27.3 C
Jakarta
Saturday, March 15, 2025

Tiga Gunung dan Kumparan Kenangan

Oleh: M. NAUFAL WALIYUDDIN

Kendati isinya beraneka, semangat tulisan IBS di buku esai-memoar ini mengandung anasir semangat yang relatif mirip: menyejarahkan orang-orang kecil beserta keajaiban hidup mereka.

MEMBACA buku Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung karya Iman Budhi Santosa (IBS) menginsafkan saya pada satu kesadaran bahwa manusia sejatinya adalah kumparan kenangan. Tanpa kenangan, manusia hanyalah gumpalan tubuh tanpa kisah. Raga yang kehilangan makna.

Kenangan sarat makna itu disodorkan IBS melalui pusparagam wujud. Sering kali, ia mencuplik berbagai momentum puitik dari pengalamannya yang sederhana.

Ada kenangan tentang air perasan mbako dipakai sebagai obat gigitan ular, aktivitas nyekar, mandi di sungai, memanjat kelapa, menyimak suara ontong (bunga pisang) yang baru tumbuh, mendatangi kuburan burung, memori membaca puisi di kelas 2 SMP, bledheg (petir) celeng, hingga pertengkaran dengan kepala perkebunan yang membuatnya minggat dari PNS dan geliat sastra di lereng Medini –embrio Komunitas Lereng Medini. Semua itu membuat pembaca jadi tersentuh oleh perjumpaan IBS dengan banyak hal, baik yang sehari-hari, yang istimewa, maupun tak lazim dan bernuansa magis.

Secara kronologis, buku terbitan Interlude –secara anumerta– ini terbagi ke dalam tiga babak penting. Pertama, masa kecil dan ingatan di Magetan (Gunung Lawu). Kedua, masa bekerja di kebun teh Medini (Gunung Prau-Ungaran). Ketiga, hamparan kisah sebagai pegawai di Boyolali, (Gunung Merbabu).

Kendati isinya beraneka, semangat tulisan IBS di buku esai-memoar ini mengandung anasir semangat yang relatif mirip: menyejarahkan orang-orang kecil beserta keajaiban hidup mereka. Ada alam batin yang nyaris muncul di setiap momen. Terkesan kalau IBS ingin mengangkat esoterisme sebagai pengalaman estetis.

Baca Juga :  Bunglon Ngaku Anjing Penjaga

Karena ditulis sebagai buah tangan seorang penyair, terasa selalu ada napas puisi di setiap ruas-ruas buku ini. Isinya merangkum hal-hal bersahaja, remeh, namun penuh makna. Dan ini tentu saja buah dari kedisiplinan yang dibangunnya sejak kecil lewat didikan Kakeknya yang mirip filsuf Socrates (suka bertanya).

IBS belajar ngelmu titen, yang baginya sangat penting, untuk menyerap pengetahuan dari habitus niteni (memperhatikan), membaca, dan mencermati sekaligus ”mencatat” –secara harfiah– aneka peristiwa yang dijumpainya dalam hidup sehari-hari (hal 29).

IBS seakan sedang merekognisi peran-peran orang-orang kecil, masyarakat biasa, dalam ruang keseharian. Ini tentu sebuah upaya yang tidak bisa dianggap remeh. Sebab, dalam khazanah ilmu sosial-budaya, ada arus bernama everyday turn yang sedang mengemuka. Dan saya rasa buku IBS turut memperkaya bidang itu dengan caranya sendiri.

David Chandler dalam artikelnya Resilience and the Everyday (2015) menyebutkan bahwa riset di alam keseharian, kita bisa menemukan anasir lokal bercampur dengan budaya global, serta resiliensi masyarakat biasa dapat terpotret dan direkognisi. Kajian semacam ini mengkritik kecenderungan riset yang hanya meneliti suara mayor, isu-isu besar dengan orang-orang elite. Kecenderungan yang gagal memotret realitas dari hari ke hari yang dijalani tekun oleh orang-orang biasa.

Dengan begitu, kehadiran buku IBS ini penting karena ia memotret keseharian orang Jawa dari tahun ke tahun. Pun di ruang keseharianlah interaksi sosial berlangsung, kultur bergulir, ritus agama berjalan, roda ekonomi dan mikropolitik berputar, serta alam emosional saling berdinamika secara intersubjektif. Bahkan, di ruang sehari-hari, yang spiritual juga mewujud dalam banyak wajah.

Baca Juga :  Wanita dan Pria: Ketika Cinta, tapi Berbeda Bahasa

Di tengah Indonesia yang semakin mendung, gelap, buku ini menawarkan refleksi khusyuk. IBS mengajak kita merasuki hening, menuju rimba permenungan hidup –tepat di zaman ketika makna semakin sulit dicari.

Melalui buku memoar ini, kita bisa mengenal Jawa dari dekat, lengkap dengan kisah-kisah magis dan perjuangan orang-orang kecil. Namun, tentu bukan Jawa ala masa kerajaan, yang sarat langgam nostalgik, klangenan, superioritas semu, dan kebanggaan yang tak berdampak; melainkan Jawa yang sehari-hari, yang rekoso namun mampu bertahan, yang ditindih namun tetap sanggup berdiri.

Di bulan Maret ini, bulan kelahiran IBS, buku ini penting untuk sampai ke mereka yang berjiwa seorang pencari. Dan buku ini adalah kesaksian dari mata seorang penyair. Ia sanggup menjadi penyejuk di tengah gersangnya kemajuan dan ingar-bingar AI yang serba latah.

Bahwa sekarang jagat batin manusia tengah memekik sunyi, menjerit dalam kebisuan. Ada kerinduan purba yang akan Anda temukan, juga kenangan dan harapan senyap yang kembali bangkit, lewat perjalanan hidup IBS di buku ini sebagai seorang manusia puisi. (*)

Judul : Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung

Penulis : Iman Budhi Santosa

Penerbit : Penerbit Interlude Jogjakarta

Tahun : Cetakan I, Januari 2025

Tebal : xii + 276 halaman

ISBN : 978-623-8275-63-2

Oleh: M. NAUFAL WALIYUDDIN

Kendati isinya beraneka, semangat tulisan IBS di buku esai-memoar ini mengandung anasir semangat yang relatif mirip: menyejarahkan orang-orang kecil beserta keajaiban hidup mereka.

MEMBACA buku Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung karya Iman Budhi Santosa (IBS) menginsafkan saya pada satu kesadaran bahwa manusia sejatinya adalah kumparan kenangan. Tanpa kenangan, manusia hanyalah gumpalan tubuh tanpa kisah. Raga yang kehilangan makna.

Kenangan sarat makna itu disodorkan IBS melalui pusparagam wujud. Sering kali, ia mencuplik berbagai momentum puitik dari pengalamannya yang sederhana.

Ada kenangan tentang air perasan mbako dipakai sebagai obat gigitan ular, aktivitas nyekar, mandi di sungai, memanjat kelapa, menyimak suara ontong (bunga pisang) yang baru tumbuh, mendatangi kuburan burung, memori membaca puisi di kelas 2 SMP, bledheg (petir) celeng, hingga pertengkaran dengan kepala perkebunan yang membuatnya minggat dari PNS dan geliat sastra di lereng Medini –embrio Komunitas Lereng Medini. Semua itu membuat pembaca jadi tersentuh oleh perjumpaan IBS dengan banyak hal, baik yang sehari-hari, yang istimewa, maupun tak lazim dan bernuansa magis.

Secara kronologis, buku terbitan Interlude –secara anumerta– ini terbagi ke dalam tiga babak penting. Pertama, masa kecil dan ingatan di Magetan (Gunung Lawu). Kedua, masa bekerja di kebun teh Medini (Gunung Prau-Ungaran). Ketiga, hamparan kisah sebagai pegawai di Boyolali, (Gunung Merbabu).

Kendati isinya beraneka, semangat tulisan IBS di buku esai-memoar ini mengandung anasir semangat yang relatif mirip: menyejarahkan orang-orang kecil beserta keajaiban hidup mereka. Ada alam batin yang nyaris muncul di setiap momen. Terkesan kalau IBS ingin mengangkat esoterisme sebagai pengalaman estetis.

Baca Juga :  Bunglon Ngaku Anjing Penjaga

Karena ditulis sebagai buah tangan seorang penyair, terasa selalu ada napas puisi di setiap ruas-ruas buku ini. Isinya merangkum hal-hal bersahaja, remeh, namun penuh makna. Dan ini tentu saja buah dari kedisiplinan yang dibangunnya sejak kecil lewat didikan Kakeknya yang mirip filsuf Socrates (suka bertanya).

IBS belajar ngelmu titen, yang baginya sangat penting, untuk menyerap pengetahuan dari habitus niteni (memperhatikan), membaca, dan mencermati sekaligus ”mencatat” –secara harfiah– aneka peristiwa yang dijumpainya dalam hidup sehari-hari (hal 29).

IBS seakan sedang merekognisi peran-peran orang-orang kecil, masyarakat biasa, dalam ruang keseharian. Ini tentu sebuah upaya yang tidak bisa dianggap remeh. Sebab, dalam khazanah ilmu sosial-budaya, ada arus bernama everyday turn yang sedang mengemuka. Dan saya rasa buku IBS turut memperkaya bidang itu dengan caranya sendiri.

David Chandler dalam artikelnya Resilience and the Everyday (2015) menyebutkan bahwa riset di alam keseharian, kita bisa menemukan anasir lokal bercampur dengan budaya global, serta resiliensi masyarakat biasa dapat terpotret dan direkognisi. Kajian semacam ini mengkritik kecenderungan riset yang hanya meneliti suara mayor, isu-isu besar dengan orang-orang elite. Kecenderungan yang gagal memotret realitas dari hari ke hari yang dijalani tekun oleh orang-orang biasa.

Dengan begitu, kehadiran buku IBS ini penting karena ia memotret keseharian orang Jawa dari tahun ke tahun. Pun di ruang keseharianlah interaksi sosial berlangsung, kultur bergulir, ritus agama berjalan, roda ekonomi dan mikropolitik berputar, serta alam emosional saling berdinamika secara intersubjektif. Bahkan, di ruang sehari-hari, yang spiritual juga mewujud dalam banyak wajah.

Baca Juga :  Wanita dan Pria: Ketika Cinta, tapi Berbeda Bahasa

Di tengah Indonesia yang semakin mendung, gelap, buku ini menawarkan refleksi khusyuk. IBS mengajak kita merasuki hening, menuju rimba permenungan hidup –tepat di zaman ketika makna semakin sulit dicari.

Melalui buku memoar ini, kita bisa mengenal Jawa dari dekat, lengkap dengan kisah-kisah magis dan perjuangan orang-orang kecil. Namun, tentu bukan Jawa ala masa kerajaan, yang sarat langgam nostalgik, klangenan, superioritas semu, dan kebanggaan yang tak berdampak; melainkan Jawa yang sehari-hari, yang rekoso namun mampu bertahan, yang ditindih namun tetap sanggup berdiri.

Di bulan Maret ini, bulan kelahiran IBS, buku ini penting untuk sampai ke mereka yang berjiwa seorang pencari. Dan buku ini adalah kesaksian dari mata seorang penyair. Ia sanggup menjadi penyejuk di tengah gersangnya kemajuan dan ingar-bingar AI yang serba latah.

Bahwa sekarang jagat batin manusia tengah memekik sunyi, menjerit dalam kebisuan. Ada kerinduan purba yang akan Anda temukan, juga kenangan dan harapan senyap yang kembali bangkit, lewat perjalanan hidup IBS di buku ini sebagai seorang manusia puisi. (*)

Judul : Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung

Penulis : Iman Budhi Santosa

Penerbit : Penerbit Interlude Jogjakarta

Tahun : Cetakan I, Januari 2025

Tebal : xii + 276 halaman

ISBN : 978-623-8275-63-2

Terpopuler

Artikel Terbaru