26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

My Sweetest Coffee

PROKALTENG.CO – Perempuan itu kini bangun dengan rambut hitam
kecokelatan yang berantakan. Masih lengkap dengan seragam sekolah yang belum
diganti. Ia menguap sambil meraba-raba tempat tidurnya. Mencari sebuah barang
yang baginya cukup penting dicek setiap pagi. Kedua bola mata yang berwarna
dark brown itu menatap layar smartphone yang menampilkan deretan pesan dari seseorang
yang bernama “March”.

Ia pun bangun lalu bersiap-siap
untuk bertemu teman-temannya di kafetaria. Tempat melaksanakan kerja kelompok.
Perempuan yang bernama Nadine Lucky Caliya atau akrab dipanggil Nadine itu, kini
sudah siap dengan rok hitam dengan panjang selutut dan baju kaos putih yang
ditutupi dengan jaket jeans. Ia sekarang tengah menunggu datangnya jemputan
dari sahabatnya.

“Lama banget sih,” sahut Nadine
lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di jok belakang. Kedua sahabatnya, Letta
dan Yura hanya diam menanggapi sikap Nadine kali ini dengan wajar.

“Nad, lo gak apa-apa kan?,” tanya
Letta yang melirik Nadine dari kaca yang tergantung di atas dashboard mobil.

“I’m trying…,” jawab Nadine.

Di Kafe Espresso Cafetaria.

Nadine masih sibuk dengan daftar
menu yang ada di hadapannya.

“Kopi aja Nad. supaya ngerjain
tugasnya gak ngantuk,” ucap salah satu teman Nadine yang bernama Gio.

Karena pikirannya yang sudah
tidak fokus, ia hanya mengangguk dan menyerahkan buku menu itu. Menganggap
pilihan menunya sudah ada.

Nadine mengambil pesanannya dan
melirik cup itu yang terdapat kertas karton cokelat muda yang mengelilingi cup
dengan tulisan “write something”.

Lama kelamaan Nadine merasa
sesuatu yang buruk di lidahnya. Ia merasakan rasa pahit tiap kali menyeruput
kopi ini. Ia pun berhenti meminum kopi itu dan kembali memperhatikan cup
kopinya. Ia kini mulai menuliskan sesuatu di kertas karton itu, “bitter coffee for a bitter story”.

Tak terasa waktu sudah
menunjukkan pukul 21.00. Mereka semua merasa lelah dan ngantuk, begitu juga
dengan Nadine yang memang sedari tadi kurang bersemangat.

“Kita duluan yah,” ucap Gio
disusul beberapa teman di belakangnya yang ikut pamit.

Bersamaan dengan itu, Nadine,
Letta dan Yura juga berdiri. Mereka semua hendak keluar dari kafe ini
bersama-sama. Sambil membawa kopi di tangannya yang tidak habis dikarenakan
rasanya yang pahit, Nadine berjalan bersama teman-temannya menuju pintu keluar.
Tiba-tiba, BRAAKK!

Nadine hanya terdiam melirik rok
dan sepatu ketsnya yang tadinya berwarna putih bersih, kini telah menjelma
menjadi warna cokelat akibat kopi yang tumpah itu. Nadine memejamkan matanya,
berusaha meredam emosi yang sedari tadi pagi tidak ia luapkan.

Ia menatap orang yang menabraknya
yang ternyata pelayan di kafe ini. Terlihat dari baju yang ia kenakan dan
celemek yang terikat di pinggangnya. Nadine menghela napas kasar.

Baca Juga :  Lumatan Cabai di Wajah

“Sorry… sorry. Maaf, saya tidak
sengaja,” ucap lelaki itu kini berlutut berusaha membersihkan sepatu Nadine.

Melihat kejadian yang ada di
hadapannya sambil melihat ke sekelilingnya, Nadine menjadi salah tingkah dan
mundur selangkah membuat lelaki yang hendak membersihkan sepatu Nadine itu
menatapnya.

“Gak apa-apa! Lain kali, hati-hati!,”
ucap Nadine menatap tajam ke arah lelaki yang kini sudah berdiri itu. Mata
hitam pekat dan alis tebal dari lelaki itu melihat Nadine yang sangat ingin
marah namun, entah kenapa Nadine malah mengurungkan niatnya.

