33.4 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Pendulum

Yang aku miliki dari warisan ayah adalah sebuah toko kelontong sekaligus rumah tempat tinggal dengan dua lantai di pinggir jalan raya dekat pasar. Bukan hanya itu, aku juga memiliki beberapa karyawan yang mengerjakan segala hal sejak toko itu dikelola ayah. Dari semua karyawan, orang penting dalam hierarki adalah Wanto, pemuda kurus jangkung dengan mata besar dan bekas luka di dahinya.

SEJAK ayah sakit, segala hal diurus Wanto. Ketika ayah meninggal dan ruko itu menjadi milikku sesuai catatan notaris, Wanto juga menjadi ”milikku” dan dia tetap menjalankan ruko itu.

Aku tidak tahu apa-apa soal toko, tetapi itu bukan persoalan. Toko itu seperti pendulum yang terus bergerak sendiri tanpa aku harus melakukan apa pun selain melihat uang masuk ke dalam rekening.

Aku pikir keadaan akan konstan semacam itu, tetapi tidak. Pada suatu waktu gerak pendulum melemah dan aku tahu pada akhirnya akan berhenti.

”Tidak ada yang bisa kita lakukan,” kata Wanto.

Apa yang terjadi pada tokoku, juga terjadi pada toko-toko lain. Dalam deretan ruko ini, ada toko busana, ada toko furnitur, ada toko elektronik, ada toko alat kantor, dan lain-lain, dan semuanya mengalami hal yang sama: gerak pendulum yang melemah.

Jalan raya semakin ramai.

Malam hari itu belum terlalu malam, bahkan sebenarnya senja baru saja lewat, tetapi dari balkon aku bisa melihat kematian yang merayap. Padahal sejak masa kecilku dulu, trotoar selalu ramai orang berjalan, jalan raya tidak banyak kendaraan besar, sepeda motor melaju pelan, bahkan pengendaranya tidak berhelm, sepeda kayuh pun berlalu-lalang, dan toko-toko ramai.

Sekarang jalan raya disesaki armada-armada besar. Trotoar sepi. Kendaraan kecil seperti motor dan sepeda jarang. Kalaupun ada sepeda motor yang melintas, jumlahnya tak banyak.

Ramainya jalan raya oleh armada besar tidak membuat toko-toko semakin ramai, malah semakin sepi. Pelanggan semakin enggan ke jalan raya karena di jalan-jalan kampung sekarang telah berdiri toko-toko segala macam. Pasar tradisional telah dipindah karena sering menyebabkan kemacetan jalan raya di depannya.

Beberapa ruko sudah ditinggalkan penghuni dan gedungnya tampak tak terawat nyaris tanpa penerangan. Tokoku sudah tutup sejak sebelum senja. Karyawanku sudah tidak banyak. Pada akhirnya aku hanya mengandalkan Wanto dan seorang karyawan lain yang membantunya.

Wanto, dengan demikian, bukan lagi penggerak pendulum. Dia telah menjadi pendulumnya dan dia telah melemah.

”Bulan depan aku berhenti kerja,” kata Wanto tadi sore. Aku tidak tahu harus berkata apa. Pemasukan toko sudah tidak lagi cukup untuk membayar gajinya sebanyak dulu.

Sekarang aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku sudah menikah dan mempunyai seorang anak berusia dua setengah tahun dan seorang istri yang sedang mengandung anak kedua. Aku tidak tahu harus melakukan apa karena sejak dulu pikiranku tidak bekerja.

”Mengapa kita tidak melakukan sesuatu saja?” kataku.

”Misalnya apa?”

”Aku tidak tahu.”

”Aku juga tidak.”

”Pikirkanlah sesuatu.”

”Ya, akan aku pikirkan.”

Begitulah. Wanto pulang dan aku akan menunggu dia menemukan pikiran apa pun untuk mengatasi hal ini.

Baca Juga :  Paman Gordi

Akhir bulan itu, Wanto berkata bahwa dirinya mempunyai sebuah gagasan untuk mengubah toko kelontong tradisionalku menjadi swalayan. Dengan asumsi ini dan itu, Wanto menyebut peluang berhasilnya tinggi.

Perubahan itu akan membutuhkan banyak biaya, tetapi mengingat toko ini diambang bangkrut, aku menyepakati. Ini termasuk menjaminkan ruko di bank untuk mendapatkan modal usaha.

Meskipun begitu, Wanto menyebut jumlah angka besar yang mungkin akan menjadi pemasukan tiap bulan. Aku akan mendapatkan 60 persen dan dia akan mendapatkan 40 persen. Aku akan tetap menjadi pemilik tanpa perlu repot turun dalam pekerjaan dan dia akan tetap menjadi karyawan yang memegang kendali. Kami bersepakat.

Ada sebuah gedung ruko di samping tokoku yang sudah ditinggalkan penghuninya dan kami akan menyewanya untuk tempat parkir.

Tiga bulan kemudian swalayan mulai beroperasi. Ada beberapa karyawan yang direkrut Wanto untuk usaha ini. Pembukaan yang dirancang Wanto menghasilkan gema yang bagus dan orang-orang sekitar berdatangan. Keramaian ini dan promosi potongan harganya membuat mobil-mobil yang melintas berhenti untuk berbelanja. Bisa dikatakan, pembukaan ini berhasil dan aku bisa tertawa lebar.

Namun, pembukaan itu membutuhkan biaya besar dan tidak menghasilkan keuntungan. Diskon besar, live music, dan membayar pengulas di media massa, semacam itu disebut Wanto sebagai beban promosi dan semacam itu menghabiskan perolehan laba.

Tiga bulan setelah pembukaan, dengan harga normal, dengan musik kaset, pelanggan yang berbelanja semakin berkurang dan untuk mengurangi beban sebagian karyawan diberhentikan. Bagaimanapun, sulit untuk mendapatkan pelanggan dari orang-orang sekitar karena di kampung-kampung pun sudah ada pertokoan.

Anak keduaku lahir pada masa sulit ini. Wanto berkata bahwa ini meleset dari bayangannya.

”Ya,” kataku. ”Meleset dan aku akan rugi banyak.”

Wanto tidak akan kehilangan apa-apa.

Sembilan bulan setelah pembukaan, swalayan itu menuju bangkrut.

Kontrakan gedung sebelah masih untuk setahun ke depan, tetapi mengharapkan keajaiban adalah percuma. Apa yang bisa kulakukan di saat itu? Tidak ada. Aku seorang sarjana hukum, tetapi kuliahku sesungguhnya hanya formalitas. Bahkan tugas skripsi pun dikerjakan oleh joki.

Namun, keajaiban itu ternyata ada, dalam bentuk lain. Apa yang tidak pernah terjadi sebelumnya adalah obrolan Wanto dengan istriku dan entah bagaimana mulanya kali itu mereka terlibat obrolan seru yang kemudian menghasilkan gagasan cemerlang.

”Kita akan membuka tempat istirahat, rest area,” kata istriku.

”Semacam apa itu?” tanyaku.

Wanto menjelaskan secara detail dan istriku antusias mendukung dan aku memperkirakan berapa banyak pengeluaran sebagai modal awal.

”Tidak terlalu banyak,” kata Wanto. ”Sebagian karyawan outsourcing.”

Sederhananya kami menyediakan tempat istirahat bagi pengemudi dan pengendara. Kota kecil ini berada di jalur lintas dua kota besar. Ada restoran dengan menu yang dipegang oleh istriku. Ada panggung karaoke. Ada ruang pijat. Juga tempat rebahan.

Usaha kami sukses.

Kami pindah dari ruko itu, membeli sebuah rumah lewat KPR. Dengan demikian, bagian atas ruko itu bisa digunakan untuk memperluas resto dan kafe.

Sejauh itu aku tetap berjarak dengan pengelolaan usaha. Wanto rutin mengabariku berbagai hal dan aku hanya mengangguk-angguki. Istriku masih mengatur menu, tetapi semua urusan dapur dikerjakan karyawan.

Baca Juga :  Hikayat Hipokrit

Kesuksesan usahaku membuat sekitar menggeliat. Beberapa orang ikut membuka resto dan kafe. Kios-kios kecil bertumbuh.

Diler mobil mendatangiku bersama pihak perusahaan pembiayaan yang memungkinkan aku mendapatkan kredit mobil. Lalu bank di mana aku menaruh berkas kepemilikan ruko sebagai jaminan kredit mendatangiku, menawarkan tambahan pinjaman.

Aku ingat kali pertama mendatangi bank itu untuk menjaminkan rukoku, mereka tidak berani memberi plafon tinggi. Sekarang mereka menawarkan tambahan plafon dan aku bertanya pada Wanto.

”Kita bisa membuat pengembangan,” kata Wanto.

”Membuka rest area di tempat lain?” tanyaku.

”Mengapa tidak?”

Kami menyewa lahan yang lebih luas di tempat lain untuk usaha yang sama. Rest area yang lebih besar, yang bahu jalannya lapang untuk parkir truk. Dan pemasukan yang lebih besar pula. Kali ini Wanto meminta 50 persen.

Dua usaha itu sesungguhnya tidak membutuhkan banyak kerja Wanto. Setelah melihat bahwa selama ini pekerjaan Wanto sekadar menengok rest area dan usaha itu sendiri berjalan seperti pendulum, menyerahkan 40 persen dan 50 persen dari hasil kedua usaha itu tampak seperti menguapkan uang.

Usaha itu sudah jalan dengan sendirinya. Wanto juga sudah mendapatkan banyak uang dari sana, tanpa risiko apa-apa. Jadi, mengapa apa aku terus membagi hasil dengan Wanto?

Aku berpikir untuk memecatnya. Tentu saja, aku membutuhkan alasan untuk itu.

Ketika kedua anak-anakku sudah sekolah di PAUD, istriku menjadi sering menengok dapur rest area itu dan tentu saja bertemu Wanto dan mereka mengobrol dan bukan tidak mungkin pada suatu waktu akan selingkuh.

Selingkuh.

Aku mendapatkan ide itu. Aku menuduh Wanto menyelingkuhi istriku. Wanto mengelak, tetapi aku menjadi pernah menjadi pemain drama di kampus dulu dan sekarang aku mempraktikkannya sebagai antagonis yang sempurna. Kami bertengkar dan Wanto membawa masalah ke pengadilan perdata.

Aku seorang sarjana hukum. Meskipun secara ilmu aku tidak pintar, aku mengenal orang-orang hukum. Aku tahu bagaimana melakukan kompromi.

Akhirnya aku berhasil menyingkirkan Wanto meskipun dengan pesangon yang cukup besar.

Sampai beberapa tahun kemudian pendulum itu terus bergerak dan aku membeli sebuah rumah besar yang mewah, mobil baru, dan gaya hidup baru.

Aku tidak meluputkan sebuah fakta bahwa gerak pendulum pada akhirnya akan melemah dan berhenti, tetapi aku tidak pernah mengira akan secepat ini. Perubahan terjadi bermula dengan dibangunnya jalan tol yang menghubungkan dua kota besar yang melintasi kotaku. Jalan tol itu membuat pengemudi melintas lesat dan tidak melewati rest area kami. Pengendara-pengendara motor pun melaju di jalan yang lapang dengan gegas dan tak perlu berhenti untuk istirahat.

Usahaku menuju bangkrut.

Istriku sering pergi, tetapi tidak lagi menengok dapur rest area itu. Aku curiga istriku benar-benar selingkuh, kali ini, dengan Wanto, yang sekarang sukses sebagai pedagang pakaian daring. (*)

AVEUS HAR, Tinggal di Pekalongan. Kesehariannya adalah seorang pedagang mi ayam sembari bereksperimen di Laboratorium Ide dan Cerita (Labita). Novel terbarunya berjudul Forgulos (2018) dan Tak Ada Embusan Angin (2023).

Yang aku miliki dari warisan ayah adalah sebuah toko kelontong sekaligus rumah tempat tinggal dengan dua lantai di pinggir jalan raya dekat pasar. Bukan hanya itu, aku juga memiliki beberapa karyawan yang mengerjakan segala hal sejak toko itu dikelola ayah. Dari semua karyawan, orang penting dalam hierarki adalah Wanto, pemuda kurus jangkung dengan mata besar dan bekas luka di dahinya.

SEJAK ayah sakit, segala hal diurus Wanto. Ketika ayah meninggal dan ruko itu menjadi milikku sesuai catatan notaris, Wanto juga menjadi ”milikku” dan dia tetap menjalankan ruko itu.

Aku tidak tahu apa-apa soal toko, tetapi itu bukan persoalan. Toko itu seperti pendulum yang terus bergerak sendiri tanpa aku harus melakukan apa pun selain melihat uang masuk ke dalam rekening.

Aku pikir keadaan akan konstan semacam itu, tetapi tidak. Pada suatu waktu gerak pendulum melemah dan aku tahu pada akhirnya akan berhenti.

”Tidak ada yang bisa kita lakukan,” kata Wanto.

Apa yang terjadi pada tokoku, juga terjadi pada toko-toko lain. Dalam deretan ruko ini, ada toko busana, ada toko furnitur, ada toko elektronik, ada toko alat kantor, dan lain-lain, dan semuanya mengalami hal yang sama: gerak pendulum yang melemah.

Jalan raya semakin ramai.

Malam hari itu belum terlalu malam, bahkan sebenarnya senja baru saja lewat, tetapi dari balkon aku bisa melihat kematian yang merayap. Padahal sejak masa kecilku dulu, trotoar selalu ramai orang berjalan, jalan raya tidak banyak kendaraan besar, sepeda motor melaju pelan, bahkan pengendaranya tidak berhelm, sepeda kayuh pun berlalu-lalang, dan toko-toko ramai.

Sekarang jalan raya disesaki armada-armada besar. Trotoar sepi. Kendaraan kecil seperti motor dan sepeda jarang. Kalaupun ada sepeda motor yang melintas, jumlahnya tak banyak.

Ramainya jalan raya oleh armada besar tidak membuat toko-toko semakin ramai, malah semakin sepi. Pelanggan semakin enggan ke jalan raya karena di jalan-jalan kampung sekarang telah berdiri toko-toko segala macam. Pasar tradisional telah dipindah karena sering menyebabkan kemacetan jalan raya di depannya.

Beberapa ruko sudah ditinggalkan penghuni dan gedungnya tampak tak terawat nyaris tanpa penerangan. Tokoku sudah tutup sejak sebelum senja. Karyawanku sudah tidak banyak. Pada akhirnya aku hanya mengandalkan Wanto dan seorang karyawan lain yang membantunya.

Wanto, dengan demikian, bukan lagi penggerak pendulum. Dia telah menjadi pendulumnya dan dia telah melemah.

”Bulan depan aku berhenti kerja,” kata Wanto tadi sore. Aku tidak tahu harus berkata apa. Pemasukan toko sudah tidak lagi cukup untuk membayar gajinya sebanyak dulu.

Sekarang aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku sudah menikah dan mempunyai seorang anak berusia dua setengah tahun dan seorang istri yang sedang mengandung anak kedua. Aku tidak tahu harus melakukan apa karena sejak dulu pikiranku tidak bekerja.

”Mengapa kita tidak melakukan sesuatu saja?” kataku.

”Misalnya apa?”

”Aku tidak tahu.”

”Aku juga tidak.”

”Pikirkanlah sesuatu.”

”Ya, akan aku pikirkan.”

Begitulah. Wanto pulang dan aku akan menunggu dia menemukan pikiran apa pun untuk mengatasi hal ini.

Baca Juga :  Paman Gordi

Akhir bulan itu, Wanto berkata bahwa dirinya mempunyai sebuah gagasan untuk mengubah toko kelontong tradisionalku menjadi swalayan. Dengan asumsi ini dan itu, Wanto menyebut peluang berhasilnya tinggi.

