32.3 C
Jakarta
Tuesday, June 25, 2024
spot_img

Cerita yang Baik Selalu Meninggalkan Pertanyaan

Kumcer karya Ida Fitri ini memiliki kekuatan narasi yang kokoh dan eksperimental. Membaurkan dunia imajinatif dengan realitas, mitos dengan fakta, yang profan dengan religiusitas, yang historis dan bayangan, saya kira hal itu bukanlah suatu keanehan dalam karya sastra. Sesuatu yang wajar-wajar saya. Toh fiksi.

Logika fiksi tidak harus sama dengan logika realitas. Realitas fiksi berbeda dengan realitas keseharian kita. Tapi, saya kira, yang penting itu bukan karena ceritanya aneh dan sulit dibayangkan. Yang penting itu kekuatan ceritanya. Yang penting itu eksperimen ceritanya.

Yang juga tak kalah penting, mungkin saya keliru, cerita yang baik tidak berusaha bergulat untuk selalu berpretensi menghasilkan kesimpulan. Cerita yang baik selalu mengandung atau menyisakan pertanyaan.

Saya kira, dalam konteks itu pula kumpulan cerita pendek (kumcer) Neraka yang Turun ke Kebun Kelapa karya Ida Fitri ini bisa dipahami. Ia memiliki kekuatan narasi yang kokoh dan eksperimental.

Apalagi, kalau kita cermat membacanya, cerpen-cerpen di sini banyak sekali mengandung unsur kritik terhadap apa yang pernah terjadi dalam realitas.

Saya tidak bermaksud mengaburkan penjelasan dengan keterangan di atas. Sekali lagi, keterangan itu hanya untuk membantu saya mengurai dengan singkat apa yang saya anggap cerita yang baik atau bagus.

Dalam cerpen ”Bayangan Bahtera Nuh” misalnya. Judul ini membuat saya teringat pada cerita guru agama saya di sekolah dasar. Dalam cerita itu guru saya mengatakan, Nabi Nuh membuat kapal besar dan mengajak orang-orang kampungnya untuk naik ke kapal itu agar selamat dari banjir besar.

Tapi, sebagian orang-orang kampung malah menganggapnya gila. Orang-orang berdalih, jika banjir itu benar-benar datang, mereka akan naik gunung yang tertinggi agar selamat. Kita tahu cerita setelahnya, yang ikut naik selamat, yang naik gunung tinggi malah tenggelam karena airnya melebihi tinggi gunung itu.

Narasi Bahtera Nuh dalam kumcer ini bukanlah adopsi mentah dari hal itu, melainkan mengangkat cerita pengalaman seorang perempuan, Namaha, yang mengingat kembali kejadian tsunami Aceh –Minggu, 26 Desember 2004– lewat sebuah surat yang ia temukan di kamar kos saudari jauhnya.

Baca Juga :  Kisah-kisah Menakjubkan Muslimah Teladan Sepanjang Sejarah

Surat itu berisi pengalaman seorang dokter yang sedang bersusah payah mencari anak bungsunya yang hilang dilumat tsunami. Lewat surat itulah dokter mengabarkan kondisinya kepada istri dan anaknya. Di sisi lain, suami Namaha, Nuh, juga menjadi korban tsunami saat mereka berdua sedang liburan di Pantai Ulee Lheue.

Setelah tsunami, Namaha pernah berjanji tidak akan pernah datang ke tempat itu lagi. Nuh dalam hal ini bukan sekadar suami Namaha, Nuh yang hilang diseret arus tsunami, tapi ia juga simbol untuk menceritakan pengalaman yang membangkitkan kembali trauma Namaha.

Cerita ini digerakkan oleh surat yang berisi pengalaman seorang dokter yang membuat Namaha mengingat pengalamannya. Tentu itu hanya satu lapis. Tapi, yang menjadikan cerita ini menarik adalah cerita Namaha itu bukan diucapkan secara langsung.

Melainkan hanya sebuah ingatan di dalam kepalanya yang kembali muncul saat ia membaca surat sang dokter.