Beberapa hari berlalu, Nadine
kali ini berada di kafe itu lagi di saat jam sudah menunjukkan pukul 21.30. Ia
kali ini duduk di sudut kafe yang berada di rooftop tanpa pesanan apa pun. Hari
ini mungkin puncak dari kepahitan yang selama ini ia rasakan. Akhirnya ia bisa
bebas dari March dan berani mengatakan kata putus lebih dahulu. Ia
menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya. Tiba-tiba ia teringat dengan
kejadian yang menimpanya tempo hari di kafe ini.

Ternyata, lelaki yang menabraknya
waktu itu adalah teman sekolahnya yang tidak cukup populer bagi Nadine. Tetapi
menurut Nadine lelaki yang ia lupa namanya itu tampan dan juga manis. Tiba-tiba
suara cup yang diletakkan di atas mejanya membuat Nadine mendongak dan
mendapati sebuah cup kopi yang bertuliskan “then,
make your own sweet story
”.

Dari balik cup itu ia dapati
wajah yang tersenyum lebar sedang menatapnya. Nadine kini duduk dengan tegap,
mendapati lelaki itu berada di hadapannya.

“Masih kenal aku?,” sahut lelaki
itu. “Minum kopinya. Mumpung masih hangat.”

Nadine menggelengkan kepalanya
dengan lambat.

“Kopinya gak bersianida kok,”
tambah lelaki itu.

“Pahit?,” sahut Nadine setelah
bebera saat diam. Lelaki itu kini tersenyum lagi.

“Ooh, aku tahu sekarang. Waktu
itu kamu gak menghabiskan kopinya karena pahit?,” tanya lelaki itu.

Nadine mengangguk. Lalu, lelaki
itu menggeleng pelan sambil tersenyum. “Coba dahulu yang satu ini. Aku janji
gak sepahit kopi waktu itu dan gak sepahit kisah kamu,” ucap lelaki itu.

Nadine membelalak, bagaimana bisa
lelaki ini berbicara itu kepadanya. Jangan-jangan ia tahu dari kalimat yang
Nadine tulis di cup kopi waktu itu.

“Aku janji, kalau kopinya pahit
aku bakalan traktir kamu selama seminggu di kafe ini,” tambah lelaki itu
meyakinkan Nadine.

Nadine pun mulai menyeruput kopi
itu. Aroma lembut dengan rasa yang kaya, seperti beri-berian? Tidak, rasanya
semacam cokelat, entahlah tapi itu lebih manis dan lebih enak dari kopi yang
pernah ia coba sebelumnya. Ia memejamkan matanya, dan membuka kembali matanya
setelah menikmati enaknya kopi itu.

Baca Juga :  Keterasingan, Luka, dan Kehancuran

Nadine mengangguk dan mulai
tersenyum, membuat lelaki yang ada di hadapannya legah dan ikut merasakan
indahnya rasa kopi yang Nadine rasakan.

“Ngomong-ngomong, nama kamu
siapa? Aku lupa, hehehe,” ucap Nadine menyekah sisa kopi yang berada di ujung
bibirnya.

“Namaku Julian. Kelas kita hanya
diantarai dua kelas,” ucap Julian. Nama yang bagus, untuk orang yang tampan.

“Sekarang bagaimana perasaanmu?,”
tanya Julian.

“Never better,” jawab Nadine
menyeruput kopi itu. Sepertinya ia mulai terpesona dengan rasa kopi ini.

“Sebenarnya, tidak semua kopi itu
pahit. Kopi yang waktu itu kamu coba, adalah kopi robusta. Dan kopi yang kali
ini kamu coba adalah kopi arabika. Rasanya cukup creamy dan manis seperti orang
yang kali ini meminumnya,” ucap Julian membuat kedua bola mata Nadine mengarah
kepadanya.

“Aku gak modus lho! Tapi ini
fakta,” tambah Julian menatap Nadine dengan tatapan tenang.

