Site icon Prokalteng

Semangkuk Rendang di Atas Meja

semangkuk-rendang-di-atas-meja

“Mas, lebaran haji sebentar lagi!” keluh Mira. Keluhan yang sama sejak beberapa hari kemarin itu kini terdengar semakin berat.

HAMZAH menoleh ke arah istrinya. Sorot matanya begitu tajam dan penuh. Dalam situasi seperti itu ia hanya bisa berpikir. Ia tidak mau mengalah dengan keadaan. Ia harus membuktikan bahwa dirinya adalah seorang ayah yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi. Seorang ayah yang sanggup berkorban untuk kebahagiaan keluarga kecilnya.

“Insya Allah akan selalu ada rezeki untuk keluarga kita,” ujar Hamzah kemudian.

“Lanang dan Surya minta baju baru, aku juga butuh daging untuk buat rendang.”

Hamzah tersentak. Ia merasa bahwa dirinya telah gagal atau lebih tepatnya pantas disebut suami yang tidak bertanggung jawab.

Sehari menjelang hari pertama puasa kemarin, Hamzah diberhentikan oleh mandornya dengan alasan pengurangan karyawan. Ia kalang kabut mendengar hal itu. Alhasil ia tidak bisa menuruti keinginan kedua anaknya untuk membeli baju baru. Hamzah pun berjanji akan menggantinya saat lebaran haji. Namun, pada kenyataannya ia masih seorang pengangguran. Saban hari tiada hentinya Hamzah merenung.

“Aku dengar Pak Samad lagi butuh orang untuk mengurus peternakan sapi miliknya. Kamu coba saja, Mas. Lumayan daripada nggak ada pemasukan sama sekali.” Mira menyadarkan Hamzah dari lamunan pedihnya. Tanpa menjawab omongan istrinya, Hamzah segera bangkit dan bergegas pergi.

“Betul, saya memang lagi cari orang untuk menjaga sapi-sapi itu. Tapi upahnya tidak banyak.”

“Sing penting cukup untuk beli daging dan baju anak-anak, Pak,” ujar Hamzah disertai tawa kecil.

“Ya sudah, mulai besok kamu bisa merawat sapi-sapi itu.”

Hamzah segera merasa beban di tubuhnya sedikit berkurang. Ada harapan yang kini menggantung dalam angannya. Sebelum ia beranjak dari beranda rumah lelaki tua itu, sekali lagi ia mencium punggung tangan Pak Samad sambil berucap terima kasih tiada henti.

Mendengar kabar bahagia itu, Mira segera memeluk tubuh Hamzah dengan erat. Dan malam itu Hamzah merasakan sentuhan yang berbeda dari istrinya. Meresap begitu dalam ke tubuhnya.

Bukan perkara sulit bagi Hamzah untuk mengurus sapi-sapi itu. Sejak kecil ia sudah biasa mengurus hewan ternak. Dengan telaten Hamzah merawat sapi milik Pak Samad. Hamzah memang lekaki penyabar dan ulet. Ia selalu total dalam bekerja. Itulah mengapa mandornya terdahulu sangat menyayangkan atas keputusan atasannya untuk memberhentikan Hamzah. Tapi, apa boleh buat. Nasib berkata lain.

“Wah, sapi-sapi itu begitu nurut sama kamu, Zah. Seperti sudah akrab!” sapa Pak Samad sore itu.

“Iya, Pak, alhamdulillah. Sapi-sapi ini baik dan penurut!” sahut Hamzah sambil tersenyum.

“Tolong kamu jaga baik-baik ya, Zah. Sapi asli Tuban ini peninggalan istri saya dan beberapa akan saya kurbankan saat Idul Adha.”

“Tentu saja, Pak. Saya akan merawatnya seperti anak sendiri.”

Pak Samad tersenyum mendengar ucapan Hamzah. Ada jeda yang cukup panjang di antara keduanya sebelum akhirnya pria tua itu kembali bersuara, “Saya pegang janji kamu, Zah. Besok akan saya beri upah pertama kamu!”

Seolah ada sebuah aliran listrik yang menyengat tubuh Hamzah. Tubuhnya tertegun cukup lama. Seketika itu wajah istri dan kedua anaknya muncul dalam ingatannya. Hamzah hanya bisa tersenyum sambil menikmati debaran dalam dadanya.

“Pak, lebaran haji sebentar lagi, kapan Lanang beli baju baru?” Lanang, anak sulungnya yang kini berusia tiga belas tahun, membuka percakapan malam itu sambil menatap wajah Hamzah dengan tajam.

“Lebarannya saja belum, Nang! Tenang saja, pasti Bapak belikan baju baru.”

“Kalau Surya kapan, Pak?” timpal anak bungsunya yang berusia sepuluh tahun.

Hamzah langsung melirik wajah istrinya yang sedang sibuk membersihkan meja makan. Ia yakin Mira juga menunggu jawabannya.

“Besok Bapak gajian,” tandas Hamzah.

Seketika itu sebuah lengkungan serupa perahu terlukis di wajah Mira. Dalam benaknya, ia tidak sabar menunggu hari esok. Ia tidak sabar ingin membagi-bagi uang itu untuk keperluan beli baju dan daging rendang. Mira ingin sekali menyajikan rendang di hari raya nanti.

Ketika hari belum cukup siang untuk Hamzah pergi ke peternakan, teleponnya berdering dengan sangat nyaring. Pak Samad memintanya untuk segera menuju ke peternakan. Tanpa menunggu lama Hamzah bergegas ke sana. Sesampainya di sana, ia begitu terkejut melihat peternakan yang berantakan. Diliriknya setiap sudut ruangan, batinnya terguncang sangat hebat.

“Tiga ekor sapi hilang, Zah. Hilang!” ujar Pak Samad dengan suara meninggi. “Pasti kamu tidak mengunci pintunya dengan rapat, kan?” lanjutnya.

“Saya sudah menguncinya, Pak. Sumpah!” sahut Hamzah bergetar.

“Lalu kenapa sapi-sapi itu bisa hilang? Pokoknya kamu harus ganti rugi. Sebagai gantinya, upah kamu sampai tiga bulan ke depan tidak akan saya bayar!”

“T-tapi… bagaimana untuk keperluan lebaran haji besok, Pak. Saya sangat butuh uang!” ujar Hamzah memelas.

“Bukan urusan saya!” timpal lelaki tua itu seraya meninggalkan Hamzah.

Seketika itu Hamzah merasa tanah yang sedang ia pijak terbelah dan menguburnya jauh ke dasar tanah. Ia tidak bisa berkutik. Hamzah ingin menjerit, tapi ia tidak punya kuasa.

Setelah Mira mendengar cerita suaminya, ia hanya bisa menunduk. Ia tidak ingin kedua anaknya mengetahui hal itu. Namun, ia juga tidak bisa berbuat banyak. Sementara hari raya kurban sudah di depan mata. Terlalu banyak hal yang kini bersarang dalam kepalanya. Tiba-tiba cairan bening berkubang di kelopak mata Mira, lalu jatuh dengan perlahan.

Esoknya, Hamzah kembali tertimpa musibah. Dua ekor sapi hilang tanpa jejak. Melihat hal itu Pak Samad kian murka. Ia menghakimi Hamzah tanpa ampun. Dan puncak dari permasalahan itu adalah Hamzah diberhentikan tanpa menerima upah sepeser pun.

Hamzah pulang dengan langkah gontai. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Mira tahu bahwa ia sudah tidak bekerja. Begitu juga dengan kedua anaknya yang pasti menunggu baju baru. Tiba-tiba kepalanya terasa berat dan pusing.

Saat Hamzah membuka pintu rumah, tiba-tiba hidungnya mencium bau yang sangat enak. Hamzah segera mencari asal-usul bau itu. Seketika perutnya keroncongan. Hamzah berjalan menuju dapur dan aroma itu semakin dekat ke hidungnya. Lalu ia berhenti di meja makan. Tak menunggu lama ia segera membuka tudung saji. Matanya terbelalak ketika semangkuk rendang tersaji di atas meja. Hamzah pun segera duduk dan melahapnya.

Seketika itu, istri dan kedua anaknya menyembul dari balik pintu sambil membawa beberapa kantong plastik.

“Kalian dari mana?” tanya Hamzah dengan mulut yang masih penuh. Mira istrinya berpaling sambil tersenyum.

“Habis beli baju, Mas.”

Hamzah terpaksa berhenti mengunyah setelah mendengar jawaban istrinya. “Uang dari mana?”

Istrinya kembali tersenyum.

“Hasil jual sapi.”

“Apa?” Hamzah mencoba memastikan ucapan istrinya sekali lagi.

“Sudah, jangan dipikirkan. Gimana rendangnya? Sapi Tuban memang empuk!”

Hamzah segera berpaling menatap rendang dalam mangkuk. Ia langsung teringat dengan sapi milik Pak Samad yang hilang. Tiba-tiba perutnya terasa sangat mual. Benarkah itu? Lirih Hamzah seraya menatap wajah istrinya yang semringah. [*]

(EDE TEA. Lahir di Bogor. Karya-karyanya pernah dimuat di media cetak dan media daring. Cerpennya juga masuk dalam beberapa buku antologi. Merupakan alumni Klinik Menulis yang juga bergabung dengan Komunitas Pembatas Buku Jakarta)

Exit mobile version