28.5 C
Jakarta
Tuesday, April 8, 2025

Narsisisme Politik Kekuasaan

DI masa pemilu ini, berbagai macam foto dan baliho kampanye para politikus menyerbu ruang publik. Semua muncul dalam volume dan kuantitas yang superlatif. Tidak hanya di sepanjang jalan protokol dan perkampungan, di kongres atau rapat politik, tapi juga saat peringatan hari besar nasional dan agama hingga area pengungsian korban bencana.

Semua berusaha memunculkan kesan yang sama dengan menggunakan jargon persuasif dan mengedepankan citra.

Saat ini kita hidup di suatu era di mana kultur visual menjadi kebutuhan setiap orang. Keberadaannya dianggap paling mampu menjelaskan berbagai peristiwa tentang eksistensi seseorang, salah satunya lewat foto. Foto dapat digunakan untuk mengonstruksi atau mendeskripsikan identitas individu maupun kelompok sosial.

Seseorang dapat dilihat sebagai anggota sebuah kelompok sosial dari apa yang terlihat di foto. Kamera memosisikan setiap individu dalam kode relasi sosial. Sebab, secara anatomi sosial, individu merupakan anggota kelompok sosial tertentu.

Individu dipandang sebagai sosok yang representatif (dari kelompok, profesi, kelas sosial) dan tokoh-tokoh yang ”tetap” di tengah serangkaian kode-kode sosial yang kompleks (Nurochim, 2006).

Narsis

Kita berada di zaman narsisisme yang mensyaratkan kecintaan pada diri sendiri. Sam Vaknin (2006) menyebut konsep narsisisme lebih mencintai bayangan diri sendiri. Meski normal dan sehat, yang terjadi pada seseorang yang narsis adalah ia mencintai citra diri yang ditangkap oleh orang lain. Orang yang jatuh cinta pada bayangan tidak mampu mencintai sesamanya, juga dirinya sendiri.

Ia bersikap arogan, tapi di balik sikap itu, ia justru mengalami krisis percaya diri. Untuk terus eksis, seorang narsis tergantung pada narcissistic supply, yaitu pandangan orang-orang di sekitarnya yang menampilkan ilusi bahwa ia seseorang yang penting, unik, dan istimewa.

Dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (2006), pengidap narsis biasanya merasa dirinya sangat penting dan ingin sekali dikenal orang lain karena kelebihannya, sangat yakin dengan keistimewaan dan keunikan dirinya sendiri, serta selalu ingin dipuji dan diperhatikan. Karena yang dipikirkan hanya diri sendiri, mereka kurang sensitif terhadap orang lain.

Baca Juga :  Energi Hijau Bagi IKN

Tampilan para politikus ini berpijak pada misi utama untuk menonjolkan citra diri seorang tokoh serta penjejalan sosoknya ke dalam memori masyarakat luas. Mereka itu politisi yang merasa bahwa kerap kali kualitas tampang seorang tokoh jauh lebih menentukan kemenangannya ketimbang kualitas faktor-faktor lainnya.

Melampaui Realitas

Pola komunikasi politik yang dibangun lewat baliho-baliho itu sangat jelas menggambarkan dunia politik yang masih belum beranjak dari mekanisme personal. Dalam konteks ini, citra pribadi seorang tokoh lebih dipentingkan ketimbang visi dan programnya.

Keharusan ini menimbulkan ulah artifisial agar ada estetisasi dan pembentukan makna dalam citra dirinya. Padahal, karena serba berlebihan, citra yang terbentuk jauh melampaui realitas sebenarnya.

Seturut Goenawan Mohamad (2019), citra yang kemudian hadir dalam foto di baliho itu sebenarnya hanya memperpanjang umur sebuah ilusi. Dalam foto, kamera seakan merekam ”kenyataan” dan bukan ”realitas”.

Kita menganggapnya sebagai potret diri. Padahal, kita, dengan memilih angle dan cahaya dan pilihan saat yang baik, sebenarnya hendak mengubah ”kenyataan”. Atau bahkan membuat kenyataan baru.

Ulah artifisial itu tampak dalam mimik muka yang tersenyum, pose dan gestur tubuh, pengenaan kostum dengan segala aksesorinya, hingga penataan latar belakangnya. Sekian faktor itu digarap dengan antusias meski menelan dana besar. Hasrat untuk bisa memperoleh gambar menarik dan pantas dipasang di tepi jalan atau tempat umum lainnya.

Lebih lanjut dikatakan, berfoto di sini bukan sekadar mereproduksi kenyataan, tapi juga membikin metamorfosis karena yang kita kehendaki bukan diri kita, yang kita kehendaki ”representasi” atau ”wakil” diri. Kita tak lagi sekadar ”ada”, tapi ”punya”, dan kemudian ”tampil”.

Baca Juga :  Anies Baswedan Sambut Baik Rencana PP Muhammadiyah Gelar Uji Publik Bacapres

Tampil dengan wajah yang diatur, wajah yang diformat, karena seperti lazimnya, identitas dikemas dari kekurangan. Foto diri menjadi pertaruhan martabat dan kualitas diri yang sarat dengan pamrih politisasi dan hasrat profan.Narsisisme Politik Kekuasaan

Dan kini, penghadiran baliho foto diri hadir dalam berbagai aspek kehidupan serta tidak mengenal ruang dan waktu. Para politikus tiba-tiba hadir untuk menciptakan kesan menjadi bagian sesuatu yang telah dicapai atau sesuatu yang akan diciptakan. Semua itu demi penciptaan visual yang artifisial demi pamrih diri dan banalitas citra politis yang nirmakna.

Kinerja

Barangkali politisi memang harus narsis dan harus eksis menggunakan segala momentum politik. Tapi, strategi komunikasi visual semacam itu seharusnya juga menjalin komunikasi dua arah (reciprocal communication) dan public relations.

Hal ini untuk menampung feedback dari publik dan untuk membangun hubungan dengan konstituen dengan cara memperlihatkan perhatian atau menunjukkan kinerja nyata dengan kebijakan dan kerja politik yang nyata.

Jika semangat narsisisme masih menyelimuti sanubari politisi, hal itu mengindikasikan masih belum matangnya perilaku politik bangsa kita. Dengannya, masih jauh langkah untuk membangun sistem politik yang demokratis dan terstruktur.

Semua ornamen kampanye itu hanya mencerminkan semiotika yang miskin kreativitas, instan, bahkan menjadi sampah visual yang membuat tata ruang kota penuh dengan teror okuler.

Pemilu pun tidak akan mampu menghasilkan wakil rakyat yang mumpuni. Maka, kekhawatiran bahwa lembaga legislatif tidak akan pernah serius memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyat seperti kampanyenya bukanlah sebuah fatamorgana.

Rakyat membutuhkan wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang senantiasa mengedepankan komitmen dan loyalitas pada kepentingan rakyat. Bukan wakil rakyat atau pemimpin bangsa karbitan dan instan, berpikiran pragmatis, serta suka bersolek atawa narsis! (*)

*) Purnawan Andra, among Budaya Ahli Pertama pada Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek

 

DI masa pemilu ini, berbagai macam foto dan baliho kampanye para politikus menyerbu ruang publik. Semua muncul dalam volume dan kuantitas yang superlatif. Tidak hanya di sepanjang jalan protokol dan perkampungan, di kongres atau rapat politik, tapi juga saat peringatan hari besar nasional dan agama hingga area pengungsian korban bencana.

Semua berusaha memunculkan kesan yang sama dengan menggunakan jargon persuasif dan mengedepankan citra.

Saat ini kita hidup di suatu era di mana kultur visual menjadi kebutuhan setiap orang. Keberadaannya dianggap paling mampu menjelaskan berbagai peristiwa tentang eksistensi seseorang, salah satunya lewat foto. Foto dapat digunakan untuk mengonstruksi atau mendeskripsikan identitas individu maupun kelompok sosial.

Seseorang dapat dilihat sebagai anggota sebuah kelompok sosial dari apa yang terlihat di foto. Kamera memosisikan setiap individu dalam kode relasi sosial. Sebab, secara anatomi sosial, individu merupakan anggota kelompok sosial tertentu.

Individu dipandang sebagai sosok yang representatif (dari kelompok, profesi, kelas sosial) dan tokoh-tokoh yang ”tetap” di tengah serangkaian kode-kode sosial yang kompleks (Nurochim, 2006).

Narsis

Kita berada di zaman narsisisme yang mensyaratkan kecintaan pada diri sendiri. Sam Vaknin (2006) menyebut konsep narsisisme lebih mencintai bayangan diri sendiri. Meski normal dan sehat, yang terjadi pada seseorang yang narsis adalah ia mencintai citra diri yang ditangkap oleh orang lain. Orang yang jatuh cinta pada bayangan tidak mampu mencintai sesamanya, juga dirinya sendiri.

Ia bersikap arogan, tapi di balik sikap itu, ia justru mengalami krisis percaya diri. Untuk terus eksis, seorang narsis tergantung pada narcissistic supply, yaitu pandangan orang-orang di sekitarnya yang menampilkan ilusi bahwa ia seseorang yang penting, unik, dan istimewa.

Dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (2006), pengidap narsis biasanya merasa dirinya sangat penting dan ingin sekali dikenal orang lain karena kelebihannya, sangat yakin dengan keistimewaan dan keunikan dirinya sendiri, serta selalu ingin dipuji dan diperhatikan. Karena yang dipikirkan hanya diri sendiri, mereka kurang sensitif terhadap orang lain.

Baca Juga :  Energi Hijau Bagi IKN

Tampilan para politikus ini berpijak pada misi utama untuk menonjolkan citra diri seorang tokoh serta penjejalan sosoknya ke dalam memori masyarakat luas. Mereka itu politisi yang merasa bahwa kerap kali kualitas tampang seorang tokoh jauh lebih menentukan kemenangannya ketimbang kualitas faktor-faktor lainnya.

Melampaui Realitas

Pola komunikasi politik yang dibangun lewat baliho-baliho itu sangat jelas menggambarkan dunia politik yang masih belum beranjak dari mekanisme personal. Dalam konteks ini, citra pribadi seorang tokoh lebih dipentingkan ketimbang visi dan programnya.

Keharusan ini menimbulkan ulah artifisial agar ada estetisasi dan pembentukan makna dalam citra dirinya. Padahal, karena serba berlebihan, citra yang terbentuk jauh melampaui realitas sebenarnya.

Seturut Goenawan Mohamad (2019), citra yang kemudian hadir dalam foto di baliho itu sebenarnya hanya memperpanjang umur sebuah ilusi. Dalam foto, kamera seakan merekam ”kenyataan” dan bukan ”realitas”.

Kita menganggapnya sebagai potret diri. Padahal, kita, dengan memilih angle dan cahaya dan pilihan saat yang baik, sebenarnya hendak mengubah ”kenyataan”. Atau bahkan membuat kenyataan baru.

Ulah artifisial itu tampak dalam mimik muka yang tersenyum, pose dan gestur tubuh, pengenaan kostum dengan segala aksesorinya, hingga penataan latar belakangnya. Sekian faktor itu digarap dengan antusias meski menelan dana besar. Hasrat untuk bisa memperoleh gambar menarik dan pantas dipasang di tepi jalan atau tempat umum lainnya.

Lebih lanjut dikatakan, berfoto di sini bukan sekadar mereproduksi kenyataan, tapi juga membikin metamorfosis karena yang kita kehendaki bukan diri kita, yang kita kehendaki ”representasi” atau ”wakil” diri. Kita tak lagi sekadar ”ada”, tapi ”punya”, dan kemudian ”tampil”.

Baca Juga :  Anies Baswedan Sambut Baik Rencana PP Muhammadiyah Gelar Uji Publik Bacapres

Tampil dengan wajah yang diatur, wajah yang diformat, karena seperti lazimnya, identitas dikemas dari kekurangan. Foto diri menjadi pertaruhan martabat dan kualitas diri yang sarat dengan pamrih politisasi dan hasrat profan.Narsisisme Politik Kekuasaan

Dan kini, penghadiran baliho foto diri hadir dalam berbagai aspek kehidupan serta tidak mengenal ruang dan waktu. Para politikus tiba-tiba hadir untuk menciptakan kesan menjadi bagian sesuatu yang telah dicapai atau sesuatu yang akan diciptakan. Semua itu demi penciptaan visual yang artifisial demi pamrih diri dan banalitas citra politis yang nirmakna.

Kinerja

Barangkali politisi memang harus narsis dan harus eksis menggunakan segala momentum politik. Tapi, strategi komunikasi visual semacam itu seharusnya juga menjalin komunikasi dua arah (reciprocal communication) dan public relations.

Hal ini untuk menampung feedback dari publik dan untuk membangun hubungan dengan konstituen dengan cara memperlihatkan perhatian atau menunjukkan kinerja nyata dengan kebijakan dan kerja politik yang nyata.

Jika semangat narsisisme masih menyelimuti sanubari politisi, hal itu mengindikasikan masih belum matangnya perilaku politik bangsa kita. Dengannya, masih jauh langkah untuk membangun sistem politik yang demokratis dan terstruktur.

Semua ornamen kampanye itu hanya mencerminkan semiotika yang miskin kreativitas, instan, bahkan menjadi sampah visual yang membuat tata ruang kota penuh dengan teror okuler.

Pemilu pun tidak akan mampu menghasilkan wakil rakyat yang mumpuni. Maka, kekhawatiran bahwa lembaga legislatif tidak akan pernah serius memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyat seperti kampanyenya bukanlah sebuah fatamorgana.

Rakyat membutuhkan wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang senantiasa mengedepankan komitmen dan loyalitas pada kepentingan rakyat. Bukan wakil rakyat atau pemimpin bangsa karbitan dan instan, berpikiran pragmatis, serta suka bersolek atawa narsis! (*)

*) Purnawan Andra, among Budaya Ahli Pertama pada Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek

 

Terpopuler

Artikel Terbaru