Cukup lama mereka duduk berdua
berbincang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kopi. Tak terasa, hari sudah
larut malam. Julian meminta Nadine untuk menunggunya selesai bekerja dengan
alasan untuk pulang bersama. Julian mengantar Nadine pulang dengan mengendarai
motor sport berwarna hitam.

Mereka berdua menyusuri jalan
malam kota yang diselimuti angin malam yang dingin, bahkan menembus kulit Nadine.
Julian pun berinisiatif untuk meminjamkan jaket kulit yang ia kenakan kepada
Nadine. Sesampainya mereka di depan rumah Nadine, tidak lupa Julian memberikan
paperbag kepada Nadine.

“Ini bonus buat kamu karena sudah
memaafkan aku dan menemaniku selesai bekerja hari ini,” ucap Julian yang
wajahnya ditutupi oleh helmnya.

“Kopi? Lagi?,” sahut Nadine.
“Langsung diminum yah. Keburu dingin.”

Julian pun hendak menyalakan
mesin motornya kembali namun diadang oleh tangan Nadine.

“Jaket?,” tanya Nadine. “Besok aja.
Itu jaminan supaya besok kita harus ketemu. Hehehe,” ucap Julian kemudian pamit
dan mulai mengendarai motor menjauhi Nadine.

Nadine pun masuk dan segera ke
kamarnya. Sambil menatap langit malam, ia mulai menyeruput kopi itu. Tapi…,
rasanya berbeda. Tidak seenak dan semanis kopi yang ia nikmati di kafe tadi.
“Apa mungkin, minum kopi ini harus dengan Julian supaya rasanya lebih enak?,”
pikir Nadine tersenyum mengingat perilaku manis dari Julian.

Kini ia berhenti menghakimi
hidupnya yang seperti pahitnya kopi. Berkat Julian, ia mengerti. Terkadang
hidup tidak sepahit kopi, tapi terkadang bisa semanis dan se-creamy kopi. Itu
tergantung pada kopi mana yang kita pilih. Sama halnya seperti manusia mana
yang kita pilih untuk dijadikan kekasih. Karena menjalani dan memutuskan
hubungan adalah sebuah pilihan. (*)

PROKALTENG.CO – Perempuan itu kini bangun dengan rambut hitam
kecokelatan yang berantakan. Masih lengkap dengan seragam sekolah yang belum
diganti. Ia menguap sambil meraba-raba tempat tidurnya. Mencari sebuah barang
yang baginya cukup penting dicek setiap pagi. Kedua bola mata yang berwarna
dark brown itu menatap layar smartphone yang menampilkan deretan pesan dari seseorang
yang bernama “March”.

Ia pun bangun lalu bersiap-siap
untuk bertemu teman-temannya di kafetaria. Tempat melaksanakan kerja kelompok.
Perempuan yang bernama Nadine Lucky Caliya atau akrab dipanggil Nadine itu, kini
sudah siap dengan rok hitam dengan panjang selutut dan baju kaos putih yang
ditutupi dengan jaket jeans. Ia sekarang tengah menunggu datangnya jemputan
dari sahabatnya.

“Lama banget sih,” sahut Nadine
lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di jok belakang. Kedua sahabatnya, Letta
dan Yura hanya diam menanggapi sikap Nadine kali ini dengan wajar.

“Nad, lo gak apa-apa kan?,” tanya
Letta yang melirik Nadine dari kaca yang tergantung di atas dashboard mobil.

“I’m trying…,” jawab Nadine.

Di Kafe Espresso Cafetaria.

Nadine masih sibuk dengan daftar
menu yang ada di hadapannya.

“Kopi aja Nad. supaya ngerjain
tugasnya gak ngantuk,” ucap salah satu teman Nadine yang bernama Gio.

Karena pikirannya yang sudah
tidak fokus, ia hanya mengangguk dan menyerahkan buku menu itu. Menganggap
pilihan menunya sudah ada.

Nadine mengambil pesanannya dan
melirik cup itu yang terdapat kertas karton cokelat muda yang mengelilingi cup
dengan tulisan “write something”.

Lama kelamaan Nadine merasa
sesuatu yang buruk di lidahnya. Ia merasakan rasa pahit tiap kali menyeruput
kopi ini. Ia pun berhenti meminum kopi itu dan kembali memperhatikan cup
kopinya. Ia kini mulai menuliskan sesuatu di kertas karton itu, “bitter coffee for a bitter story”.

Tak terasa waktu sudah
menunjukkan pukul 21.00. Mereka semua merasa lelah dan ngantuk, begitu juga
dengan Nadine yang memang sedari tadi kurang bersemangat.

“Kita duluan yah,” ucap Gio
disusul beberapa teman di belakangnya yang ikut pamit.

Bersamaan dengan itu, Nadine,
Letta dan Yura juga berdiri. Mereka semua hendak keluar dari kafe ini
bersama-sama. Sambil membawa kopi di tangannya yang tidak habis dikarenakan
rasanya yang pahit, Nadine berjalan bersama teman-temannya menuju pintu keluar.
Tiba-tiba, BRAAKK!

Nadine hanya terdiam melirik rok
dan sepatu ketsnya yang tadinya berwarna putih bersih, kini telah menjelma
menjadi warna cokelat akibat kopi yang tumpah itu. Nadine memejamkan matanya,
berusaha meredam emosi yang sedari tadi pagi tidak ia luapkan.

Ia menatap orang yang menabraknya
yang ternyata pelayan di kafe ini. Terlihat dari baju yang ia kenakan dan
celemek yang terikat di pinggangnya. Nadine menghela napas kasar.

Baca Juga :  Lumatan Cabai di Wajah

“Sorry… sorry. Maaf, saya tidak
sengaja,” ucap lelaki itu kini berlutut berusaha membersihkan sepatu Nadine.

Melihat kejadian yang ada di
hadapannya sambil melihat ke sekelilingnya, Nadine menjadi salah tingkah dan
mundur selangkah membuat lelaki yang hendak membersihkan sepatu Nadine itu
menatapnya.

“Gak apa-apa! Lain kali, hati-hati!,”
ucap Nadine menatap tajam ke arah lelaki yang kini sudah berdiri itu. Mata
hitam pekat dan alis tebal dari lelaki itu melihat Nadine yang sangat ingin
marah namun, entah kenapa Nadine malah mengurungkan niatnya.

Beberapa hari berlalu, Nadine
kali ini berada di kafe itu lagi di saat jam sudah menunjukkan pukul 21.30. Ia
kali ini duduk di sudut kafe yang berada di rooftop tanpa pesanan apa pun. Hari
ini mungkin puncak dari kepahitan yang selama ini ia rasakan. Akhirnya ia bisa
bebas dari March dan berani mengatakan kata putus lebih dahulu. Ia
menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya. Tiba-tiba ia teringat dengan
kejadian yang menimpanya tempo hari di kafe ini.

Ternyata, lelaki yang menabraknya
waktu itu adalah teman sekolahnya yang tidak cukup populer bagi Nadine. Tetapi
menurut Nadine lelaki yang ia lupa namanya itu tampan dan juga manis. Tiba-tiba
suara cup yang diletakkan di atas mejanya membuat Nadine mendongak dan
mendapati sebuah cup kopi yang bertuliskan “then,
make your own sweet story
”.

Dari balik cup itu ia dapati
wajah yang tersenyum lebar sedang menatapnya. Nadine kini duduk dengan tegap,
mendapati lelaki itu berada di hadapannya.

“Masih kenal aku?,” sahut lelaki
itu. “Minum kopinya. Mumpung masih hangat.”

Nadine menggelengkan kepalanya
dengan lambat.

“Kopinya gak bersianida kok,”
tambah lelaki itu.

“Pahit?,” sahut Nadine setelah
bebera saat diam. Lelaki itu kini tersenyum lagi.

“Ooh, aku tahu sekarang. Waktu
itu kamu gak menghabiskan kopinya karena pahit?,” tanya lelaki itu.

Nadine mengangguk. Lalu, lelaki
itu menggeleng pelan sambil tersenyum. “Coba dahulu yang satu ini. Aku janji
gak sepahit kopi waktu itu dan gak sepahit kisah kamu,” ucap lelaki itu.

Nadine membelalak, bagaimana bisa
lelaki ini berbicara itu kepadanya. Jangan-jangan ia tahu dari kalimat yang
Nadine tulis di cup kopi waktu itu.

“Aku janji, kalau kopinya pahit
aku bakalan traktir kamu selama seminggu di kafe ini,” tambah lelaki itu
meyakinkan Nadine.

Nadine pun mulai menyeruput kopi
itu. Aroma lembut dengan rasa yang kaya, seperti beri-berian? Tidak, rasanya
semacam cokelat, entahlah tapi itu lebih manis dan lebih enak dari kopi yang
pernah ia coba sebelumnya. Ia memejamkan matanya, dan membuka kembali matanya
setelah menikmati enaknya kopi itu.

Baca Juga :  Keterasingan, Luka, dan Kehancuran

Nadine mengangguk dan mulai
tersenyum, membuat lelaki yang ada di hadapannya legah dan ikut merasakan
indahnya rasa kopi yang Nadine rasakan.

“Ngomong-ngomong, nama kamu
siapa? Aku lupa, hehehe,” ucap Nadine menyekah sisa kopi yang berada di ujung
bibirnya.

“Namaku Julian. Kelas kita hanya
diantarai dua kelas,” ucap Julian. Nama yang bagus, untuk orang yang tampan.

“Sekarang bagaimana perasaanmu?,”
tanya Julian.

“Never better,” jawab Nadine
menyeruput kopi itu. Sepertinya ia mulai terpesona dengan rasa kopi ini.

“Sebenarnya, tidak semua kopi itu
pahit. Kopi yang waktu itu kamu coba, adalah kopi robusta. Dan kopi yang kali
ini kamu coba adalah kopi arabika. Rasanya cukup creamy dan manis seperti orang
yang kali ini meminumnya,” ucap Julian membuat kedua bola mata Nadine mengarah
kepadanya.

“Aku gak modus lho! Tapi ini
fakta,” tambah Julian menatap Nadine dengan tatapan tenang.

Cukup lama mereka duduk berdua
berbincang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kopi. Tak terasa, hari sudah
larut malam. Julian meminta Nadine untuk menunggunya selesai bekerja dengan
alasan untuk pulang bersama. Julian mengantar Nadine pulang dengan mengendarai
motor sport berwarna hitam.

Mereka berdua menyusuri jalan
malam kota yang diselimuti angin malam yang dingin, bahkan menembus kulit Nadine.
Julian pun berinisiatif untuk meminjamkan jaket kulit yang ia kenakan kepada
Nadine. Sesampainya mereka di depan rumah Nadine, tidak lupa Julian memberikan
paperbag kepada Nadine.

“Ini bonus buat kamu karena sudah
memaafkan aku dan menemaniku selesai bekerja hari ini,” ucap Julian yang
wajahnya ditutupi oleh helmnya.

“Kopi? Lagi?,” sahut Nadine.
“Langsung diminum yah. Keburu dingin.”

Julian pun hendak menyalakan
mesin motornya kembali namun diadang oleh tangan Nadine.

“Jaket?,” tanya Nadine. “Besok aja.
Itu jaminan supaya besok kita harus ketemu. Hehehe,” ucap Julian kemudian pamit
dan mulai mengendarai motor menjauhi Nadine.

Nadine pun masuk dan segera ke
kamarnya. Sambil menatap langit malam, ia mulai menyeruput kopi itu. Tapi…,
rasanya berbeda. Tidak seenak dan semanis kopi yang ia nikmati di kafe tadi.
“Apa mungkin, minum kopi ini harus dengan Julian supaya rasanya lebih enak?,”
pikir Nadine tersenyum mengingat perilaku manis dari Julian.

Kini ia berhenti menghakimi
hidupnya yang seperti pahitnya kopi. Berkat Julian, ia mengerti. Terkadang
hidup tidak sepahit kopi, tapi terkadang bisa semanis dan se-creamy kopi. Itu
tergantung pada kopi mana yang kita pilih. Sama halnya seperti manusia mana
yang kita pilih untuk dijadikan kekasih. Karena menjalani dan memutuskan
hubungan adalah sebuah pilihan. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru