Site icon Prokalteng

Buku Hitam

ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS)

Tahukah kau tentang sebuah kitab tua berjuluk ”Buku Hitam”?

Memang tak banyak orang yang mengetahuinya. Konon, itu sebuah buku langka yang telah berusia lebih dari 1.300 tahun. Buku itu dikenal sebagai ”Buku Hitam” di kalangan para penganut ilmu sihir dan kolektor buku antik tak hanya karena buku itu bersampul kulit hitam, tetapi juga tersebab isinya yang mengandung ilmu hitam.

SESUNGGUHNYA buku itu pada mulanya bernama Kitab Al-’Azif. Dalam bahasa Arab, ’azif berarti siulan angin. Pada masa itu terdapat ungkapan ’azif al-jinn untuk menyebut fenomena pasir bersiul yang kerap terdengar di gurun. Mereka menganggap bunyi kesiut pasir yang ditiup angin itu siulan jin.

Buku ini tergolong kitab sihir tingkat tinggi yang berisi kisah-kisah rahasia tentang ajaran pemuja setan serta mantra untuk memanggil iblis. Penulisnya Abdul Al-Hadrat alias Alhazred, lelaki setengah gila dari Sanaa, Yaman. Dia murtad dari jalan kebenaran dan menjadi pengabdi setan tersebab dendam akibat disiksa penguasa karena dianggap mempraktikkan ilmu sihir terlarang. Dalam keputusasaan, dia berkelana ke reruntuhan kota tua Babilonia.

Di sanalah dia bertemu dengan sesosok iblis dan mengikat perjanjian dengannya. Alhazred lalu menulis Kitab Al-’Azif dalam pengasingan di Damaskus sebelum kematiannya yang misterius pada tahun 738. Buku setebal tiga ratusan halaman itu ditulis dengan tinta pada kertas tebal yang kokoh, bukan di atas perkamen kulit.

Tak banyak informasi yang dapat diketahui tentang Alhazred. Namun, riwayat hidupnya pernah ditulis oleh Ahmad Ibnu Khalikan (1211–1282), sejarawan termasyhur dari Erbil, Iraq, penulis kitab Wafayat al-Ayan wa-Anba Abna az-Zaman (Kematian Orang-Orang Terkemuka dan Sejarah Anak Zaman) yang terdiri atas delapan jilid dan diselesaikan pada 1274.

Kitab berisi riwayat hidup 859 tokoh ternama, penulis, ilmuwan, seniman, aristokrat, serta agamawan yang disusun menurut urutan abjad ini dianggap ensiklopedia biografis terlengkap dalam khazanah literatur bahasa Arab.

”Bisa dikatakan bahwa Alhazred adalah sufi pengembara yang kemudian tersesat ke jalan setan dan menjadi penganut ilmu sihir,” tulis Ibnu Khalikan di dalam bukunya.

Dua abad setelah ditulis, Kitab Al-’Azif diterjemahkan ke bahasa Yunani oleh Theodorus Philetas, cendekiawan dari Konstantinopel, Romawi Timur. Edisi terjemahan bahasa Yunani buku itu dinamai Necronomicon yang artinya kitab tentang alam kematian. Namun, pada 1050 Necronomicon dilarang beredar dan dibakar atas perintah Patriark Michael karena dipandang berbahaya.

Pada 1228 buku itu diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Olaus Wormius di Denmark dari sebuah salinan edisi Yunani yang terselamatkan. Teks terjemahan Yunani dan Latin yang sempat tersebar dilarang beredar secara resmi oleh Paus Gregorius IX pada 1232 dan dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang ”Index Librorum Prohibitorum” di Vatikan.

Setelah Gutenberg menemukan mesin cetak, edisi Latin Necronomicon pernah dicetak terbatas di Frankfurt, Jerman, pada abad ke-15 dan di Granada, Spanyol, pada abad ke-17. Sementara, edisi bahasa Yunani sempat diterbitkan di Firenze, Italia, pada abad ke-16.

Pada masa berkuasa Dinas Suci Inkuisisi di Spanyol abad ke-17, buku itu sempat menjadi sasaran auto-da-fé –dibakar di muka umum karena dianggap menyebarkan ajaran pagan. Sementara itu, para penerbit, pencetak, dan orang-orang yang memperjualbelikannya dipersekusi.

Penyihir Zaman Elizabethan di Inggris, John Dee (1527–1609), pernah menerjemahkan Necronomicon ke bahasa Inggris, tetapi tidak dicetak dan hanya sebagian kecil halamannya yang kini tersisa. Dalam edisi terjemahan bahasa Inggris, buku itu dikenal sebagai Book of the Dead.

Berdasar informasi yang beredar secara rahasia, kini salinan Necronomicon hanya tersisa tujuh eksemplar di seluruh dunia, yakni di The British Museum; Bibliotheque nationale de France; Widener Library, Harvard University, di Cambridge, Massachusetts; Perpustakaan Khusus Universitas Buenos Aires; Perpustakaan Baitul Hikmah di Sharjah, Uni Emirat Arab; perpustakaan buku langka Umberto Eco di Milan, Italia; dan perpustakaan pribadi seorang kolektor misterius di Bali.

Menurut catatan resmi, buku termahal yang pernah terjual di dalam sejarah adalah kitab langka ”Codex Leicester” karya Leonardo da Vinci. Manuskrip tulisan tangan setebal 72 halaman dari kain linen yang dibuat pada 1510 itu disebut juga sebagai ”Codex Hammer” dan berisi catatan pemikiran, teori, sketsa, serta pengamatan Leonardo terhadap alam, antara lain soal gerak air, fosil, dan cahaya bulan.

Pada 1980, Armand Hammer (1898–1990), industrialis Amerika Serikat yang dijuluki ”kapitalis kesayangan Lenin” karena kedekatannya dengan Uni Soviet, membeli buku itu seharga 5,8 juta dolar. Pada 1994, Bill Gates membelinya dengan harga fantastis 30,8 juta dolar. Kini manuskrip itu setidaknya berharga 870 miliar rupiah.

”Codex Leicester” berharga lebih tinggi ketimbang buku-buku langka lain dari berbagai penjuru dunia dan zaman, antara lain Jami’ al Tawarikh karya sejarawan Rashiduddin Hamadani yang dibuat di Kekaisaran Mongol pada abad ke-14 atau Alkitab Gutenberg (Jerman).

Namun, di pasar gelap, kisaran harga untuk Kitab Al-’Azif jauh lebih tinggi daripada ”Codex Leicester”. Salinan asli buku itu bernilai 100 juta dolar atau sekitar 1,5 triliun rupiah!

Mungkin itu sebabnya banyak orang dari berbagai penjuru dunia berlomba-lomba mencarinya. Salah satunya Malang Sumirang.

Malang Sumirang tidak berasal dari Malang. Dia dibesarkan di Demak sebagai anak pungut seorang kopral polisi yang tak punya anak. Tak diketahui pasti siapa orang tua kandungnya. Dia lari dari rumah setamat SMA gara-gara dihajar sampai setengah modar oleh bapak angkatnya setelah ketahuan mencuri perhiasan milik ibu angkatnya untuk membeli ganja.

”Dasar bocah tak tahu diri! Sudah bagus kau kupungut dari jalanan. Bukannya berterima kasih, kau malah bikin masalah!” bentak Kopral Jono seraya memukuli tubuh kerempeng Malang yang tak berdaya membela diri.

Bukan kali pertama Malang mendapat hajaran seperti itu. Terkadang dia bahkan dipukul dan dimaki hanya karena kesalahan kecil.

”Aku bersumpah tak akan pernah kembali ke rumah jahanam itu,” tekad Malang.

Malang pun mengembara dari satu kota ke kota lain; bertahan hidup dengan mencuri sebelum akhirnya menjadi spesialis pencuri buku.

Kini dia berusia 45 tahun dan sudah mencuri buku sejak usia 17 tahun. Artinya, dia telah berpengalaman selama 28 tahun. Karier yang cukup panjang. Buku pertama yang dia curi adalah sebuah buku puisi Rendra yang dia ambil dari perpustakaan sekolah lalu dihadiahkan kepada pacarnya.

Telah tiga bulan belakangan ini Malang mengincar rumah seorang kolektor buku langka di Ubud. Dia mendapat informasi akurat bahwa lelaki tua eksentrik itu memiliki Kitab Al-’Azif edisi asli berbahasa Arab yang telah berusia 13 abad.

Penadah kenalannya telah mendapatkan pembeli, yakni seorang pengusaha tersohor di Jakarta yang dekat dengan partai politik dan dikenal sebagai kolektor barang antik. Dia bersedia membayar buku itu Rp 15 miliar! Dipotong komisi penadah 30 persen, jika rencananya berhasil Malang masih mendapatkan bagian yang amat besar. Dia bisa pensiun dini lalu menikmati hidup nyaman ongkang-ongkang kaki, bebas bersenang-senang dan berkeliling dunia seperti impiannya selama ini.

