Aku terlahir cukup sehat dari ibu yang sehat, namun aku tak punya nama, aku tak suka itu! Tak punya nama memang lazim untuk kami, yang hidup berkelompok dengan bapak yang meletakkan air mani di banyak puki.
SAAT kutanyai ibu, ia menjawab, ”jangan berlebihan,” lain kali, ”jangan aneh-aneh.” Tetap saja aku ingin punya sebuah nama, seperti Salihin yang ditimang-timang orang tuanya di teras depan rumah, sesekali aku melihatnya saat mengekori ibu. Aku juga ingin seperti Sarjono yang setiap pagi bersepeda ke sekolah, lain kali aku ingin seperti Muhamad yang dipuja sekalian umat.
Aku tumbuh besar sambil mendambakan sebuah nama, iri dengki kepada mereka yang memilikinya.
Saat dewasa, aku sudah melupakan semua itu. Aku terlalu lelah bekerja di sawah dan di ladang. Dan pekerjaan sialan itu tidak banyak memberi manfaat untukku. Hingga suatu sore, ketika burung-burung gagak kawin, aku jatuh sakit, badanku rasanya membara, aku tak sanggup pulang, tengkurap di pinggir jalan, kupikir aku akan mati saat itu, gelap!
Tiga bulan setelahnya, aku terbangun di sebuah rumah berdinding papan beratap rumbia, di bantaran sungai. Ibuku bukan ibuku, bapakku bukan bapakku, badanku bukan badanku, aku tak sekuat dulu, tapi aku tak peduli, karena aku punya sebuah nama. Mereka memanggilku Mulyono.
Dari tak bisa apa-apa, aku belajar banyak hal: menangis, tersenyum, duduk, merangkak, bangun, berlari untuk bertahan hidup.
Aku menyadari masih menyimpan kemarahan lama, pada mereka yang memaksaku bekerja seharian di sawah, lain hari bekerja di ladang. Mereka berhak melakukan itu hanya karena memiliki nama. Akan kubalas mereka, percayalah!
Membalas dendam ternyata tidak semudah dugaanku. Dunia yang memiliki nama lebih rumit dari duniaku dulu. Mereka membuat aturan untuk melanggarnya, mereka memuji padahal membenci, mereka menjilat dan bermanis muka. Jika ingin berhasil dengan mudah, mereka tidak boleh menganggapmu berbahaya, atau sebuah ancaman, dan mulailah berpura-pura. Itulah kiat untuk menguasai dunia yang memiliki nama.
Menurut etika dunia yang memiliki nama, tidak boleh meletakkan air mani di banyak puki, setidaknya secara terang-terangan karena itu dianggap tidak bermoral. Pada musim hujan tahun 1986, aku menikahi seorang perempuan, Arwa.
Di dunia orang-orang yang mempunyai nama, mereka sangat memuja sesuatu yang disebut moral. Di depan orang-orang yang mengenalmu jadilah orang yang menjunjung itu, berpakaianlah dengan pakaian yang mereka pakai, makanlah makanan yang mereka makan, kemudian dirimu dianggap menjadi bagian dari mereka. Ketika dirimu menjadi bagian mereka, mereka akan membantumu mewujudkan keinginanmu. Benar tidaknya itu, aku butuh lingkup kecil untuk melakukan percobaan.
Beruntung, perusahaan menugaskanku di tempat terpencil di ujung Sumatera di kaki gunung Burni Telong. Orang-orang yang tinggal di sana miskin, kotor, dan terbelakang. Sebenarnya Arwa yang terpelajar sedikit keberatan untuk mengikutiku, namun kami butuh lahan praktik.
Orang-orang yang tinggal di kaki gunung itu sungguh lugu. Penampilan sederhana kami, senyum ramah yang selalu mengembang di bibir kami, dengan lekas membuat orang-orang itu mengakui kami sebagai bagian dari mereka. Kami diupacaraadatkan resmi menjadi sanak mereka.
Mereka kerap mengantar hasil kebun ke rumah. Tomat, bawang, sayur, dan kentang kami tak perlu beli. Bubuk kopi juga mereka antar, bahkan aku bisa mengirim sebagai hadiah untuk sanak keluarga di pulau seberang.
Tanah di kaki gunung berapi itu sangatlah subur. Pohon-pohon pinus tumbuh menjulang di sepanjang lereng. Pohon-pohonnya ditebang untuk dijadikan bahan baku kertas. Uangnya dikantongi perusahaan, orang-orang di sana tetap hidup melarat dan bodoh. Itu lebih baik daripada mereka banyak bertanya.
Setelah beberapa bulan di tempat terpencil itu, di mana orang-orang membuang kotoran dengan menggali lubang di dekat rumah mereka, menimbun kembali dengan tanah, persis kucing, istriku tidak tahan lagi dan memilih untuk pulang ke kampung halaman.
Aku langsung mengantarnya kembali ke pulau seberang, dan kemudian istriku hamil. Aku harus kembali ke tempat tugas. Demi calon anakku, percobaanku di tanah terpencil itu tak boleh gagal.