Sebenarnya hal ini sederhana. Artinya, trauma korban kembali muncul saat diingatkan melalui kisah yang sama. Tapi, dengan cara penceritaan seperti ini, Ida Fitri menyajikan suatu cerita dengan bentuk yang lebih segar –jika tidak ingin dikatakan baru. Dalam konteks inilah bagi saya cerita ini memiliki bentuk yang eksploratif.

Cerita lain, ”Neraka yang Turun ke Kebun Kelapa” –yang menjadi judul buku ini– juga melakukan eksperimen yang tak kalah menarik. Membaurkan budaya dan sejarah, realitas dengan yang surealis. Hal itu tampak dari ending cerita yang memperlihatkan istri Dali terbakar di udara, di atas pohon kelapa. Suatu peristiwa yang surealis dalam realitas Dali dan anaknya Mun.

Teman saya, Fajar, mengambil suatu kesimpulan yang saya rasa cukup penting: ”dalam cerita ini, seolah ingin menggambarkan bahwa neraka itu kita sendiri yang menciptakannya.

”Saya cukup bisa bersepakat dengan kesimpulan ini, tapi rasanya saya tidak ingin mengambil kesimpulan itu tanpa mengoreksi atau menguraikan sedikit lebihnya kenapa kesimpulan itu bisa muncul.

Begini, Dali dipilih jadi seorang pengatur air sawah di kampungnya. Kerjanya membagi air secara bergiliran untuk setiap sawah yang berada di perkampungan itu. Ini bukan pekerjaan mudah, lebih-lebih setelah ia mengingat pendahulunya,

Baca Juga :  Tanah Para Bandit: Kebenaran dan Kerancuan

Keujruen Kadi. Pendahulunya pernah bercerita bahwa pada masanya menjabat sebagai keujruen pernah ada pembacokan karena masalah air, padahal masih memiliki hubungan keluarga dekat.

Kalau saya berpijak pada narasi ”neraka itu kita yang ciptakan”, artinya dalam hal ini Dali telah menciptakan nerakanya sendiri. Hal itu terjadi karena ia pada akhir mengalami peristiwa yang sama dengan pendahulu, gagal menjaga pembagian air.

Jika pendahulunya bercerita tentang warga yang membacok warga lain karena membocorkan air yang bukan bagiannya, dalam pengalaman Dali tidak terjadi peristiwa semacam itu. Ulah Lah Kaubat yang membocorkan air malah menimbulkan dampak hukuman bagi perkampungan mereka. Kampung tempat Dali tinggal terbakar.

Nah, pada poin inilah Dali mendapatkan hukuman lain. Bukan saja ia harus kehilangan harta benda dan meninggalkan kampung bersama warga lain, tapi ia telah kehilangan istri tercintanya, Maryam.

Anehnya, Maryam terbakar dalam keadaan mengambang di udara, di atas pohon kelapa. Suatu keanehan yang dirasakan langsung oleh Dali.

Kalau cerita-cerita dalam kumcer ini dimaknai sebagai alternatif untuk mengenal lebih dalam realitas, tentu bukanlah suatu kekeliruan yang perlu diperdebatkan. Saya kira pada poin inilah narasi sastra itu berfungsi sepenuhnya.

Kembali ke awal, eksperimental artinya membuat cerita yang mungkin tampak memiliki kesamaan dengan banyak cerita lain, tapi ia membuat sebuah narasi yang berbeda. Ia membuat bentuk cerita yang lebih segar dan menantang pembaca.

Tidak hanya dua cerita yang saya jadikan contoh, cerita lain dalam kumpulan ini saya rasa memiliki keunikan dan kekuatannya sendiri. Pada poin inilah cerita itu dapat dikatakan cerita yang baik. Tidak memberikan kesimpulan, tapi menghadirkan pertanyaan kepada pembaca. (*)

Judul: Neraka yang Turun ke Kebun Kelapa

Penulis: Ida Fitri

Penerbit: Marjin Kiri

Terbit: Cetakan I, Desember 2023

Tebal: viii + 124 halaman

ISBN: 978-602-0788-48-7

——-

*) JANIKA IRAWAN, Pegiat komunitas literasi New Native. Saat ini bermukim di Bantul, Jogjakarta.

