihantarkan menuju puzzle-puzzle peristiwa, sebuah labirin tanpa ujung. Saya sependapat dengan Indra Tjahyadi, sebagaimana ditulis dalam pengantar di kumpulan puisi ini, bahwa puisi merupakan medium penyair dalam mengungkapkan dan mengartikulasikan tidak hanya fenomena manusia, tetapi juga kemanusiaannya, nilai-nilai humanitas yang berada di balik ujud wadah manusia.

Maka, tidak mengherankan bila puisi sering kali hadir dengan spirit yang membara. Seperti pada salah satu puisi yang sekaligus menjadi judul kumpulan buku ini, /bayang-bayang kematian, berlarian ke punggung bukit// lalu kulekas meloncat ke sorga,/ memekik pilu dari tubuh fana,// sebagai daun yang tak lagi raib terbakar oleh darah api// (puisi ”Sebagai Daun yang Tak Lagi Raib Terbakar oleh Darah Api”, halaman 14).

Sekilas larik tersebut menghadapkan pembaca pada kengerian yang ditandai kehadiran diksi, /kematian/, /pilu/, /fana/, tampak sebuah gambaran sunyi yang bergelut dengan diri kita setiap hari. Namun, di sana pembaca juga menemukan spirit yang subversif terus hidup, ditandai dengan diksi, /tak lagi raib terbakar/.

Sebagai impresi awal, puisi-puisi Adnan Guntur memang semacam menghadapkan pembaca dengan tumpukan sekaligus lompatan imaji yang bebas berkeliaran. Misalnya pada kutipan puisi, /seekor burung burung memecahkan telur dari mataku/ (puisi ”lelangit sorga”, halaman 1).

Larik-larik semacam itu membuat pembaca membutuhkan pembacaan ekstra untuk menikmati, bahkan menemukan maksud atau makna. Hal itu jelas disebabkan banyaknya imaji yang jauh dari kaidah logis.

Dalam buku terbaru karya penyair kelahiran Banten tersebut, pembaca akan menjumpai puisi-puisi yang berpijak pada naratif. Retakan peristiwa berpindah-pindah begitu saja, terasa padat dan tak terduga.

Adnan menghamparkan pecahan momen-momen pada setiap baris hingga baitnya, sekali lagi, seperti sebuah labirin tanpa ujung. Contohnya pada kutipan puisi berikut, /aku menumpahkan mataku ke sebuah baliho,/ cahaya lampu dan garis benteng mengelabui matahari,// kau semburkan hujan menuju bajuku yang transparan,// kulitku langsung memerah/ dan kasarnya kertas-kertas kaca mengenai pipiku,/ namun, pelayan-pelayan yang mengenakan baju putih di sana/ memberikan mereka sebuah lengan,/ menggerutup telingaku yang kuyu/ (puisi ”Di Tengah-Tengah Kota Metropolit”, halaman 46). Pada larik tersebut jelas tampak perpindahan yang mengalir begitu saja dari situasi ke situasi.

Selain itu, puisi-puisi Adnan tidak hanya berkisar pada estetika bahasa. Tapi juga upaya membaca kehidupan urban, Surabaya, yang menjadi kawah candradimuka kesusastraannya. Melahirkan karya yang berpangkal pada ide dan pengalaman yang terus melacak peristiwa perkotaan.

Hal itu tampak dalam kutipan puisinya berikut, /meski tak kukenali sebuah tualang bakal, kulayari sajak-sajak dari pintu,/ Surabaya,/ menjelma kesendiri,// mengingat tapal tangis suar/ dan bahaya remang lampu-lampu kota/ (puisi ”Surabaya, Menjelma Kesendirian”, halaman 74).

Pada puisi tersebut, Adnan mengelola kesendirian secara khusyuk. Ia menguliti tiap situasi mengerikan perkotaan yang sunyi. Lebih lanjut, pembaca dihadapkan momen puitik urban yang menggoda pada puisi Adnan Guntur lainnya, seperti ”Nasib Kota Pencemburu, ”Di Karangmenjangan”, ”Chairil”, ”Di Tengah-Tengah Kota Metropolit”, dan beberapa puisi lainnya.

Sebagaimana tampak pada kutipan puisi berikut, /dan bayangmu ikut hanyut di sana,/ dengan kabut, dengan hantu,/ lalu tatapanku hancur di dalamnya,/ memeluhkan pengap dari lanskap di tugur rambutmu// sebatang listrik di tengah-tengah kota metropolit,/ memuncahkan mabuk sengatan ganas kelakianku// (puisi ”Di Tengah-Tengah Kota Metropolit”, halaman 46).

Dari puisi tersebut, momen puitik urban ditandai dengan diksi-diksi kebendaan yang lekat dengan perkotaan. Lompatan-lompatan imaji juga menegaskan tiap-tiap situasi yang membangun peristiwa. Adnan sebagai penyair tidak hanya terampil meramu bahasa menjadi karya seni yang indah. Tapi juga pandai menenun fragmen peristiwa yang digerakkan ide-ide serta pengalamannya –suara yang sangat subjektif begitu menggoda.

Namun, saya (pembaca) akan menemui kebingungan dalam proses pembacaan mengingat lompatan imaji yang terkesan absurd. Karena itu, pembaca perlu berjarak untuk menghindari kebingungan dalam menikmati karya Adnan Guntur. (*)

Judul Buku: Sebagai Daun yang Tak Lagi Raib Terbakar oleh Darah Api

Penulis: Adnan Guntur

Penerbit: Langgam Pustaka

Cetakan: Kedua, Agustus 2023

Ukuran: xii + 93 halaman, 13 x 20 cm

ISBN: 978-623-8010-40-0

Exit mobile version