Aku mulai sering bermimpi, seorang perempuan paro baya meletakkan mahkota dua kubah berujung datar di atas kepalaku. Semua sempurna kecuali warna tembaganya mengingatkanku pada kehidupanku di dunia yang tak memiliki nama.
Sebagai perpanjangan tangan perusahaan yang berpakaian dan makan seperti warga, aku tidak memiliki banyak kendala dalam membela kepentingan pemilik, segala yang kuucap ditelan mereka mentah-mentah. Aku juga mulai berbisnis bubuk kopi luwak liar, membeli dari warga, kujual di pulau seberang, pulau asalku. Petani kopi memungut berak musang setiap pagi dari bawah pohon kopi.
Berak yang berisi biji kopi itu dicuci dan dijemur, mereka tidak tahu betapa mahalnya itu. Mereka menjual padaku dengan harga murah, sementara yang lain, demi menghormatiku sebagai bagian dari mereka, malah memberikannya begitu saja. Pakaianku yang sesederhana pakaian mereka membuat mereka iba hati. Seorang terhormat dari pulau seberang telah hidup seperti mereka.
Percobaan kecil-kecilanku di kaki gunung Burni Telong berhasil dengan sempurna. Kecuali satu kasus yang kemudian sedikit menggangguku di kemudian hari. Satu sore seorang reje mengetuk pintu rumah dinasku, memaki-maki, memintaku memberi ganti rugi yang sepatutnya atas berak-berak musang yang selama ini diberikannya untukku.
Putranya yang dikirim berkuliah ke pulau seberang telah pulang dan memberitakan betapa tinggi harga berak musang di sana. Aku dituduh telah menipu sang reje. Beruntung reje-reje lain tak ada yang percaya pada tuduhan reje tersebut. Berak musang tetap berak musang.
Ketika bulan sepuluh tahun delapan tujuh putra sulungku Fufufafa lahir, aku sudah tak punya kepentingan untuk tinggal jauh dari keluarga. Aku sudah punya cukup modal untuk membuka usaha sendiri.
Aku mengundurkan diri dari perusahaan dan pulang ke Sili, kotaku di pulau seberang. Bisa dibilang percobaan kali pertamaku cukup berhasil. Untuk memanipulasi kelompok yang lebih besar, aku tinggal menambal kekurangan pada percobaan pertama.
Di kaki gunung Burni Telong aku mempelajari banyak hal tentang kayu: yang rapuh, yang kuat, yang keras, yang tahan lama, yang halus, yang elegan, yang ringan, yang berat, lengkap dengan bentuk serat dan warnanya. Oleh karena itu, aku memutuskan membuka kedai perabot.
Orang-orang di dunia yang memiliki nama butuh rumah, di dalam rumah mereka butuh kursi, lemari, tempat tidur, dan lainnya. Perkiraanku tidak meleset, berbagai jenis orang mendatangi kedai perabotku, dari yang kaya, yang berpendidikan, yang tidak berpendidikan, yang hanya sanggup membeli satu kursi, sampai yang sanggup membeli seluruh isi kedai. Aku melayani mereka dengan sangat ramah penuh sopan santun. Kemudian mereka mulai memanggilku Kiai Sili.
Satu per satu kupelajari watak para langganan, kucatat di sebuah buku kemudian aku menguasai mereka. Itu sungguh menyenangkan. Saat mereka kecewa dengan perabot dari kedaiku, aku meminta maaf, basa-basi menawarkan ganti rugi, mengajak mereka minum, membicarakan kesukaran hidup, kesusahanku menemukan kayu bermutu, uang keamanan yang harus kusetor, dan ajaibnya mereka lupa dengan kekecewaan mereka padaku.
Kehidupan terus berputar, anak kedua dan ketigaku segera lahir, aku mulai bosan dengan kedai perabot, tapi aku tetap berpura-pura menyukainya hingga suatu hari di warung gudeg Mbak Yuh aku melihat seorang perempuan paro baya sedang makan gudeg dengan lahapnya. Aku merasa tak asing dengan sosok tersebut, tapi tidak ingat di mana pernah melihatnya. Perempuan itu tersedak gudeg, teman-temannya panik, menelepon ambulans.
Biar dianggap suka menolong, kuhampiri perempuan itu, kupukul punggungnya, gudeg masih tersangkut. Lantas kupeluk belakang, kutekan bagian ulu hatinya dengan kedua jempolku, hingga potongan gudeg terbang keluar.
Dia bisa bernapas lagi. Sebagai rasa terima kasih, dia berjanji akan mengunjungi kedai perabotku. Setelah perempuan itu dan rombongannya pergi aku ingat, perempuan itu adalah perempuan yang datang dalam mimpiku saat tinggal di Burni Telong.
Kemudian hidupku sepenuhnya berubah. Perempuan paro baya itu membawa mimpiku menjadi nyata, aku diminta mencalonkan diri menjadi wali kota Sili. Dengan mudah aku terpilih. Kesederhanaan dan wajah polosku adalah modal, bahkan perempuan yang sangat berkuasa itu menganggapku seseorang yang mudah disetir.