Dengan penghasilan lumayan dari mencuri buku dia memang tak bisa dibilang miskin, bahkan sebagai lelaki yang hidup sendirian tanpa tanggungan dia cukup mapan. Dia punya rumah yang layak di pinggiran Jogjakarta, mobil, dan tabungan di bank. Tetapi, dia merasa belum mencapai apa yang disebut orang-orang sebagai kebebasan finansial.

Malang tidak pernah merasa bersalah dengan profesinya. Dia juga tak merasa bernasib malang. Dia justru bangga. Tidak sembarang orang bisa menjadi pencuri buku, apalagi pencuri buku langka yang sukses. Meski tak selalu berhasil, selama ini dia tidak pernah tertangkap. Namanya bahkan disegani di kalangan pencuri buku. Baginya, pekerjaannya adalah seni.

”Apa salahnya menjadi maling buku? Bukankah semua orang mencuri dengan caranya masing-masing? Ada yang terus terang seperti aku, ada pula yang baru ketahuan setelah ditangkap polisi atau petugas KPK,” ujar Malang suatu kali kepada seorang pelacur yang menemaninya berpesta anggur merah untuk merayakan sebuah proyek pencurian buku yang berhasil dituntaskan dengan gemilang.

”Banyak pejabat yang kelihatan terhormat dan alim di televisi ternyata sesungguhnya maling dan penipu. Mereka tidak lebih baik ketimbang diriku. Setidaknya aku tak merampok uang rakyat hingga triliunan!” katanya lagi seraya tertawa berderai.

Malang telah memperhitungkan semua detail rencananya dengan matang. Sudah tiga hari lelaki tua yang akan jadi mangsanya itu tak ada di rumah. Dia pergi ke luar negeri. Rumah itu kosong dan Malang paham bagaimana mematikan sistem alarmnya. Dia mengetahui cara terbaik agar dapat menyelinap masuk. Dia juga tahu di mana buku itu tersembunyi. Dia telah melakukan riset, observasi, dan pekerjaan rumahnya dengan baik.

Pukul dua dini hari. Saat yang tepat untuk bekerja. Malang mengenakan balaklava hitam, pakaian serbahitam yang membalut ketat sekujur tubuhnya yang ramping, serta sepasang sepatu lari hitam. Dia juga membawa sepucuk pistol untuk berjaga-jaga. Dia tidak pernah membunuh orang saat beraksi, tetapi waspada itu perlu. Seperti biasa dia bekerja sendirian. Dia tak pernah percaya kepada orang lain.

Jantungnya berdetak kencang saat dia menyusup ke pekarangan yang temaram dan rimbun oleh pepohonan. Tak ada anjing penjaga. Beberapa menit kemudian dia telah berada di lantai atas, di sebuah kamar tidur yang luas. Dia membongkar sebuah lemari jati berukir di sudut. Di dalamnya terdapat sebuah kotak kayu terbungkus kain batik. Dia membukanya.

Isinya sebuah buku tua yang tebal selebar majalah dengan sampul kulit berwarna hitam. Sehitam jelaga. Tangan Malang gemetar saat meraba permukaannya. Ada semacam ornamen arkais yang terpahat di atas sampul kulit itu. Tak salah lagi, itu buku langka yang telah lama dia incar. Perjalanan panjang macam apakah yang telah ditempuh benda itu selama ratusan tahun hingga sampai di tangannya?

Dengan girang Malang lekas memasukkan kotak berisi buku itu ke dalam ranselnya.

Namun, baru tiga langkah dia beranjak ke luar rumah, sesuatu yang keras menghantam kepalanya dari belakang. Terasa sakit mencekik. Sejurus kemudian dia oleng kehilangan keseimbangan.

Malang jatuh terjerembap. Kepalanya pusing dan tubuhnya lemas. Saat terkapar di atas rumput, dia rasakan sepasang tangan dengan cekatan melepaskan ransel dari punggungnya. Sebelum kesadarannya lenyap, dia sempat melihat sekelebat sosok tubuh melesat. Wajahnya tak jelas terlihat. Tetapi, dia yakin penyabot keparat itu seorang perempuan. Lalu, yang tersisa hanyalah keheningan yang kelam. (*)

Cisauk–Cikini, Desember 2023–Maret 2024

ANTON KURNIA , Menulis tiga kumpulan cerpen, sebuah novel, enam kumpulan esai, dan sejumlah buku lain. Ia juga bertugas sebagai ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.

Exit mobile version