MEDIA cetak dan sosial kembali disuguhi berita kekerasan pada anak di sekolah. Korbannya adalah seorang siswi kelas dua SDN di Gresik. Kekerasan yang dialami gadis kecil itu sangat miris bagi setiap orang tua. Dan, tentu menjadi pelajaran berharga dalam memahami perilaku anak.
Pasalnya, mata kanan gadis kecil itu dicolok dengan tusuk bakso oleh kakak kelasnya, yang ditengarai juga satu sekolah akibat pemalakan. Kejadian yang berlangsung pada awal Agustus 2023 tersebut memang tidak segera diberitakan di media.
Kasus bullying atau perundungan yang berbuntut pada kekerasan memang masih terjadi di sekolah-sekolah. Baik SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, maupun keluarga. Hal ini penting menjadi perhatian bersama, khususnya pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam dunia pendidikan, keluarga, dan masyarakat.
Berdasar data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang tercatat sejak 1 Januari 2023 hingga saat ini (https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan), terdapat 19.186 kasus kekerasan. Dari data tersebut, sebanyak 88,5% (16.972 kasus) korbannya adalah perempuan.
Usia korban kekerasan pada perempuan tertinggi berada pada rentang usia 13โ17 tahun (35%); 6โ12 tahun (20,2%); 25โ44 tahun (22%); 18โ24 tahun (11,4%); 0โ5 tahun (7%), dan sisanya kekerasan pada perempuan di atas usia 45 tahun. Melihat data tersebut, kekerasan pada anak usia 6โ12 tahun berada di urutan terbanyak kedua setelah usia remaja.
Selanjutnya, jika dilihat dari tingkat pendidikan korban kekerasan perempuan berturut-turut berada pada jenjang pendidikan SLTA (31,5%); SMP (25,5%); SD (22,7%), dan PT (8,3%). Selebihnya adalah para perempuan yang tidak atau belum pernah bersekolah dan berada di jenjang TK/PAUD.
Dengan kata lain, para korban kekerasan perempuan 88% mereka berpendidikan dan perjalanan kehidupan untuk masa depan masih panjang. Data PPPA menampilkan jumlah kasus kekerasan berdasar tempat kejadian. Terbanyak tempat kejadian dalam rumah tangga, lainnya (tidak disebutkan secara rinci), fasilitas umum dan sekolah (1.899 kasus). Sekolah masih menjadi tempat yang tidak aman bagi siswa atau warga sekolah.
Menyikapi peristiwa perundungan dan kekerasan pada siswa SD kelas dua sebagai contoh di atas dan warga sekolah umumnya, pemerintah sebenarnya telah membuat kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
UU tersebut merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 9 ayat (1a) menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan pendidik, tenaga pendidik, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.
Demikian juga dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Untuk itu, sekolah dan lingkungan pendidikan penting melakukan sosialisasi dan merumuskan kebijakan tersebut agar dipahami dan menjadi pedoman dalam berperilaku bagi seluruh warga sekolah.
Sekolah Ramah Anak
Sebuah model pendidikan sebagai komitmen negara guna menjamin pemenuhan hak pendidikan anak telah dikonsepkan untuk diselenggarakan di sekolah-sekolah, yakni Sekolah Ramah Anak (SRA). Konsep itu bersumber dari Pasal 28 ayat (1) UUD Tahun 1945, โโSetiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, berhak mendapat pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya serta demi kesejahteraan umat manusiaโโ.
Juga Pasal 28b ayat (2), bahwa โโSetiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasiโโ.
Selanjutnya diatur pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan perbaikannya, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 54 ayat (1). Dengan demikian, upaya perlindungan anak telah mendapat perhatian serius dari negara. Hanya saja, pemantauan dan evaluasi di setiap lembaga pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal, belum dilakukan secara maksimal.
Sekolah Ramah Anak merupakan satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal yang mampu memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi anak. Termasuk mekanisme pengaduan untuk penanganan kasus di satuan pendidikan. Prinsip SRA berpusat pada anak dengan mengedepankan kepentingan terbaik anak, nondiskriminasi, adanya partisipasi anak, keberlangsungan hidup anak yang terjamin hak-haknya, dan pengelolaan yang baik.
Adapun konsep penting dalam penyelenggaraan SRA adalah perubahan paradigma dari (a) pengajar menjadi pembimbing, orang tua, dan sahabat yang baik; (b) adanya keteladanan; (c) perlindungan penuh pada anak; (d) orang tua dan anak terlibat aktif dalam mendukung SRA.
Untuk itu, dalam penyelenggaraan SAR dapat sinergisitas antara sekolah dan orang tua. Hal ini dimaksudkan untuk (a) terciptanya kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan; (b) terhindarnya warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan; dan (c) menumbuhkan kehidupan pergaulan yang harmonis dan kebersamaan antarpeserta didik atau antara peserta didik dengan pendidik, tenaga kependidikan, dan orang tua.
Untuk itu, sekolah bertanggung jawab pada anak saat di sekolah dan orang tua turut mendukung kebijakan sekolah dalam proses pembelajaran dan pendidikan.
Sebagai simpulan, dengan memperhatikan pemenuhan hak-hak hidup dasar anak, maka perilaku, tindakan, sikap, dan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian pada anak tidak akan terjadi. Anak-anak Indonesia akan terbebas dari perundungan, kekerasan fisik dan seksual, pencabulan, pemerkosaan, perkelahian, diskriminasi, dan yang lain.
Sebaliknya, perhatian, sikap keteladanan orang tua dan orang dewasa, serta penyelenggaraan Sekolah Ramah Anak akan membentuk jiwa dan raga anak menjadi sehat, kuat, bersemangat, berakhlak mulia, jujur, bertanggung jawab, cerdas, kreatif, mandiri, toleransi, kreatif, dan inovatif. Sekolah tak lagi menjadi tempat yang menakutkan dan membebani bagi anak. (*)
*), Kepala Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang dan dosen pendidikan bahasa Indonesia