Setelah di sukses Sili, perempuan itu mencalonkanku menjadi gubernur Zatarka, tempat ibu kota negara berada. Lagi-lagi tampang polosku bak orang kampung membuatku terpilih. Tampangku juga membuat penduduk miskin Zatarka yang datang dari kampung itu menganggapku bagian dari mereka. Zatarka yang konon rumit itu segera kukuasai.
Perempuan paro baya itu semakin memercayaiku. Dengan sangat yakin dia mencalonkanku sebagai kepala negara. Ternyata rakyat Negara Republik Kesatuan Indomisia ini juga mudah dimanipulasi dengan tampang ala-ala kampungku. Mereka mendukungku dengan alasan akulah yang mereka cari, yang akan memperjuangkan nasib mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Aku menjadi kepala negara, menjadi bukti kalau pemilih di negara Indomisia memang rata-rata dari golongan orang miskin.
Begitu menjadi kepala negara, tercapai sudah cita-citaku untuk membalas dendam pada orang-orang di dunia yang memiliki nama ini. Untuk berjaga-jaga aku selalu bermain peran, keluargaku tidak boleh menarik perhatian, si sulung kubuat menjual es dawet, si tengah kubuat tidak lulus ujian pegawai sipil, si bungsu kubuat menjual pecel lele. Sehari-hari mereka berpakaian seperti rakyat jelata Republik Indomisia pada umumnya.
Saat ingin berpakaian mewah, mengendarai mobil mewah, mereka akan liburan ke tempat-tempat yang dikunjungi oleh golongan 1 persen di luar negeri sana, yang mustahil terjangkau penglihatan orang-orang golongan menengah ke bawah, rakyat jelata Republik Indomisia.
Satu-satunya ancaman bagiku hanya perempuan yang telah mengangkatku menjadi penguasa itu, perempuan yang sangat berkuasa. Sampai akhir masa jabatan pertama, aku masih sangat butuh dukungan perempuan itu. Aku menurut begitu saja seperti sapi (aku benci kata terakhir).
Di satu sisi, aku mulai meniupkan kabar kepada sebagian pemilihku, jika ada kekurangan di masa jabatan pertamaku, itu disebabkan aku tidak bisa bertindak seperti diriku. Perempuan paro baya itulah penguasa yang sebenarnya. Aku masih butuh lima tahun lagi untuk menjadi diriku, yang akan membereskan masalah pelanggaran HAM dan kemiskinan.
Menuju akhir masa jabatan pertamaku, aku mulai menyusun sebuah strategi. Aku mulai dengan lembaga yang akan menjadi pengganjalku untuk mendapatkan uang dalam mendanai rencana besar ini, lembaga pengawas korupsi.
Sebagai kepala negara aku memiliki badan intelijen, nila di masa lalu pemimpin lembaga itu sangat mudah ditemukan. Lembaga itu segera kulibas. Tentu saja kulakukan atas nama kepentingan bersama, para pejabat dan anggota parlemen.
Perempuan itu kembali merestuiku sebagai calon kepala negara periode kedua. Kali ini lawanku menggunakan sentimen agama untuk menyerang, yang kuatasi dengan memilih ulama paling berpengaruh sebagai wakilku. Lagi-lagi, warga miskin menyumbang dana kampanye dengan sukarela.
Setelah terpilih kali kedua, aku mulai meletakkan orang-orangku di berbagai lembaga negara, mengubah sistem menjadi sistem yang mendukungku, membuat pengaruh perempuan paro baya itu memudar. Bahkan aku sudah menyiapkan penerus yang akan meneruskan kekuasaanku. Meski tidak menjadi kepala negara, akulah penguasa yang sesungguhnya.
Satu-satunya masalah muncul di akhir masa jabatanku, di mana seorang pemuda bernama Winara, cucu seorang reje di kaki gunung Burni Telong, tiba-tiba muncul dan menudingku seorang penipu. Beberapa orang tolol dan miskin lainnya mulai ikut campur dan menudingku melakukan hal sama. Mereka mulai unjuk rasa.
Aku tidak menanggapi mereka dengan serius, toh sistem dan lembaga negara sudah kukuasai. Aku menjawab dengan enteng setiap tuduhan yang ditimpakan kepadaku, sampai orang-orang mendatangi istana negara dan parlemen.
Aku memutuskan menemui mereka dan menjawab semua tuduhan seperti biasa.
Kenapa menjual aset negara? Kenapa mengizinkan ekspor pasir? Kenapa mencurangi pemilu? Kenapa? Kenapa? Mereka semakin banyak seperti dua ratus jenis marabunta bersiap menggigitku, mendadak lidahku kelu. Suaraku yang keluar, eee… eehh … Mbohh! Aku kembali ke wujud lamaku, seekor sapi! (*)
—
IDA FITRI, Lahir di Bireun 1981. Novel terbarunya Paya Nie (Marjin Kiri, 2024).