Oleh A. DJOYO MULYONO
—
Sudah tiga kali Sudung menutup telinganya dengan bantal, tapi ocehan ibunya masih saja memekakkan telinganya yang tebal. Barangkali uangnya yang selalu raib dibelanjakan buku-buku yang telah menumpuk di kamarnya yang busuk. Tapi ia tetap ngotot ingin terus baca buku lantaran ingin memenuhi hasratnya menjadi penulis kritis di desanya.
’’Makan saja tuh buku-bukumu itu,” kata Marini yang kesal ketika mendapati Sudung tengah mengambil nasi.
’’Baru makan sekali aja sewotnya sudah gak ketulungan, lagian Emak kok anti banget sama profesiku,” jawab Sudung sambil melanjutkan mengambil satu porsi nasi.
’’Profesi dari mana, ngasilin duit aja nggak,”
’’Mana buktinya? Giliran Emak butuh saja gak ada.”
’’Itu tulisanku kalau dimuat media kan dapat honor, Mak,” jawab Sudung mulai tak nafsu makan. ’’Lagi pula, tujuanku menulis tidak hanya itu!”
***
Dua minggu yang lalu, cerita itu kudapatkan dari Sudung –sengaja kutuliskan dengan gaya berceritaku agar lebih mudah dibaca. Katanya, ketika ia tak punya uang, ibunya malah meminjam uang lantaran terlilit dapur dan kebutuhan modal berjualan.
Di saat orang tuanya membutuhkan uang Sudung –yang katanya sudah berprofesi menjadi penulis itu, malah tak punya uang. Sekarang, konon ia habis didamprat lagi oleh ibunya.
”Pantas saja Emakmu marah, Dung.”
’’Meskipun begitu, tapi Emakku memang agak sentimen sama kerjaanku ini,” jelasnya kesal. ’’Kamu tahu sendiri, bukan?”
’’Memangnya, ke mana honor puisimu yang kemarin dimuat di Majalah Topeng itu?”
’’Ada lah, buat kebutuhanku, Jep.”
Dari gelagatnya, aku curiga dia limpahkan honornya untuk modal pacaran dengan Casmini di pasar malam alun-alun yang lagi ramai tiap menjelang bulan Mulud itu. Atau aku tidak bisa menuduhnya demikian. Bagaimanapun, dia seorang aktivis desa denganku, bedanya dia menulis, aku tidak. Bisa saja honor-honor puisinya yang dimuat di majalah telah dibelikan buku-buku kiri yang ada di pasar buku bekas di Jalan Panjunan, Cirebon Kota.
Macam buku tetralogi Buru-nya Pram –yang sampai sekarang ia belum punya buku fisiknya, atau buku kumpulan puisinya Wiji Thukul. Selama ia masih aktif menulis dan berapi-api mengkritik desa, kukira itu bukan tidak mungkin.
Karena ia sadar, untuk menjadi aktivis desa ia tidak hanya harus menulis, tapi juga membaca. Sebab, penulis menurut Sudung tak ubahnya sepucuk pistol yang diperlakukan untuk menembak; mesti ada pelurunya terlebih dulu. Ia tidak bisa hanya berbual sana-sini, tapi juga harus banyak pengetahuannya sebagai amunisi.
Dalam waktu tiga tahun –sejak ia lulus sekolah kejuruan di kampungnya, sudah menghasilkan banyak tulisan di beberapa media sastra dan majalah yang mau memuat puisi-puisi dan gagasan di kepalanya. Bahkan di tahun ini, ia baru saja menerbitkan buku kumpulan puisinya di salah satu penerbit indie di Bandung dengan swakelola.
Alih-alih lulus sekolah mencari kerja menjadi karyawan di Cikarang atau Jakarta –sebagaimana teman-teman seusianya, ia malah menjadi seniman tidak jelas di kampungnya.
Teman-teman seangkatannya telah banyak yang sukses. Ada yang sudah menjadi karyawan tetap di pabrik motor, ada yang sudah beli motor sendiri, bahkan ada yang berangkat ke Jepang atau Korea meskipun yang telah menikah juga tidak sedikit.
Di desa, ia hanya luntang-lantung mengurus taman baca tingkat kampung bersama teman-temannya –yang juga masih menganggur. Ia aktif berkegiatan membantu masyarakat dan kadang pula mengkritik kepala desa yang kurang tanggap dalam memberikan kebijakan terhadap masyarakat melalui puisi-puisinya yang (lumayan) ampuh itu untuk ukuran membisingkan telinga pemimpin di tingkat kampung.
Salah satu puisinya yang termaktub di buku itu juga telah memiliki sejarah karena telah dianggap subversif oleh kuwu Dulatip –kepala desa yang culas. Di era serba digitalisasi macam ini, kuwu Dulatip masih saja tidak transparan soal anggaran desa yang banyak dikeluarkan cuma-cuma untuk desanya.
Di Desa Jagapura, sejak dua periode masa jabatan Pak Dulatip ada kiranya wajah balai desa diganti gaya sebanyak tiga kali. Alasannya sepele; ’’Menghabiskan anggaran desa biar tidak repot bikin laporan kembali,” katanya sambil duduk di teras balai desa yang plafonnya sedang direnovasi.
***
Angin musim kemarau berembus dari arah timur, di mana sawah-sawah mereka berada. Di sebelah kiri rumahnya, Mang Daim sedang memutar kaset tarling yang sudah mengalun kering suaranya. Ia tak peduli apa pun yang terjadi, meski tetangga sampingnya ribut urusan barang hanya perkara beras di dapur kosong, yang jelas lagu tarling harus tandas satu kaset diputar.
’’Coba sana kamu kerja yang bener, cari duit, Dung!”
’’Kalau aku dapat duit juga bantu dikit-dikit, Mak, tapi sekarang lagi kosong.”
’’Kerja apa? Nulis lagi? Kalau gak nulis, malak di Pak Kuwu. Emak tidak pernah ngajarin kamu minta-minta, Nang.”
”Aku tidak malak, Mak!” jawab Sudung agak berat hati. ”Mereka sendiri yang ngasih buat membungkam Sudung.”
’’Ya sudah, kamu diam!”
”Kalau mereka salah perlu diluruskan, Mak.”
”Koplok! Kalau dibilangin orang tua jawab terus, orang mah kerja kaya yang lain, jangan kerjanya ganggu-ganggu kuwu terus yang sudah jelas dia sudah jadi orang sukses.”
”Justru karena mereka tidak becus ngurus desa, Mak, aku hanya ingin berusaha mengingatkan.”
Orang-orang telah banyak tahu kalau Sudung kerap berurusan bersama Pak Kuwu di balai desa. Sebagian ada yang paham betul duduk perkaranya kalau Sudung sebenarnya sedang membela keadilan untuk desanya, sayangnya perlawanan Sudung dianggap tidak tahu diri, tidak punya tata krama oleh sebab sebagian besar masyarakatnya yang tidak paham telah dibodohi oleh pemimpinnya.
”Dua periode sudah bikin apa aja kerjanya, hah?” tanya Sudung pada staf kantor kuwu Desa Jagapura.
”Sudah, Dung, sudah!” tepis linmas desa yang sudah rentan tak terbayar.
”Permasalahannya bukan itu saja, Pak, tapi untuk sekadar mengairi sawah di ladang dan membuat TPS sementara saja tidak bisa-bisa.”
Tuntutan keras itu berakhir setelah ada juragan dan babinsa yang membantu memisahkan Sudung. Sedang aku dan teman-teman lainnya hanya ikut meramaikan perjuangan Sudung di muka balai desa. Kita tidak lebih hanya ’’tim hore’’ bagi Sudung, kita tidak mampu sevokal itu.
Barangkali levelnya jauh berbeda, tapi tidak jarang kamilah justru yang selalu kritis, peka terhadap tindakan kuwu, sedang Sudung bagian eksekutor. Aku pikir itulah alasan satu-satunya kami masih layak dianggap teman seperjuangan bagi dirinya.
”Sekarang, kamu mau apa, Dung?” tanyaku saat dia kabur ke rumahku dari damparatan ibunya.
”Selagi ada tempat dan laptopku menyala, aku baik-baik saja, Jep.”
”Setidaknya kalau kamu dapat honor dari tulisan-tulisanmu, pakailah uangmu buat hal yang lebih berguna atau ditabung saja, Dung.”
”Aku sudah baca buku-bukunya, Pram, Bung Wiji, masa aku tidak melawan, Jep,” jawabnya kesal.
”Kamu tahu bukan, tidak hanya ngurus lingkungan yang amburadul, ibunya Darto kelaparan di rumah gubuknya saja tidak ada yang tahu. Kuwu macam apa dia, tidak tahu kondisi warganya.”
Belum sampai lima menit kami berhenti bincang berdiskusi, Bi Marini datang dengan tergopoh dan sesenggukan di ruang tamu rumahku. Konon katanya, kuwu Dulatip tidak memberikan bagian berasnya ketika ibunya Sudung mengambil bagian di RT masing-masing. Sudung naik pitam, mukanya kulihat merah padam.
Ia tak kuasa menahan semua hal yang telah didengarnya. Baginya ini sudah keterlaluan. Dari masyarakat telantar, kelaparan, dan sekarang menimpa ibunya yang namanya telah di-blacklist dari daftar penerima bagian beras sebagai warga desa. Kejahatan macam apa yang kuwu Dulatip sedang mainkan. Ia telah semena-mena kepada warganya. Aku pun tidak bakal diam.
Sudung mengengkol motornya bersamaku menuju rumah kuwu Dulatip. Dengan terik yang memanggang punggung, bukan hambatan dengan segala penderitaan yang kami panggul. Roda motor kami berkelok-kelok di jalan lorong yang amburadul. Hingga menjelang sore, kami telah sampai di rumah kuwu Dulatip.
Kulihat, Sudung sangat marah atas apa yang diterima bersama keluarganya. Mukanya masih merah padam, dadanya kembang kempis mengunjal napas setelah motor ditambatkan.
’’Keluar kamu, Wu!” teriak Sudung sambil mengacung-acungkan tangannya.
’’Kuwu macam apa kamu?! Jangan mentang-mentang aku ini wong mlarat, kamu seenaknya saja memanipulasi kebijakan. Kamu pikir aku tidak bisa jadi kuwu sepertimu. Kirik! Didiam-diamkan malah seenaknya sendiri kamu, Wu. Aku kirimi terus aksi dan kritikan saja masih bisa berlaku seperti ini, apalagi aku tidak bergerak sama sekali.”
’’Keluar kamu, Wu!”
’’Kamu pikir aku takut, sudah berapa banyak harta yang kamu ambil dari dana desa, hah? Sudah berapa jiwa warga yang kamu abaikan.”
’’Sudah, nyebut, Nang, nyebut,” seru seorang perempuan tetangga kuwu Dulatip.
Kejadian sore itu mulai ramai dipenuhi oleh tetangga kuwu Dulatip, aku sendiri agak takut sejujurnya. Bagaimana nanti kalau kita berdua dimassa oleh warga atas tuduhan melawan pejabat desa. Tapi, agaknya orang hanya menonton dan beberapa justru seperti mendukung karena sadar barangkali atas kebusukan pemimpinnya.
Aku sendiri tidak akan kabur dari keramaian itu, aku akan tetap mendampingi Sudung yang sedang bersuara. Aku pikir kita berdua tidak salah dan justru berhak atas tuntutan semua ini jika mereka masih sadar caranya memerintah.
Lalu, tak lama kemudian massa pun ramai kembali setelah mendapati Dulatip mulai keluar dari rumah, Sudung pun tak kurang-kurang memaki. Sayangnya –barangkali sebelumnya sudah dihubungi, Dulatip keluar setelah ada beberapa linmas dan babinsa di depan rumahnya sehingga Dulatip aman terlindungi.
Matahari semakin condong ke barat, kami pun digiring untuk berbicara baik-baik di rumah Dulatip dengan pengamanan yang ketat. Dan dengan banyak alasan, akhirnya kami berhasil meraih keadilan.
Sejak saat itu, orang-orang mulai ramai datang mengunjungi rumahku –khususnya– setiap kali ada Sudung. Sampai sudah beberapa bulan, perkumpulan kami semakin ramai dengan tidak hanya sekadar membahas literasi di desa, bahkan sudah membahas jalan keluar masalah yang ada di desa.
Bi Marini pun konon katanya sudah tidak terlalu banyak mulut pada Sudung, barangkali sebab dia merasa dibantu betul oleh anaknya untuk mendapatkan kembali haknya sebagai penerima beras dari pemerintah atau bukan, tapi yang jelas dia merasa bangga. Sebab Sudung, putranya, telah diusung menjadi calon kuwu Desa Jagapura. (*)
DJOYO MULYONO, Pengajar bahasa Indonesia. Menulis novel You X tentang peristiwa ’98.