Site icon Prokalteng

Sajak Dadang Ari Murtono

sajak-dadang-ari-murtono

Di Gua Jepang Cangar

di ranjang tanah yang keras itu maut datang dan mengelus

tubuh mereka, yang muda dan telanjang

udara pengap jadi panas

”apakah ini hawa neraka?” tanya si perempuan

”ini nuansa cinta,” si lelaki melekapkan bibir di leher yang

bersemu hijau

lenguh menggema

dalam gelap yang kekal

lantas rintih

kesakitan

dari tubuh yang ringkih

”aku tak bisa melepasnya”

”tapi kau harus melepasnya”

di samping mereka, maut menari

dengan satu kaki menginjak punggung si lelaki

mereka ingin menjerit

tapi tak sanggup

mereka tak kuasa membayangkan

orang-orang tiba

dan menemukan mereka

masih terpaut

tapi tujuh hari kemudian

orang-orang tetap datang

dan mendapati mereka

saling memeluk dan membusuk

terbungkus udara lembap

di lantai gua yang kotor

”mereka sepasang pezina terkutuk!” kata kiai setempat

”mereka sepasang pecinta yang terberkati,” gumam seorang remaja

yang tengah kasmaran

———————

Loji dan Pohon Durian di Turunan Kidul

ini rumah hantu-hantu, kata Mbah Wandi

sambil mengusir bocah-bocah yang ingin mengintip

melalui kaca belimbing yang kotor dan kukuh;

hantu laki-laki bule, hantu perempuan bule, hantu

bocah laki-laki bule, hantu bocah perempuan bule,

hantu kakek-kakek bule, hantu nenek-nenek bule,

hantu anjing bule, hantu kucing bule, dan hantu

prenjak bule

sebab loji ini dibangun zaman Belanda, atas perintah

orang Belanda, oleh rakyat pribumi, dan untuk orang Belanda

”dan mereka semua mati di sini dipancung oleh

para pemuda yang marah” tambah Mbah Wandi

bocah-bocah bergidik ngeri

dan berjanji tak bakal bermain di situ

lalu mereka pergi, seraya menatap pohon

durian di halamannya yang tengah berbunga,

pohon durian yang terlihat berduka, pohon durian yang hingga

berbulan-bulan kemudian masih saja berbunga

sewaktu pohon durian lain menghasilkan buah

besar dan wangi

”pohon durian gabuk,” maki Mbah Wandi

tapi pohon durian itu hanya merasa kesepian

ia menginginkan bocah-bocah bermain di sekitarnya,

bocah-bocah yang mengubah bunga jadi buah,

lantas sesekali melemparinya

kerikil dan beriang gembira sewaktu menemukan

sebutir buah matang jatuh

lalu bercerita ke segenap penjuru kampung

seolah-olah mereka telah menemukan surga

———————

Batu Dandang

setelah empat buruh yang ia pekerjakan kesurupan

di sawah yang baru disewanya, sawah yang konon

dihuni danyang-danyang berwarna putih, Kaji Suwadi

memimpikan sebongkah batu yang bisa bicara:

mereka kira sang sri yang menjaga tanah tetap subur, yang

membuat padi tabah tumbuh dengan biji penuh dan terguyur kuning,

tapi tidak, sri telah lama hijrah ketika orang-orang asing datang

membawa kata bidah, dan para petani tak lagi memberikan

takir dan sebatang dupa pada musim tanam dan ketam

tapi kami tetap di sini, menjaga apa yang ditinggal pergi, meruwat

dan merawat biji-biji padi yang kami tahu begitu paham cara

berendah hati dan berterima kasih, karena itulah, di sini dan hanya

di sini, wereng dan walang tersingkir, tikus dan pipit terusir

dan seperti kalian yang tahu bahwa sang sri pernah ada tapi

tak lagi kalian hargai, kalian juga tahu bahwa kami ada

dan berumah di sini, tapi kalian senantiasa cuai; kalian ludahi

batu rumah kami, kalian injak dengan kaki kotor batu rumah kami,

kalian ucapkan kalimat tak pantas di atas batu rumah kami,

maka kami peringatkan kalian sebagai permulaan, sebab kami

bukan sang sri yang begitu sabar dan memilih meninggalkan;

kami melawan dengan cakar, sebab begitulah cara kami bertahan

hari telah tinggi ketika Kaji Suwadi bangun, dan ia marah

karena tak ada yang menggugahnya untuk Subuhan

ia tak memikirkan mimpinya, sebab ia tahu, mimpi sekadar

bunga tidur, dan semalam, bunga berkelopak jelek yang mekar

============================

DADANG ARI MURTONO. Lahir di
Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, Ludruk Kedua
(kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit
(kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain
ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur
serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai Buku Puisi
Terbaik Indonesia 2019.

Exit mobile version