28.9 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Kumpulan Legenda yang Menjelma Puisi Naratif

Memahami keberagaman mitos dari banyak tokoh dalam kumpulan puisi ini tentu menggambarkan sumbu dan fondasi identitas suku Madura.

Oleh PUTRIYANA ASMARANI, Bookstagrammer berdomisili di Kota Malang

PAUL Ricoeur dalam The Symbolism of Evil sudah mewanti-wanti bahwa sejarah adalah proses produksi yang rentan terhadap agenda politik dan kapital. Sedangkan untuk menjadi bagian dari sebuah bangsa, memusat dan menyasar identitas kolektif, sejarah adalah satu dari banyak unsur terbentuknya identitas bangsa.

Pellauer mengemas ide Ricoeur dalam bukunya, Ricoeur: A Guide to the Perplexed, bahwa sejarah adalah bentukan inti sari realitas dan mitos. Itu berarti mitos bukan suatu pengibulan, bukan semata-mata cerita rekaan.

Royyan Julian dalam himpunan puisi Uroboro Syekh Kholil Bangkalani menakhlikkan mitos dalam serumpun konsep ontologi. Dari wafatnya Trunajaya, Bangsacara, dan Ragapadmi, rukuknya Jaka Marsada, kelahiran Pangeran Segara, hingga Syekh Zubair dan Syekh Kholil Bangkalani, buku ini adalah kumpulan legenda yang menjelma puisi naratif. Memahami keberagaman mitos dari banyak tokoh dalam kumpulan puisi ini tentu menggambarkan sumbu dan fondasi identitas suku Madura.

Apakah puisi-puisi ini sekadar terhimpun? Tidak, puisi pertama adalah dua kaki dengan terompah terpasang, tahu akan ke mana dan kapan harus melepasnya.

Dalam ”Totem”, puisi pertama, muncul destruksi yang cukup menantang eksistensi. Ricoeur menandai ini dengan peristiwa forgetting. Ricoeur selalu memandang konteks, dan dalam kumpulan puisi Royyan Julian ini destruksi yang saya maksud bukan forgetting karena sekularisasi seperti faktor utama destruksi paling dramatis Ricoeur.

Destruksi tidak pernah muncul manunggal. Dalam ”Totem”, ia muncul dalam kondisi bukti sejarah yang rusak tak terawat dan tidak dipedulikan. ”Tetapi kami telah lupa, sebab kitab silsilah kami dikikis rayap dan waktu: garis nasab kami terpatah abad berlalu.” (hal 7)

Polivalensi atau keberagaman mitos dalam buku ini tidak hanya membuat saya tahu tentang sejarah dan mitos Madura, tapi kemanusiaan yang menyeluruh. Memang betul impresi Ricoeur, identitas bisa diresapi dari usaha kita memahami berbagai hal yang asali.

Baca Juga :  Melancong Dunia dalam Ramuan Kisah Nostalgia ala Anton Kurnia

Mytho-poetical nucleus, apabila saya terjemahkan dengan bebas sari pati mitos-puisi, adalah bentuk dari distribusi mitos dalam sebuah negara yang penuh dengan keberagaman suku dan budaya. Dengan menyorot mytho-poetical nucleus, kita dapat melihat bahwa masyarakat tertentu memiliki komponen sejarah yang berbeda.

Manifestasi ini dapat dengan jelas dirasakan dalam puisi ”Sayyid Ahmad Baidawi” dan ”Raden Ayu Sa’ini” tentang rahim, Pencipta, penciptaan, dan agraria. Dua puisi ini saja sudah memberikan arahan tentang fondasi penting pembentuk identitas, apalagi 78 puisi lainnya yang terhimpun dalam buku ini.

Puisi-puisi dalam buku ini kebanyakan memang pendek, tapi tidak tergesa-gesa. Berbeda dengan Corpus Ovarium karya Royyan Julian sebelumnya yang lebih panjang dan memiliki banyak ruang untuk menyambung kisah.

Yang menarik dari Uroboro Syekh Kholil Bangkalani, puisi-puisi bagian akhir mengungkap pola tersembunyi sehingga makna-makna simbolik dari mitos yang belum tereksplorasi muncul. Dalam pembacaan kumpulan puisi Uroboro Syekh Kholil Bangkalani, saya juga menemukan gaya yang cukup aman dan kerap digunakan penulis-penulis besar lainnya untuk mengarang, indirectness.

Pendek kata, Royyan Julian bukan Syekh Kholil Bangkalani, Raden Ayu Kumbang, apalagi Nabi Khidir. Joseph Conrad dan Virginia Woolf kerap menggunakan metode indirectness untuk tokoh-tokoh yang mengalami trauma perang karena dua penulis tersebut tidak memiliki pengalaman secara langsung.

Puisi dan gaya indirectness dalam buku ini adalah taktik strategis sehingga penulis tak perlu menjelaskan siapa, apa, dan bagaimana. Apalagi membayangkan dirinya sendiri sebagai Nabi Khidir misalnya.

Pendekatan fenomenologi, dari simbol, simbol jadi metafora, metafora jadi narasi sebagaimana Ricoeur mengarang Fallible Man, saya temukan pada pembacaan Uroboro Syekh Kholil Bangkalani karya Royyan Julian. Sastra lampau tercipta dari puisi: kidung, doa, ritus, lagu perpisahan untuk pahlawan, dan banyak lainnya adalah puisi naratif. Jadi, menurut saya, karya seperti ini bisa membawa Freud, William James, dan Ricoeur nongkrong bersama untuk mencapai kesepakatan.

Baca Juga :  Tanah Para Bandit: Kebenaran dan Kerancuan

Poetic Triplet

Poetic triplet sudah jadi barang langka dalam puisi modern. Akhir-akhir ini, banyak media massa yang menyebutnya ”a rare gem”. Dalam kumpulan puisi Uroboro Syekh Kholil Bangkalani, saya menemukan tidak hanya satu, ada dua poetic triplet. Salah satunya adalah:

”Seorang barid sultan tiba tanpa kur badar, rancak tabla, dan rampak rebana.” (hal 17)

Memang betul poetic triplet adalah senjata pemungkas yang dapat memberikan efek ganda atau bahkan multi untuk sebuah makna. Bukan, maksudnya bukan untuk kepentingan melebih-lebihkan, apalagi menggarami sebuah kenyataan. Menurut saya, pengolahan makna terasa lebih sukses tersampaikan dengan poetic triplet.

Selain itu, terdapat hal sangat mendasar dan tipikal yang ditemui pada puisi-puisi Royyan. Ada beberapa kawan pembaca yang bilang bahwa mereka khawatir akan kesulitan memahami diksi dan olahan kata Royyan. Biasanya mereka akan berujar, ”Bahasanya terlalu tinggi.”

Memang betul. Royyan Julian meramu kata demi kata menjadi makna yang cukup kompleks. Kadang, memahami sebuah dua buah kata harus menyisakan sedikit waktu untuk menengok kamus dan mencari padanan konseptualnya.

Misalnya, dalam kumpulan puisi ini, saya menemukan lima kosakata yang tidak saya ketahui artinya apa, 38 korpus baru yang tak pernah terbayangkan muncul di benak saya, dan potongan narasi tertentu yang harus saya baca tiga kali baru mengerti.

Seharusnya, usaha semacam itu sudah membuat pembaca dengan kesabaran setipis saringan tahu seperti saya naik pitam. Tapi, buku ini unik sekali. Bila dibaca, rimanya seperti komposisi lagu. Di beberapa puisi, juga terdapat rima yang berirama memberikan saya kesan yang sama ketika membaca horror and gore dalam puisi The Raven karya Edgar Allan Poe yang kelam dan solilokui Richard II karya Shakespeare. (*)

Judul buku: Uroboro Syekh Kholil Bangkalani

Kategori: Kumpulan puisi

Penulis: Royyan Julian

Penerbit: Basabasi

Cetakan I: Desember 2023

Tebal: 84 halaman; 12 x 19 cm

ISBN: 978-623-305-461-4

Memahami keberagaman mitos dari banyak tokoh dalam kumpulan puisi ini tentu menggambarkan sumbu dan fondasi identitas suku Madura.

Oleh PUTRIYANA ASMARANI, Bookstagrammer berdomisili di Kota Malang

PAUL Ricoeur dalam The Symbolism of Evil sudah mewanti-wanti bahwa sejarah adalah proses produksi yang rentan terhadap agenda politik dan kapital. Sedangkan untuk menjadi bagian dari sebuah bangsa, memusat dan menyasar identitas kolektif, sejarah adalah satu dari banyak unsur terbentuknya identitas bangsa.

Pellauer mengemas ide Ricoeur dalam bukunya, Ricoeur: A Guide to the Perplexed, bahwa sejarah adalah bentukan inti sari realitas dan mitos. Itu berarti mitos bukan suatu pengibulan, bukan semata-mata cerita rekaan.

Royyan Julian dalam himpunan puisi Uroboro Syekh Kholil Bangkalani menakhlikkan mitos dalam serumpun konsep ontologi. Dari wafatnya Trunajaya, Bangsacara, dan Ragapadmi, rukuknya Jaka Marsada, kelahiran Pangeran Segara, hingga Syekh Zubair dan Syekh Kholil Bangkalani, buku ini adalah kumpulan legenda yang menjelma puisi naratif. Memahami keberagaman mitos dari banyak tokoh dalam kumpulan puisi ini tentu menggambarkan sumbu dan fondasi identitas suku Madura.

Apakah puisi-puisi ini sekadar terhimpun? Tidak, puisi pertama adalah dua kaki dengan terompah terpasang, tahu akan ke mana dan kapan harus melepasnya.

Dalam ”Totem”, puisi pertama, muncul destruksi yang cukup menantang eksistensi. Ricoeur menandai ini dengan peristiwa forgetting. Ricoeur selalu memandang konteks, dan dalam kumpulan puisi Royyan Julian ini destruksi yang saya maksud bukan forgetting karena sekularisasi seperti faktor utama destruksi paling dramatis Ricoeur.

Destruksi tidak pernah muncul manunggal. Dalam ”Totem”, ia muncul dalam kondisi bukti sejarah yang rusak tak terawat dan tidak dipedulikan. ”Tetapi kami telah lupa, sebab kitab silsilah kami dikikis rayap dan waktu: garis nasab kami terpatah abad berlalu.” (hal 7)

Polivalensi atau keberagaman mitos dalam buku ini tidak hanya membuat saya tahu tentang sejarah dan mitos Madura, tapi kemanusiaan yang menyeluruh. Memang betul impresi Ricoeur, identitas bisa diresapi dari usaha kita memahami berbagai hal yang asali.

Baca Juga :  Melancong Dunia dalam Ramuan Kisah Nostalgia ala Anton Kurnia

Mytho-poetical nucleus, apabila saya terjemahkan dengan bebas sari pati mitos-puisi, adalah bentuk dari distribusi mitos dalam sebuah negara yang penuh dengan keberagaman suku dan budaya. Dengan menyorot mytho-poetical nucleus, kita dapat melihat bahwa masyarakat tertentu memiliki komponen sejarah yang berbeda.

Manifestasi ini dapat dengan jelas dirasakan dalam puisi ”Sayyid Ahmad Baidawi” dan ”Raden Ayu Sa’ini” tentang rahim, Pencipta, penciptaan, dan agraria. Dua puisi ini saja sudah memberikan arahan tentang fondasi penting pembentuk identitas, apalagi 78 puisi lainnya yang terhimpun dalam buku ini.

Puisi-puisi dalam buku ini kebanyakan memang pendek, tapi tidak tergesa-gesa. Berbeda dengan Corpus Ovarium karya Royyan Julian sebelumnya yang lebih panjang dan memiliki banyak ruang untuk menyambung kisah.

Yang menarik dari Uroboro Syekh Kholil Bangkalani, puisi-puisi bagian akhir mengungkap pola tersembunyi sehingga makna-makna simbolik dari mitos yang belum tereksplorasi muncul. Dalam pembacaan kumpulan puisi Uroboro Syekh Kholil Bangkalani, saya juga menemukan gaya yang cukup aman dan kerap digunakan penulis-penulis besar lainnya untuk mengarang, indirectness.

Pendek kata, Royyan Julian bukan Syekh Kholil Bangkalani, Raden Ayu Kumbang, apalagi Nabi Khidir. Joseph Conrad dan Virginia Woolf kerap menggunakan metode indirectness untuk tokoh-tokoh yang mengalami trauma perang karena dua penulis tersebut tidak memiliki pengalaman secara langsung.

Puisi dan gaya indirectness dalam buku ini adalah taktik strategis sehingga penulis tak perlu menjelaskan siapa, apa, dan bagaimana. Apalagi membayangkan dirinya sendiri sebagai Nabi Khidir misalnya.

Pendekatan fenomenologi, dari simbol, simbol jadi metafora, metafora jadi narasi sebagaimana Ricoeur mengarang Fallible Man, saya temukan pada pembacaan Uroboro Syekh Kholil Bangkalani karya Royyan Julian. Sastra lampau tercipta dari puisi: kidung, doa, ritus, lagu perpisahan untuk pahlawan, dan banyak lainnya adalah puisi naratif. Jadi, menurut saya, karya seperti ini bisa membawa Freud, William James, dan Ricoeur nongkrong bersama untuk mencapai kesepakatan.

Baca Juga :  Tanah Para Bandit: Kebenaran dan Kerancuan

Poetic Triplet

Poetic triplet sudah jadi barang langka dalam puisi modern. Akhir-akhir ini, banyak media massa yang menyebutnya ”a rare gem”. Dalam kumpulan puisi Uroboro Syekh Kholil Bangkalani, saya menemukan tidak hanya satu, ada dua poetic triplet. Salah satunya adalah:

”Seorang barid sultan tiba tanpa kur badar, rancak tabla, dan rampak rebana.” (hal 17)

Memang betul poetic triplet adalah senjata pemungkas yang dapat memberikan efek ganda atau bahkan multi untuk sebuah makna. Bukan, maksudnya bukan untuk kepentingan melebih-lebihkan, apalagi menggarami sebuah kenyataan. Menurut saya, pengolahan makna terasa lebih sukses tersampaikan dengan poetic triplet.

Selain itu, terdapat hal sangat mendasar dan tipikal yang ditemui pada puisi-puisi Royyan. Ada beberapa kawan pembaca yang bilang bahwa mereka khawatir akan kesulitan memahami diksi dan olahan kata Royyan. Biasanya mereka akan berujar, ”Bahasanya terlalu tinggi.”

Memang betul. Royyan Julian meramu kata demi kata menjadi makna yang cukup kompleks. Kadang, memahami sebuah dua buah kata harus menyisakan sedikit waktu untuk menengok kamus dan mencari padanan konseptualnya.

Misalnya, dalam kumpulan puisi ini, saya menemukan lima kosakata yang tidak saya ketahui artinya apa, 38 korpus baru yang tak pernah terbayangkan muncul di benak saya, dan potongan narasi tertentu yang harus saya baca tiga kali baru mengerti.

Seharusnya, usaha semacam itu sudah membuat pembaca dengan kesabaran setipis saringan tahu seperti saya naik pitam. Tapi, buku ini unik sekali. Bila dibaca, rimanya seperti komposisi lagu. Di beberapa puisi, juga terdapat rima yang berirama memberikan saya kesan yang sama ketika membaca horror and gore dalam puisi The Raven karya Edgar Allan Poe yang kelam dan solilokui Richard II karya Shakespeare. (*)

Judul buku: Uroboro Syekh Kholil Bangkalani

Kategori: Kumpulan puisi

Penulis: Royyan Julian

Penerbit: Basabasi

Cetakan I: Desember 2023

Tebal: 84 halaman; 12 x 19 cm

ISBN: 978-623-305-461-4

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru