27.1 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Senja di Pelabuhan Kecil

PROKALTENG.CO – Kedua jalan itu dipisahkan oleh deretan pertokoan
yang menjual barang-barang apkir, misalnya mesin tik, poster, setrika arang,
sepatu kuda, atau saputangan. Jika orang-orang luar datang berkunjung ke
wilayah itu mungkin mereka akan terheran-heran sebab bukan saja toko-toko itu
sepi pembeli, melainkan juga karena jika ada orang yang masuk ke toko-toko itu
malah pemiliknya yang terheran-heran.

Pernah ada cerita yang beredar di
wilayah itu tentang seorang noni yang hendak membeli saputangan. Noni ini
memang masuk ke toko yang menjual saputangan, tapi pemilik toko bilang bahwa
dia tidak menjual saputangan. Si noni merasa tersinggung, lalu mengumpat-umpat.
Si pemilik toko kemudian menunjukkan bahwa yang dijualnya memang bukan
saputangan, melainkan cumi-cumi mainan yang terbuat dari karet dan dipajang
dengan cara direntangkan.

Cerita itu pada mulanya tidak
masuk akal dan kurang diterima, tapi setelah seorang penyair menulis puisi
tentang cumi-cumi yang dibayangkannya seperti saputangan, banyak orang jadi
percaya. Puisi itu sendiri dibeli oleh seorang pemilik toko perlengkapan
memancing, kemudian dicetak dan dipajang di dinding tokonya.

Situasi pertokoan yang sepi
berbanding terbalik dengan jalan di depannya. Di antara lima cabang jalan,
jalan ini yang paling ramai, setidaknya sama ramainya dengan jalan yang
mengarah ke barat, ke arah pasar terbesar di kota kecil itu. Waktu masih kecil
Lin Munru suka berjalan-jalan di depan pertokoan. Dia senang mengamat-amati
para pemilik toko yang duduk-duduk sepanjang hari di depan tokonya.
Kadang-kadang dia punya keinginan menyeberang dan tiap kali menyeberang dia
pasti nyaris tertabrak kendaraan. Para pengendara yang pernah nyaris menabrak
Lin Munro pasti sempat mengumpat-umpat, namun bila dicermati dengan teliti
siapa saja yang pernah nyaris menabrak Lin Munro pasti menjadi orang sukses di
kemudian hari.

Selain suka berjalan-jalan dan
mengamati para pemilik toko, Lin Munru senang menari-nari meniru gerak seorang
balerina di depan pertokoan. Suatu ketika Lin Munru yang sedang asyik
menari-nari menabrak seorang bocah yang membawa sangkar burung kecil. Waktu itu
usianya sekitar sembilan tahun. Keduanya terjungkir akibat peristiwa tabrakan
itu. Kalau sekadar tabrakan dan jatuh barangkali cerita akan sampai di situ
saja. Kenyataannya, sangkar burung si bocah ikut jatuh dan burung di dalamnya
langsung terbang. Si bocah termangu-mangu sebentar melihat burungnya
melayang-layang bebas.

Beberapa kejap kemudian, bagaikan
hujan yang turun tiba-tiba, bocah itu menangis sambil meraung-raung. Lin Munru
yang melihat burung itu melayang-layang di atap bangunan toko penjual
perlengkapan memancing menepuk-nepuk bahu si bocah, ”Ssst, jangan nangis, nanti
burungnya terbang,” katanya. Si bocah menghentikan tangisnya, menatap Lin Munru
dengan pandangan yang lebih mengutuk ketimbang ibu Malin Kundang, lalu berdiri
dan langsung berlari sambil berteriak-teriak menyambung tangisnya, ”Burung Kiki
terbang! Burung Kiki terbang!” serunya berulang-ulang.

Lin Munru seketika ikut bangkit
dan berlari mengejar si bocah. Di sekitar pertokoan ada jalan ke arah kiri yang
tembus ke cabang jalan menuju krematorium tua. Si bocah berbelok ke jalan kecil
itu dan Lin Munru terus mengejarnya. ”Woii…” seru Lin Munru. Si bocah tidak
peduli, dia terus berlari. Di ujung jalan kecil dia berbelok ke kiri, ke arah
pusat simpang lima. Lin Munru agak kecewa karena mestinya si bocah berbelok ke
kanan, ke arah krematorium tua. Sebetulnya tadi Lin Munru berencana ke
krematorium sebab hari itu ada upacara kremasi di mana biasanya ada penyair
yang membacakan satu puisinya. Lin Munru suka melihat penyair membaca puisi.
Mereka tampak seperti binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya, seperti
sesuatu yang kelak retak sehingga dukanya abadi. Kadang-kadang Lin Munru juga melihat
mereka seperti melihat api bekerja membakar selembar celana. Itu sungguh
menyenangkan. Namun sayang, si bocah telah berbelok ke kiri dan urusan Lin
Munru dengan bocah itu belum selesai.

Baca Juga :  Teruntuk yang Paling, Namun Tidak Menjadi Saling

Sampai di ujung jalan si bocah
yang masih meraung-raung melintasi jalan, lalu dengan cepat menuju cabang jalan
yang mengarah ke barat. Di depan gedung bioskop yang sudah tak dipakai, dia
berhenti sebentar melihat beberapa anak sedang main judi. Lin Munro ikut
menyeberang dan kali itu tak ada kendaraan yang nyaris menabraknya. Karena
terlena melihat anak-anak main judi, si bocah nyaris terkejar Lin Munru. Namun,
dia segera sadar dan kembali meraung-raung sambil berlari ke cabang jalan yang
menuju barat. Di ujung jalan itu terhampar sebuah pantai. Lin Munru berhenti sebentar
di tempat si bocah tadi berhenti, bukan karena dia juga terlena oleh anak-anak
yang main judi, melainkan karena dia melihat burung si bocah yang tadi lepas
kini hinggap kembali di atap bangunan pertokoan di pojok jalan menuju selatan,
yakni jalan yang mengarah ke jembatan di mana mengalir sungai di bawahnya. Lin
Munru merasa burung itu seperti mengikutinya, atau mungkin mengikuti tuannya.

Lin Munru tiba-tiba merasa malas
melanjutkan pengejarannya. Kalau saja dia tidak benar-benar penasaran pada satu
hal dan jawaban dari rasa penasaran itu hanya mungkin didapat dari si bocah,
mungkin dia sudah berbalik arah menuju krematorium tua. Ketimbang rasa
penasarannya tak terjawab, Lin Munru memilih membuang rasa malasnya dan kembali
mengejar si bocah. Kali ini dia tak lagi berlari, melainkan berjalan
pelan-pelan sambil sesekali memperhatikan burung si bocah. Saat itu hampir
senja. Langit seperti kain yang luntur warnanya dan bentuk-bentuk awan
menyerupai kapas yang terburai dari bungkusnya. Jalan ke arah barat yang menuju
pantai itu adalah cabang jalan yang paling sepi di antara keempat cabang
lainnya. Sepanjang jalan itu berdiri rumah-rumah dan gudang-gudang tua sisa
peninggalan dari masa ketika pelabuhan kecil di pantai masih beroperasi dan
para pedagang berdatangan dari berbagai penjuru.

Lin Munru tahu si bocah pasti
menuju pantai sebab pantai adalah tempat yang paling suci untuk menangis. Dia
sendiri kadang-kadang pergi ke pantai, bukan untuk menangis, melainkan untuk
melihat orang-orang menangis. Pada waktu-waktu tertentu Lin Munru senang
melihat orang menangis. Sebab setiap melihat orang menangis, dia selalu
membayangkan orang itu adalah penyair. Tadi ketika melihat si bocah menangis,
sebetulnya Lin Munru sempat membayangkannya sebagai seorang penyair, tapi bayangan
itu buyar karena si bocah keburu lari.

Baca Juga :  Tangan yang Merawat

Sesampai di pantai senja
berangsur tua. Sebuah senja di pelabuhan kecil. Lin Munru melihat si bocah
duduk di pasir menghadap ke laut. Bocah itu kelihatan seperti baru saja dikutuk
ibunya hingga jadi batu. Orang-orang yang lalu-lalang tak memperhatikan. Dia
masih terisak-isak ketika Lin Munru duduk di sampingnya. Mereka tidak
berbicara. Pandangan mereka sama-sama terarah ke laut. Di mata Lin Munru
ombak-ombak bergerak seperti sekumpulan balerina, di mata si bocah
sampan-sampan di kejauhan seperti burung-burung yang lepas melayang. Setelah
beberapa lama Lin Munru kemudian menjulurkan tangannya, ”Nama saya Sri. Namamu
siapa?”

Si bocah menyambut juluran
tangannya, tapi tidak menjawab pertanyaannya. Lin Munru kembali berkata, ”Tadi
saya kejar kamu soalnya saya penasaran.”

Si bocah menoleh, ”Penasaran?”

”Iya, boleh saya bertanya?”

Si bocah mengangguk. “Tadi saya
dengar kamu berteriak-teriak sambil menyebut satu nama; Kiki. Kalau boleh tahu
itu namamu atau nama burungmu?”

Si bocah terkikik mendengar
pertanyaan itu. Roman mukanya jadi kelihatan ganjil. ”Nama saya Chairil.
Chairil Anwar,” jawabnya. ”Nama lengkapmu siapa?”

Lin Munru ikut terkikik, ”Ayati,”
jawabnya. ”Sri Ayati.”

Mereka berdua lalu terkikik
bersama-sama seakan-akan mereka adalah kawan yang sekian lama tak berjumpa.
Rasa penasaran Lin Munru juga menguap seketika. Dengan riang keduanya berlarian
di pantai, melompat-lompat, berkejaran, dan sesekali menghambur ke bibir laut.
Mereka menjerit-jerit ketika air berusaha menyeret mereka. ”Chairil!” seru Lin
Munru, ”Saya bohong,” lanjutnya. ”Nama saya bukan Sri.”

Chairil Anwar kembali terkikik
mendengar pengakuan itu, ”Saya tahu!” teriaknya. Setelah itu dia
menunjuk-nunjuk ke angkasa, ”Burung Kiki terbang!” serunya, lantas berlari
menjauh dari pantai. Lin Munru tak lagi memedulikan bocah itu. Dia menari-nari
sendirian meniru gerak seorang balerina. Dia terus menari-nari sampai kemudian
nyaris tertabrak seorang laki-laki yang jalan bergegas seakan-akan baru saja
mendapat ilham setelah beberapa lama menatap laut. Laki-laki itu sempat
mengumpat sembari terus bergegas. Kelak laki-laki itu akan menulis sebuah puisi
tentang cumi-cumi yang dibayangkannya seperti saputangan dan puisi itu dengan
segera membuatnya jadi penyair ternama. (*)

Kekalik, 11 Maret 2021

—

(KIKI SULISTYO. Lahir di Kota
Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di
Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017), dan Buku Puisi Terbaik Tempo
2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang
terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020))

PROKALTENG.CO – Kedua jalan itu dipisahkan oleh deretan pertokoan
yang menjual barang-barang apkir, misalnya mesin tik, poster, setrika arang,
sepatu kuda, atau saputangan. Jika orang-orang luar datang berkunjung ke
wilayah itu mungkin mereka akan terheran-heran sebab bukan saja toko-toko itu
sepi pembeli, melainkan juga karena jika ada orang yang masuk ke toko-toko itu
malah pemiliknya yang terheran-heran.

Pernah ada cerita yang beredar di
wilayah itu tentang seorang noni yang hendak membeli saputangan. Noni ini
memang masuk ke toko yang menjual saputangan, tapi pemilik toko bilang bahwa
dia tidak menjual saputangan. Si noni merasa tersinggung, lalu mengumpat-umpat.
Si pemilik toko kemudian menunjukkan bahwa yang dijualnya memang bukan
saputangan, melainkan cumi-cumi mainan yang terbuat dari karet dan dipajang
dengan cara direntangkan.

Cerita itu pada mulanya tidak
masuk akal dan kurang diterima, tapi setelah seorang penyair menulis puisi
tentang cumi-cumi yang dibayangkannya seperti saputangan, banyak orang jadi
percaya. Puisi itu sendiri dibeli oleh seorang pemilik toko perlengkapan
memancing, kemudian dicetak dan dipajang di dinding tokonya.

Situasi pertokoan yang sepi
berbanding terbalik dengan jalan di depannya. Di antara lima cabang jalan,
jalan ini yang paling ramai, setidaknya sama ramainya dengan jalan yang
mengarah ke barat, ke arah pasar terbesar di kota kecil itu. Waktu masih kecil
Lin Munru suka berjalan-jalan di depan pertokoan. Dia senang mengamat-amati
para pemilik toko yang duduk-duduk sepanjang hari di depan tokonya.
Kadang-kadang dia punya keinginan menyeberang dan tiap kali menyeberang dia
pasti nyaris tertabrak kendaraan. Para pengendara yang pernah nyaris menabrak
Lin Munro pasti sempat mengumpat-umpat, namun bila dicermati dengan teliti
siapa saja yang pernah nyaris menabrak Lin Munro pasti menjadi orang sukses di
kemudian hari.

Selain suka berjalan-jalan dan
mengamati para pemilik toko, Lin Munru senang menari-nari meniru gerak seorang
balerina di depan pertokoan. Suatu ketika Lin Munru yang sedang asyik
menari-nari menabrak seorang bocah yang membawa sangkar burung kecil. Waktu itu
usianya sekitar sembilan tahun. Keduanya terjungkir akibat peristiwa tabrakan
itu. Kalau sekadar tabrakan dan jatuh barangkali cerita akan sampai di situ
saja. Kenyataannya, sangkar burung si bocah ikut jatuh dan burung di dalamnya
langsung terbang. Si bocah termangu-mangu sebentar melihat burungnya
melayang-layang bebas.

Beberapa kejap kemudian, bagaikan
hujan yang turun tiba-tiba, bocah itu menangis sambil meraung-raung. Lin Munru
yang melihat burung itu melayang-layang di atap bangunan toko penjual
perlengkapan memancing menepuk-nepuk bahu si bocah, ”Ssst, jangan nangis, nanti
burungnya terbang,” katanya. Si bocah menghentikan tangisnya, menatap Lin Munru
dengan pandangan yang lebih mengutuk ketimbang ibu Malin Kundang, lalu berdiri
dan langsung berlari sambil berteriak-teriak menyambung tangisnya, ”Burung Kiki
terbang! Burung Kiki terbang!” serunya berulang-ulang.

Lin Munru seketika ikut bangkit
dan berlari mengejar si bocah. Di sekitar pertokoan ada jalan ke arah kiri yang
tembus ke cabang jalan menuju krematorium tua. Si bocah berbelok ke jalan kecil
itu dan Lin Munru terus mengejarnya. ”Woii…” seru Lin Munru. Si bocah tidak
peduli, dia terus berlari. Di ujung jalan kecil dia berbelok ke kiri, ke arah
pusat simpang lima. Lin Munru agak kecewa karena mestinya si bocah berbelok ke
kanan, ke arah krematorium tua. Sebetulnya tadi Lin Munru berencana ke
krematorium sebab hari itu ada upacara kremasi di mana biasanya ada penyair
yang membacakan satu puisinya. Lin Munru suka melihat penyair membaca puisi.
Mereka tampak seperti binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya, seperti
sesuatu yang kelak retak sehingga dukanya abadi. Kadang-kadang Lin Munru juga melihat
mereka seperti melihat api bekerja membakar selembar celana. Itu sungguh
menyenangkan. Namun sayang, si bocah telah berbelok ke kiri dan urusan Lin
Munru dengan bocah itu belum selesai.

Baca Juga :  Teruntuk yang Paling, Namun Tidak Menjadi Saling

Sampai di ujung jalan si bocah
yang masih meraung-raung melintasi jalan, lalu dengan cepat menuju cabang jalan
yang mengarah ke barat. Di depan gedung bioskop yang sudah tak dipakai, dia
berhenti sebentar melihat beberapa anak sedang main judi. Lin Munro ikut
menyeberang dan kali itu tak ada kendaraan yang nyaris menabraknya. Karena
terlena melihat anak-anak main judi, si bocah nyaris terkejar Lin Munru. Namun,
dia segera sadar dan kembali meraung-raung sambil berlari ke cabang jalan yang
menuju barat. Di ujung jalan itu terhampar sebuah pantai. Lin Munru berhenti sebentar
di tempat si bocah tadi berhenti, bukan karena dia juga terlena oleh anak-anak
yang main judi, melainkan karena dia melihat burung si bocah yang tadi lepas
kini hinggap kembali di atap bangunan pertokoan di pojok jalan menuju selatan,
yakni jalan yang mengarah ke jembatan di mana mengalir sungai di bawahnya. Lin
Munru merasa burung itu seperti mengikutinya, atau mungkin mengikuti tuannya.

Lin Munru tiba-tiba merasa malas
melanjutkan pengejarannya. Kalau saja dia tidak benar-benar penasaran pada satu
hal dan jawaban dari rasa penasaran itu hanya mungkin didapat dari si bocah,
mungkin dia sudah berbalik arah menuju krematorium tua. Ketimbang rasa
penasarannya tak terjawab, Lin Munru memilih membuang rasa malasnya dan kembali
mengejar si bocah. Kali ini dia tak lagi berlari, melainkan berjalan
pelan-pelan sambil sesekali memperhatikan burung si bocah. Saat itu hampir
senja. Langit seperti kain yang luntur warnanya dan bentuk-bentuk awan
menyerupai kapas yang terburai dari bungkusnya. Jalan ke arah barat yang menuju
pantai itu adalah cabang jalan yang paling sepi di antara keempat cabang
lainnya. Sepanjang jalan itu berdiri rumah-rumah dan gudang-gudang tua sisa
peninggalan dari masa ketika pelabuhan kecil di pantai masih beroperasi dan
para pedagang berdatangan dari berbagai penjuru.

Lin Munru tahu si bocah pasti
menuju pantai sebab pantai adalah tempat yang paling suci untuk menangis. Dia
sendiri kadang-kadang pergi ke pantai, bukan untuk menangis, melainkan untuk
melihat orang-orang menangis. Pada waktu-waktu tertentu Lin Munru senang
melihat orang menangis. Sebab setiap melihat orang menangis, dia selalu
membayangkan orang itu adalah penyair. Tadi ketika melihat si bocah menangis,
sebetulnya Lin Munru sempat membayangkannya sebagai seorang penyair, tapi bayangan
itu buyar karena si bocah keburu lari.

Baca Juga :  Tangan yang Merawat

Sesampai di pantai senja
berangsur tua. Sebuah senja di pelabuhan kecil. Lin Munru melihat si bocah
duduk di pasir menghadap ke laut. Bocah itu kelihatan seperti baru saja dikutuk
ibunya hingga jadi batu. Orang-orang yang lalu-lalang tak memperhatikan. Dia
masih terisak-isak ketika Lin Munru duduk di sampingnya. Mereka tidak
berbicara. Pandangan mereka sama-sama terarah ke laut. Di mata Lin Munru
ombak-ombak bergerak seperti sekumpulan balerina, di mata si bocah
sampan-sampan di kejauhan seperti burung-burung yang lepas melayang. Setelah
beberapa lama Lin Munru kemudian menjulurkan tangannya, ”Nama saya Sri. Namamu
siapa?”

Si bocah menyambut juluran
tangannya, tapi tidak menjawab pertanyaannya. Lin Munru kembali berkata, ”Tadi
saya kejar kamu soalnya saya penasaran.”

Si bocah menoleh, ”Penasaran?”

”Iya, boleh saya bertanya?”

Si bocah mengangguk. “Tadi saya
dengar kamu berteriak-teriak sambil menyebut satu nama; Kiki. Kalau boleh tahu
itu namamu atau nama burungmu?”

Si bocah terkikik mendengar
pertanyaan itu. Roman mukanya jadi kelihatan ganjil. ”Nama saya Chairil.
Chairil Anwar,” jawabnya. ”Nama lengkapmu siapa?”

Lin Munru ikut terkikik, ”Ayati,”
jawabnya. ”Sri Ayati.”

Mereka berdua lalu terkikik
bersama-sama seakan-akan mereka adalah kawan yang sekian lama tak berjumpa.
Rasa penasaran Lin Munru juga menguap seketika. Dengan riang keduanya berlarian
di pantai, melompat-lompat, berkejaran, dan sesekali menghambur ke bibir laut.
Mereka menjerit-jerit ketika air berusaha menyeret mereka. ”Chairil!” seru Lin
Munru, ”Saya bohong,” lanjutnya. ”Nama saya bukan Sri.”

Chairil Anwar kembali terkikik
mendengar pengakuan itu, ”Saya tahu!” teriaknya. Setelah itu dia
menunjuk-nunjuk ke angkasa, ”Burung Kiki terbang!” serunya, lantas berlari
menjauh dari pantai. Lin Munru tak lagi memedulikan bocah itu. Dia menari-nari
sendirian meniru gerak seorang balerina. Dia terus menari-nari sampai kemudian
nyaris tertabrak seorang laki-laki yang jalan bergegas seakan-akan baru saja
mendapat ilham setelah beberapa lama menatap laut. Laki-laki itu sempat
mengumpat sembari terus bergegas. Kelak laki-laki itu akan menulis sebuah puisi
tentang cumi-cumi yang dibayangkannya seperti saputangan dan puisi itu dengan
segera membuatnya jadi penyair ternama. (*)

Kekalik, 11 Maret 2021

—

(KIKI SULISTYO. Lahir di Kota
Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di
Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017), dan Buku Puisi Terbaik Tempo
2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang
terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020))

Terpopuler

Artikel Terbaru