Perubahan itu akan membutuhkan banyak biaya, tetapi mengingat toko ini diambang bangkrut, aku menyepakati. Ini termasuk menjaminkan ruko di bank untuk mendapatkan modal usaha.

Meskipun begitu, Wanto menyebut jumlah angka besar yang mungkin akan menjadi pemasukan tiap bulan. Aku akan mendapatkan 60 persen dan dia akan mendapatkan 40 persen. Aku akan tetap menjadi pemilik tanpa perlu repot turun dalam pekerjaan dan dia akan tetap menjadi karyawan yang memegang kendali. Kami bersepakat.

Ada sebuah gedung ruko di samping tokoku yang sudah ditinggalkan penghuninya dan kami akan menyewanya untuk tempat parkir.

Tiga bulan kemudian swalayan mulai beroperasi. Ada beberapa karyawan yang direkrut Wanto untuk usaha ini. Pembukaan yang dirancang Wanto menghasilkan gema yang bagus dan orang-orang sekitar berdatangan. Keramaian ini dan promosi potongan harganya membuat mobil-mobil yang melintas berhenti untuk berbelanja. Bisa dikatakan, pembukaan ini berhasil dan aku bisa tertawa lebar.

Namun, pembukaan itu membutuhkan biaya besar dan tidak menghasilkan keuntungan. Diskon besar, live music, dan membayar pengulas di media massa, semacam itu disebut Wanto sebagai beban promosi dan semacam itu menghabiskan perolehan laba.

Tiga bulan setelah pembukaan, dengan harga normal, dengan musik kaset, pelanggan yang berbelanja semakin berkurang dan untuk mengurangi beban sebagian karyawan diberhentikan. Bagaimanapun, sulit untuk mendapatkan pelanggan dari orang-orang sekitar karena di kampung-kampung pun sudah ada pertokoan.

Anak keduaku lahir pada masa sulit ini. Wanto berkata bahwa ini meleset dari bayangannya.

”Ya,” kataku. ”Meleset dan aku akan rugi banyak.”

Wanto tidak akan kehilangan apa-apa.

Sembilan bulan setelah pembukaan, swalayan itu menuju bangkrut.

Kontrakan gedung sebelah masih untuk setahun ke depan, tetapi mengharapkan keajaiban adalah percuma. Apa yang bisa kulakukan di saat itu? Tidak ada. Aku seorang sarjana hukum, tetapi kuliahku sesungguhnya hanya formalitas. Bahkan tugas skripsi pun dikerjakan oleh joki.

Namun, keajaiban itu ternyata ada, dalam bentuk lain. Apa yang tidak pernah terjadi sebelumnya adalah obrolan Wanto dengan istriku dan entah bagaimana mulanya kali itu mereka terlibat obrolan seru yang kemudian menghasilkan gagasan cemerlang.

”Kita akan membuka tempat istirahat, rest area,” kata istriku.

”Semacam apa itu?” tanyaku.

Wanto menjelaskan secara detail dan istriku antusias mendukung dan aku memperkirakan berapa banyak pengeluaran sebagai modal awal.

”Tidak terlalu banyak,” kata Wanto. ”Sebagian karyawan outsourcing.”

Sederhananya kami menyediakan tempat istirahat bagi pengemudi dan pengendara. Kota kecil ini berada di jalur lintas dua kota besar. Ada restoran dengan menu yang dipegang oleh istriku. Ada panggung karaoke. Ada ruang pijat. Juga tempat rebahan.

Usaha kami sukses.

Kami pindah dari ruko itu, membeli sebuah rumah lewat KPR. Dengan demikian, bagian atas ruko itu bisa digunakan untuk memperluas resto dan kafe.

Sejauh itu aku tetap berjarak dengan pengelolaan usaha. Wanto rutin mengabariku berbagai hal dan aku hanya mengangguk-angguki. Istriku masih mengatur menu, tetapi semua urusan dapur dikerjakan karyawan.

Baca Juga :  Hikayat Hipokrit

Kesuksesan usahaku membuat sekitar menggeliat. Beberapa orang ikut membuka resto dan kafe. Kios-kios kecil bertumbuh.

Diler mobil mendatangiku bersama pihak perusahaan pembiayaan yang memungkinkan aku mendapatkan kredit mobil. Lalu bank di mana aku menaruh berkas kepemilikan ruko sebagai jaminan kredit mendatangiku, menawarkan tambahan pinjaman.

Aku ingat kali pertama mendatangi bank itu untuk menjaminkan rukoku, mereka tidak berani memberi plafon tinggi. Sekarang mereka menawarkan tambahan plafon dan aku bertanya pada Wanto.

”Kita bisa membuat pengembangan,” kata Wanto.

”Membuka rest area di tempat lain?” tanyaku.

”Mengapa tidak?”

Kami menyewa lahan yang lebih luas di tempat lain untuk usaha yang sama. Rest area yang lebih besar, yang bahu jalannya lapang untuk parkir truk. Dan pemasukan yang lebih besar pula. Kali ini Wanto meminta 50 persen.

Dua usaha itu sesungguhnya tidak membutuhkan banyak kerja Wanto. Setelah melihat bahwa selama ini pekerjaan Wanto sekadar menengok rest area dan usaha itu sendiri berjalan seperti pendulum, menyerahkan 40 persen dan 50 persen dari hasil kedua usaha itu tampak seperti menguapkan uang.

Usaha itu sudah jalan dengan sendirinya. Wanto juga sudah mendapatkan banyak uang dari sana, tanpa risiko apa-apa. Jadi, mengapa apa aku terus membagi hasil dengan Wanto?

Aku berpikir untuk memecatnya. Tentu saja, aku membutuhkan alasan untuk itu.

Ketika kedua anak-anakku sudah sekolah di PAUD, istriku menjadi sering menengok dapur rest area itu dan tentu saja bertemu Wanto dan mereka mengobrol dan bukan tidak mungkin pada suatu waktu akan selingkuh.

Selingkuh.

Aku mendapatkan ide itu. Aku menuduh Wanto menyelingkuhi istriku. Wanto mengelak, tetapi aku menjadi pernah menjadi pemain drama di kampus dulu dan sekarang aku mempraktikkannya sebagai antagonis yang sempurna. Kami bertengkar dan Wanto membawa masalah ke pengadilan perdata.

Aku seorang sarjana hukum. Meskipun secara ilmu aku tidak pintar, aku mengenal orang-orang hukum. Aku tahu bagaimana melakukan kompromi.

Akhirnya aku berhasil menyingkirkan Wanto meskipun dengan pesangon yang cukup besar.

Sampai beberapa tahun kemudian pendulum itu terus bergerak dan aku membeli sebuah rumah besar yang mewah, mobil baru, dan gaya hidup baru.

Aku tidak meluputkan sebuah fakta bahwa gerak pendulum pada akhirnya akan melemah dan berhenti, tetapi aku tidak pernah mengira akan secepat ini. Perubahan terjadi bermula dengan dibangunnya jalan tol yang menghubungkan dua kota besar yang melintasi kotaku. Jalan tol itu membuat pengemudi melintas lesat dan tidak melewati rest area kami. Pengendara-pengendara motor pun melaju di jalan yang lapang dengan gegas dan tak perlu berhenti untuk istirahat.

Usahaku menuju bangkrut.

Istriku sering pergi, tetapi tidak lagi menengok dapur rest area itu. Aku curiga istriku benar-benar selingkuh, kali ini, dengan Wanto, yang sekarang sukses sebagai pedagang pakaian daring. (*)

AVEUS HAR, Tinggal di Pekalongan. Kesehariannya adalah seorang pedagang mi ayam sembari bereksperimen di Laboratorium Ide dan Cerita (Labita). Novel terbarunya berjudul Forgulos (2018) dan Tak Ada Embusan Angin (2023).

Terpopuler

Artikel Terbaru