27.8 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Lewat Bek Berpikir Ulang tentang Identitas

Mahfud Ikhwan menawarkan sudut pandang bahwa bek pada dasarnya soal perspektif hidup. Tidak ada nilai yang lebih dominan dari lainnya, kita harus percaya diri atas identitas keadaan kita.

“JIKA hidup harus terus dilanjutkan, sepak bola harus terus dimainkan, bukan? Di mana pun! (hal 29).”

Pernyataan itu mencerminkan tekad, keteguhan, dan cinta. Sekaligus sebuah kerangka besar yang coba dikembangkan Mahfud Ikhwan dalam novel terbarunya, Bek. Kalau mau disederhanakan dan lebih kontekstual, novel Bek menceritakan kisah drama keluarga yang dibumbui informasi seputar sepak bola.

Seperti halnya politik dan kebudayaan, membicarakan sepak bola tidak serta-merta bisa bebas dari dominasi identitas dan kuasa bahasa. Stereotipe sepak bola hari ini (diyakini atau tidak), seperti sedang ingin mengatakan bahwa gaya penguasaan bola yang dominan dan daya serang yang bagus adalah sebaik-baiknya strategi. Tim yang bagus dan layak menang adalah mereka yang bermain ala Pep Guardiola dan sejenisnya. Sepak bola ala Jose Mourinho, Diego Simeone, atau Catenaccio Italia sangatlah ’’haram’’.

Tidak pantas disebut sepak bola, karena mereka adalah sekumpulan pelatih dan pilihan taktik yang lebih mementingkan pertahanan. Bisanya berjajar rapat di depan gawang (parkir bus) menunggu kebobolan. Dari ruang persoalan itulah, novel Bek punya tawaran pikiran yang menarik untuk dibaca.

Baca Juga :  Menghidupkan Aksara Jawa dalam Imajinasi Anak-Anak

Novel setebal 362 halaman itu mengisahkan seorang anak bernama Isnan (tokoh utama) yang bapaknya suka sepak bola. Itulah mengapa Isnan juga gila bola sejak dini. Trifon Ivanov, bek terbaik Bulgaria, menjadi pemain idolanya.

Saat membaca ceritanya, tidak cukup sulit menemukan metafora di balik diksi bek sebagai judul. Pada beberapa plot cerita, terutama saat Isnan menulis esai atas tugas dari guru bahasa Indonesia, sangat terbaca alasan besar mengapa harus bek. Apa itu bek? Bagaimana fungsi bek? Beserta nasib-nasib yang menyertainya.

Lewat bagian kisah itu, Mahfud Ikhwan mencoba menawarkan secara utuh sudut pandangnya soal identitas bek. Bagi Isnan, bek bukan sebatas identitas pemain bola, melainkan perspektif hidup.

Kehadirannya sama penting dan fundamental dengan posisi atau identitas lainnya. Isnan berasal dari keluarga yang kekurangan. Kedua orang tua dan kakak pertamanya mengadu peruntungan nasib jadi imigran ke Malaysia. Isnan masih kecil, namun harus hidup dan menjaga kedua adiknya.

Layaknya orang hidup sendiri, menghadapi situasi serba kekurangan, dan beragam persoalan, perspektif bek sebagai pemain yang harus bertahan menjadi relevan sebagai ruang metafora cerita. Tidak semua harus jadi penyerang dan mencetak gol. Tetap harus ada yang bertahan, menyeimbangkan tim, dan membantu kiper agar tidak kebobolan.

Metafora bek mengajak kita untuk memikirkan ulang peran dan kehadiran sebuah identitas. Posisi bek yang selama ini terdominasi, terdiskriminasi, dan terasing seperti sedang memanggil untuk dibaca ulang dengan setara dan penuh pertimbangan. Bahwa bek tidak kalah penting dari striker atau playmaker.

Baca Juga :  Jenderal Buta Hurup

Pikiran tersebut memperlihatkan upaya mendobrak atau mendekonstruksi identitas populer dan dominan dalam sepak bola. Nilai filosofikal yang dapat ditangkap tidak lain adalah kesetaraan identitas.

Lewat penokohan dan karakter Isnan, Mahfud Ikhwan setidaknya ingin mengatakan bahwa identitas dan peran individu satu sama lain pada dasarnya tidak lebih baik di salah satunya.

Mereka melebur, saling memengaruhi, dan menguatkan. Dalam pengertian hibriditas (poskolonial), upaya metafora itu menemukan pijakan kuatnya. Tidak ada nilai yang lebih dominan dari lainnya, kita harus percaya diri atas identitas keadaan kita.

Sehingga penting untuk terus memahami, berpikir ala bek sudah seharusnya menjadi bentuk upaya kesadaran panjang dalam melihat kisah identitas manusia. Seperti halnya hubungan kehidupan dengan sepak bola. “Selama hidup harus terus dilanjutkan, menjadi bek harus terus dimainkan, bukan? Di mana pun!” (*)

Judul: Bek

Penulis: Mahfud Ikhwan

Tahun terbit: Cetakan pertama, Juni 2024

Halaman buku: 362 halaman

Penerbit: DIVA Press

*) ALFIAN BAHRI, Guru bahasa Indonesia, P2G Surabaya, aktivis pendidikan, penulis lintas media, sekaligus kreator konten

Mahfud Ikhwan menawarkan sudut pandang bahwa bek pada dasarnya soal perspektif hidup. Tidak ada nilai yang lebih dominan dari lainnya, kita harus percaya diri atas identitas keadaan kita.

“JIKA hidup harus terus dilanjutkan, sepak bola harus terus dimainkan, bukan? Di mana pun! (hal 29).”

Pernyataan itu mencerminkan tekad, keteguhan, dan cinta. Sekaligus sebuah kerangka besar yang coba dikembangkan Mahfud Ikhwan dalam novel terbarunya, Bek. Kalau mau disederhanakan dan lebih kontekstual, novel Bek menceritakan kisah drama keluarga yang dibumbui informasi seputar sepak bola.

Seperti halnya politik dan kebudayaan, membicarakan sepak bola tidak serta-merta bisa bebas dari dominasi identitas dan kuasa bahasa. Stereotipe sepak bola hari ini (diyakini atau tidak), seperti sedang ingin mengatakan bahwa gaya penguasaan bola yang dominan dan daya serang yang bagus adalah sebaik-baiknya strategi. Tim yang bagus dan layak menang adalah mereka yang bermain ala Pep Guardiola dan sejenisnya. Sepak bola ala Jose Mourinho, Diego Simeone, atau Catenaccio Italia sangatlah ’’haram’’.

Tidak pantas disebut sepak bola, karena mereka adalah sekumpulan pelatih dan pilihan taktik yang lebih mementingkan pertahanan. Bisanya berjajar rapat di depan gawang (parkir bus) menunggu kebobolan. Dari ruang persoalan itulah, novel Bek punya tawaran pikiran yang menarik untuk dibaca.

Baca Juga :  Menghidupkan Aksara Jawa dalam Imajinasi Anak-Anak

Novel setebal 362 halaman itu mengisahkan seorang anak bernama Isnan (tokoh utama) yang bapaknya suka sepak bola. Itulah mengapa Isnan juga gila bola sejak dini. Trifon Ivanov, bek terbaik Bulgaria, menjadi pemain idolanya.

Saat membaca ceritanya, tidak cukup sulit menemukan metafora di balik diksi bek sebagai judul. Pada beberapa plot cerita, terutama saat Isnan menulis esai atas tugas dari guru bahasa Indonesia, sangat terbaca alasan besar mengapa harus bek. Apa itu bek? Bagaimana fungsi bek? Beserta nasib-nasib yang menyertainya.

Lewat bagian kisah itu, Mahfud Ikhwan mencoba menawarkan secara utuh sudut pandangnya soal identitas bek. Bagi Isnan, bek bukan sebatas identitas pemain bola, melainkan perspektif hidup.

Kehadirannya sama penting dan fundamental dengan posisi atau identitas lainnya. Isnan berasal dari keluarga yang kekurangan. Kedua orang tua dan kakak pertamanya mengadu peruntungan nasib jadi imigran ke Malaysia. Isnan masih kecil, namun harus hidup dan menjaga kedua adiknya.

Layaknya orang hidup sendiri, menghadapi situasi serba kekurangan, dan beragam persoalan, perspektif bek sebagai pemain yang harus bertahan menjadi relevan sebagai ruang metafora cerita. Tidak semua harus jadi penyerang dan mencetak gol. Tetap harus ada yang bertahan, menyeimbangkan tim, dan membantu kiper agar tidak kebobolan.

Metafora bek mengajak kita untuk memikirkan ulang peran dan kehadiran sebuah identitas. Posisi bek yang selama ini terdominasi, terdiskriminasi, dan terasing seperti sedang memanggil untuk dibaca ulang dengan setara dan penuh pertimbangan. Bahwa bek tidak kalah penting dari striker atau playmaker.

Baca Juga :  Jenderal Buta Hurup

Pikiran tersebut memperlihatkan upaya mendobrak atau mendekonstruksi identitas populer dan dominan dalam sepak bola. Nilai filosofikal yang dapat ditangkap tidak lain adalah kesetaraan identitas.

Lewat penokohan dan karakter Isnan, Mahfud Ikhwan setidaknya ingin mengatakan bahwa identitas dan peran individu satu sama lain pada dasarnya tidak lebih baik di salah satunya.

Mereka melebur, saling memengaruhi, dan menguatkan. Dalam pengertian hibriditas (poskolonial), upaya metafora itu menemukan pijakan kuatnya. Tidak ada nilai yang lebih dominan dari lainnya, kita harus percaya diri atas identitas keadaan kita.

Sehingga penting untuk terus memahami, berpikir ala bek sudah seharusnya menjadi bentuk upaya kesadaran panjang dalam melihat kisah identitas manusia. Seperti halnya hubungan kehidupan dengan sepak bola. “Selama hidup harus terus dilanjutkan, menjadi bek harus terus dimainkan, bukan? Di mana pun!” (*)

Judul: Bek

Penulis: Mahfud Ikhwan

Tahun terbit: Cetakan pertama, Juni 2024

Halaman buku: 362 halaman

Penerbit: DIVA Press

*) ALFIAN BAHRI, Guru bahasa Indonesia, P2G Surabaya, aktivis pendidikan, penulis lintas media, sekaligus kreator konten

Terpopuler

Artikel Terbaru