Kumcer karya Ida Fitri ini memiliki kekuatan narasi yang kokoh dan eksperimental. Membaurkan dunia imajinatif dengan realitas, mitos dengan fakta, yang profan dengan religiusitas, yang historis dan bayangan, saya kira hal itu bukanlah suatu keanehan dalam karya sastra. Sesuatu yang wajar-wajar saya. Toh fiksi.

Logika fiksi tidak harus sama dengan logika realitas. Realitas fiksi berbeda dengan realitas keseharian kita. Tapi, saya kira, yang penting itu bukan karena ceritanya aneh dan sulit dibayangkan. Yang penting itu kekuatan ceritanya. Yang penting itu eksperimen ceritanya.

Yang juga tak kalah penting, mungkin saya keliru, cerita yang baik tidak berusaha bergulat untuk selalu berpretensi menghasilkan kesimpulan. Cerita yang baik selalu mengandung atau menyisakan pertanyaan.

Saya kira, dalam konteks itu pula kumpulan cerita pendek (kumcer) Neraka yang Turun ke Kebun Kelapa karya Ida Fitri ini bisa dipahami. Ia memiliki kekuatan narasi yang kokoh dan eksperimental.

Apalagi, kalau kita cermat membacanya, cerpen-cerpen di sini banyak sekali mengandung unsur kritik terhadap apa yang pernah terjadi dalam realitas.

Saya tidak bermaksud mengaburkan penjelasan dengan keterangan di atas. Sekali lagi, keterangan itu hanya untuk membantu saya mengurai dengan singkat apa yang saya anggap cerita yang baik atau bagus.

Dalam cerpen ”Bayangan Bahtera Nuh” misalnya. Judul ini membuat saya teringat pada cerita guru agama saya di sekolah dasar. Dalam cerita itu guru saya mengatakan, Nabi Nuh membuat kapal besar dan mengajak orang-orang kampungnya untuk naik ke kapal itu agar selamat dari banjir besar.

Tapi, sebagian orang-orang kampung malah menganggapnya gila. Orang-orang berdalih, jika banjir itu benar-benar datang, mereka akan naik gunung yang tertinggi agar selamat. Kita tahu cerita setelahnya, yang ikut naik selamat, yang naik gunung tinggi malah tenggelam karena airnya melebihi tinggi gunung itu.

Narasi Bahtera Nuh dalam kumcer ini bukanlah adopsi mentah dari hal itu, melainkan mengangkat cerita pengalaman seorang perempuan, Namaha, yang mengingat kembali kejadian tsunami Aceh –Minggu, 26 Desember 2004– lewat sebuah surat yang ia temukan di kamar kos saudari jauhnya.

Baca Juga :  Kisah-kisah Menakjubkan Muslimah Teladan Sepanjang Sejarah

Surat itu berisi pengalaman seorang dokter yang sedang bersusah payah mencari anak bungsunya yang hilang dilumat tsunami. Lewat surat itulah dokter mengabarkan kondisinya kepada istri dan anaknya. Di sisi lain, suami Namaha, Nuh, juga menjadi korban tsunami saat mereka berdua sedang liburan di Pantai Ulee Lheue.

Setelah tsunami, Namaha pernah berjanji tidak akan pernah datang ke tempat itu lagi. Nuh dalam hal ini bukan sekadar suami Namaha, Nuh yang hilang diseret arus tsunami, tapi ia juga simbol untuk menceritakan pengalaman yang membangkitkan kembali trauma Namaha.

Cerita ini digerakkan oleh surat yang berisi pengalaman seorang dokter yang membuat Namaha mengingat pengalamannya. Tentu itu hanya satu lapis. Tapi, yang menjadikan cerita ini menarik adalah cerita Namaha itu bukan diucapkan secara langsung.

Melainkan hanya sebuah ingatan di dalam kepalanya yang kembali muncul saat ia membaca surat sang dokter.

Sebenarnya hal ini sederhana. Artinya, trauma korban kembali muncul saat diingatkan melalui kisah yang sama. Tapi, dengan cara penceritaan seperti ini, Ida Fitri menyajikan suatu cerita dengan bentuk yang lebih segar –jika tidak ingin dikatakan baru. Dalam konteks inilah bagi saya cerita ini memiliki bentuk yang eksploratif.

Cerita lain, ”Neraka yang Turun ke Kebun Kelapa” –yang menjadi judul buku ini– juga melakukan eksperimen yang tak kalah menarik. Membaurkan budaya dan sejarah, realitas dengan yang surealis. Hal itu tampak dari ending cerita yang memperlihatkan istri Dali terbakar di udara, di atas pohon kelapa. Suatu peristiwa yang surealis dalam realitas Dali dan anaknya Mun.

Teman saya, Fajar, mengambil suatu kesimpulan yang saya rasa cukup penting: ”dalam cerita ini, seolah ingin menggambarkan bahwa neraka itu kita sendiri yang menciptakannya.

”Saya cukup bisa bersepakat dengan kesimpulan ini, tapi rasanya saya tidak ingin mengambil kesimpulan itu tanpa mengoreksi atau menguraikan sedikit lebihnya kenapa kesimpulan itu bisa muncul.

Begini, Dali dipilih jadi seorang pengatur air sawah di kampungnya. Kerjanya membagi air secara bergiliran untuk setiap sawah yang berada di perkampungan itu. Ini bukan pekerjaan mudah, lebih-lebih setelah ia mengingat pendahulunya,

Baca Juga :  Tanah Para Bandit: Kebenaran dan Kerancuan

Keujruen Kadi. Pendahulunya pernah bercerita bahwa pada masanya menjabat sebagai keujruen pernah ada pembacokan karena masalah air, padahal masih memiliki hubungan keluarga dekat.

Kalau saya berpijak pada narasi ”neraka itu kita yang ciptakan”, artinya dalam hal ini Dali telah menciptakan nerakanya sendiri. Hal itu terjadi karena ia pada akhir mengalami peristiwa yang sama dengan pendahulu, gagal menjaga pembagian air.

Jika pendahulunya bercerita tentang warga yang membacok warga lain karena membocorkan air yang bukan bagiannya, dalam pengalaman Dali tidak terjadi peristiwa semacam itu. Ulah Lah Kaubat yang membocorkan air malah menimbulkan dampak hukuman bagi perkampungan mereka. Kampung tempat Dali tinggal terbakar.

Nah, pada poin inilah Dali mendapatkan hukuman lain. Bukan saja ia harus kehilangan harta benda dan meninggalkan kampung bersama warga lain, tapi ia telah kehilangan istri tercintanya, Maryam.

Anehnya, Maryam terbakar dalam keadaan mengambang di udara, di atas pohon kelapa. Suatu keanehan yang dirasakan langsung oleh Dali.

Kalau cerita-cerita dalam kumcer ini dimaknai sebagai alternatif untuk mengenal lebih dalam realitas, tentu bukanlah suatu kekeliruan yang perlu diperdebatkan. Saya kira pada poin inilah narasi sastra itu berfungsi sepenuhnya.

Kembali ke awal, eksperimental artinya membuat cerita yang mungkin tampak memiliki kesamaan dengan banyak cerita lain, tapi ia membuat sebuah narasi yang berbeda. Ia membuat bentuk cerita yang lebih segar dan menantang pembaca.

Tidak hanya dua cerita yang saya jadikan contoh, cerita lain dalam kumpulan ini saya rasa memiliki keunikan dan kekuatannya sendiri. Pada poin inilah cerita itu dapat dikatakan cerita yang baik. Tidak memberikan kesimpulan, tapi menghadirkan pertanyaan kepada pembaca. (*)

Judul: Neraka yang Turun ke Kebun Kelapa

Penulis: Ida Fitri

Penerbit: Marjin Kiri

Terbit: Cetakan I, Desember 2023

Tebal: viii + 124 halaman

ISBN: 978-602-0788-48-7

——-

*) JANIKA IRAWAN, Pegiat komunitas literasi New Native. Saat ini bermukim di Bantul, Jogjakarta.

spot_img
spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru