Site icon Prokalteng

Tiongkok dalam Konflik Israel-Hamas

Ratih Mayasari

KONFLIK Israel-Hamas Palestina yang bermula pada 7 Oktober 2023 kian memanas. Jumlah korban dilaporkan terus meningkat di kedua pihak dengan korban jiwa terbanyak di Gaza yang disebut telah lebih dari 20 ribu orang tewas (Pramana, 2023).

Pembicaraan mengenai konflik tak berujung Israel-Hamas selalu tidak pernah lepas dari peran Amerika Serikat (AS), yang kerap mendukung Israel sejak dulu hingga sekarang. Namun, akhir-akhir ini, muncul Tiongkok, yang mulai ikut terlibat aktif dalam penanganan konflik Israel-Hamas.

Tiongkok mulai terlihat cukup gencar menempatkan diri dalam keriuhan konflik Israel-Hamas. Bagaimana dan seperti apakah motif Tiongkok sesungguhnya? Untuk memahami posisi Tiongkok dalam konflik Israel-Hamas, dapat dimulai dari penelusuran mengenai budaya Tiongkok dalam filsafat kuno Tiongkok yang cukup terkenal, yaitu Tianxia.

Positioning Tiongkok dalam Dunia Internasional

Dalam beberapa kesempatan, Tiongkok tampil menyerukan sikap dan posisinya atas konflik Israel-Hamas Palestina yang aktif mengadvokasi untuk melakukan gencatan senjata dan mengajukan gagasan solusi dua negara bagi kemerdekaan Palestina.

Hal tersebut disampaikan oleh Tiongkok dalam berbagai forum internasional seperti dalam Sidang Keamanan PBB; pertemuan forum Brasil, Rusia, India, China (Tiongkok), dan South Africa (BRICS); pertemuan dengan delegasi dari negara-negara Arab dan mayoritas muslim; hingga dalam pertemuan khusus antara Xi Jinping (Tiongkok) dan Vladimir Putin (Rusia).

Tiongkok bahkan menguraikan secara lengkap posisi resmi Tiongkok tersebut dalam laman Kementerian Luar Negeri Tiongkok dengan judul ”Position Paper of the People’s Republic of China on Resolving the Palestinian-Israeli Conflict” (mfa.gov.cn, 2023).

Filsafat Tianxia

Tianxia merupakan filsafat kuno Tiongkok mengenai tata pemerintahan atau gubernasi, yang diklaim telah berusia 3.000 tahun dan makin mengemuka sejak pidato Xi Jinping dalam Kongres Nasional Ke-19 Partai Komunis China (H. Raditio, 2021). Tianxia berasal dari kata tian atau langit yang dimaksudkan sebagai suatu eksistensi menyeluruh/holistis.

Sehingga kata tianxia dapat diartikan sebagai ”segala yang ada di bawah langit”, yang juga merupakan suatu eksistensi holistis (Zhao, 2016). Tianxia memiliki enam unsur, yaitu voluntary, saling menguntungkan, tributary/hierarkis, keterbukaan/inklusif, konektivitas, sino-centric, relasional, dan kedaulatan relatif.

Secara keseluruhan pokok filsafat Tianxia menempatkan diri bertentangan dengan segala bentuk imperialisme. Karena Tianxia mengandaikan keseluruhan dunia sebagai unit berpikir dalam membahas dan menganalisis berbagai persoalan. Tujuannya agar dapat menciptakan tatanan politik yang lebih selaras dalam sebuah tatanan bersama (order of coexistence).

Jika mengacu pada spirit yang dikandung oleh filsafat Tianxia, posisi Tiongkok dalam konflik Israel-Hamas dapat dipahami sebagai posisi penengah. Yakni tidak mendukung kemenangan yang satu di atas yang lainnya. Hal itu sebenarnya sudah tecermin dalam berbagai gagasan Tiongkok di forum-forum internasional mengenai solusi dua negara bagi Israel dan Palestina, win-win solution.

Lebih lanjut, Tiongkok juga memiliki ambisi pribadi untuk ikut serta dalam kancah kepemimpinan global. Tiongkok mengembangkan ide dasar Tianxia ke dalam kebijakan luar negeri Tiongkok yang disebut dengan A Global Community of Shared Future atau Komunitas Masa Depan Bersama untuk Umat Manusia (KMDBUM).

KMDBUM dimaksudkan untuk menampilkan Tiongkok sebagai kekuatan yang berhak menentukan masa depan dunia dengan modal kekayaan filosofis dan moral yang dimiliki peradaban Tiongkok (H. Raditio, 2022).

Sehingga dengan demikian peran aktif dan posisi Tiongkok dapat dimaknai sebagai ”sambil menyelam minum air”. Yaitu ikut serta dalam advokasi penanganan konflik Israel-Hamas sekaligus menancapkan eksistensi diri dalam kepemimpinan tata dunia global.

Refleksi

Apakah peran Tiongkok dalam konflik Israel-Hamas Palestina tersebut efektif? Di satu sisi, Tiongkok terlihat sangat menggebu melibatkan diri dalam dunia internasional agar dapat menunjukkan pengaruh positif dalam penghentian konflik. Tentu saja harapan tersebut dapat disematkan kepada Tiongkok, mengingat Tiongkok pernah berhasil menjadi juru damai atas konflik Iran dan Arab Saudi pada Maret 2023.

Namun, di sisi lain, pengaruh Tiongkok terhadap Israel tampak kurang efektif. Padahal, Israel merupakan faktor kunci dalam penghentian konflik, mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki Israel jika dibandingkan dengan Hamas. Berdasar sejarah panjang Israel, hanya AS yang secara konsisten menjadi pendukung dan sekutu Israel. Dan oleh karenanya AS tentu saja lebih disegani oleh Israel daripada Tiongkok.

Sementara itu, Tiongkok dan AS terlihat sangat sulit untuk dapat berkolaborasi dalam menangani konflik Israel-Hamas karena keduanya semakin hari justru juga semakin menunjukkan ego masing-masing dalam memosisikan diri sebagai pemimpin global.

Sungguh disayangkan jika manifestasi dari nilai-nilai mulia yang dikandung oleh filsafat Tianxia akhirnya tidak dapat dimanifestasikan dalam bentuk nyata penanganan konflik Israel-Hamas. Padahal, dukungan Tianxia atas penolakan segala bentuk imperialisme merupakan warisan nilai luhur yang mengajarkan prinsip moral sesungguhnya bagi perdamaian dunia. (*)

*) RATIH MAYASARI, Mahasiswa Pascasarjana Filsafat STF Driyarkara

Exit mobile version