Sistem Pilkada 2024 serentak sangat unik karena untuk kali pertama melibatkan seluruh provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia. Dalam masa kampanye, para calon kepala daerah (cakada) tentu akan unjuk gigi meraih dukungan dari masyarakat. Salah satunya dengan memanfaatkan data statistik.
Hal itu cukup menarik. Sebab, data merupakan gambaran atas fakta yang bisa menjadi senjata ampuh untuk meraih suara. Karena itu, sangat mungkin terjadi perang data di antara cakada. Siapkah kita sebagai masyarakat awam untuk memilih putra-putri terbaik?
Data Adalah Fenomena
Kemajuan suatu daerah bisa ditunjukkan melalui perkembangan data. Perubahan data dari waktu ke waktu akan memberikan informasi apakah kebijakan kepala daerah saat menjabat dalam periode tersebut sudah tepat.
Bagi kepala daerah yang peka statistik, data yang tersedia akan dimanfaatkan sebagai referensi dalam evaluasi serta pengembangan dan perencanaan pembangunan. Kepala daerah yang cerdas akan menjadikan data sebagai sumber informasi. Sebab, data merupakan fenomena yang harus diikuti, diolah, diantisipasi, dan diprediksi perkembangan serta dampaknya.
Bagi petahana (incumbent) yang bertarung lagi dalam pilkada, pemanfaatan data akan lebih menguntungkan. Petahana lebih mampu mendeskripsikan prestasi-prestasi pembangunannya melalui data. Apalagi jika data keberhasilan tersebut disajikan dalam infografis yang bisa menarik minat pemegang hak suara hingga kalangan berpendidikan rendah. Cakada petahana dianggap lebih berpengalaman dan memahami persoalan pembangunan saat ini.
Namun, dari sejumlah indikator, mungkin ada yang hasilnya negatif atau tidak sesuai dengan harapan. Pesaing dalam pertarungan pun memanfaatkan data itu sebagai alat untuk menunjukkan bahwa sudah saatnya diperlukan pemimpin baru.
Pesaing akan menunjukkan kelemahan-kelemahan petahana, termasuk blunder-blunder kebijakan, yang menyimpulkan rapor petahana buruk dan layak diganti. Pesaing juga mungkin akan membandingkan besarnya biaya yang sudah digelontorkan petahana dengan belum optimalnya hasil yang telah dicapai.
Kehati-hatian Membaca Data
Indikator data yang sangat menarik bagi masyarakat adalah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Indikator kemiskinan merupakan indikator yang sangat seksi. Semua cakada menginginkan angka kemiskinan di wilayah mereka turun dan angkanya lebih baik daripada daerah lain.
Dalam meraih suara pemilih, tak jarang mereka mengiming-imingkan bantuan untuk rakyat miskin jika terpilih. Hanya, para cakada harus menanggung konsekuensi terkait dengan dana alokasi umum (DAU).
Untuk daerah yang angka kemiskinannya makin kecil, DAU yang akan diterima juga makin kecil. Sebab, angka kemiskinan merupakan koreksi fiskal atau balancing pada formula penghitungan DAU.
Di sini pemegang hak suara harus jeli membaca program-program yang ditawarkan cakada.
Membaca data juga harus bersifat holistik. Ketika dihadapkan pada persoalan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), misalnya, penanganan tidak bisa hanya berdasar rumusan formula penghitungan. Salah satu komponen pembentuk IPM adalah indeks kesehatan yang diukur dari umur harapan hidup (UHH). Indikator UHH diperoleh dari angka kematian bayi.
Menurut Joesari Hasbullah dalam Tangguh dalam Statistik (2012), peningkatan UHH tidak boleh serta-merta hanya lewat pemberian vitamin kepada bayi dengan maksud mengurangi angka kematian, tetapi juga secara holistik, yaitu perbaikan sarana dan prasana kesehatan hingga pelosok.
Literasi Data bagi Masyarakat
Tidak bisa dinafikan, masih banyak masyarakat kita yang buta tentang data. Berdasar Statistik Kesejahteraan Rakyat 2023 (BPS Jawa Timur), penduduk terbanyak berusia 15 tahun ke atas adalah lulusan SD sederajat (sekitar 26 persen), SMP sederajat (22 persen), dan SMA sederajat (21 persen) yang notabene memiliki pengetahuan yang sangat terbatas soal data.
Dengan kondisi itu, banyak pemilih yang terjebak dalam strategi serangan fajar atau bantuan sesaat menjelang pemungutan suara. Mereka tidak tahu banyak tentang visi dan misi cakada yang dipilih. Pilihan mereka lebih ditentukan oleh besarnya bantuan yang diterima. Karena itu, biaya politik di Indonesia sangat mahal.
Kenyataan buta data tersebut bisa dieliminasi dengan meningkatkan literasi data statistik di level pendidikan dasar. Selama ini, pendidikan statistik pada level pendidikan dasar hanya berkutat pada statistik sederhana yang cenderung ke arah cara penghitungan belaka.
Padahal, dalam memilih cakada, idealnya masyarakat memilih cakada yang smart dan visioner. Semua itu bisa dilihat dari track record kemampuan cakada dalam menyajikan data.
Memang, popularitas cakada merupakan salah satu daya tarik bagi pemilih. Namun, penguasaan data yang baik akan menjadi penyempurna bahwa cakada itu patut dipilih. Selamat Hari Statistik Nasional, 26 September 2024. (*)
*) MOCHAMAD SONHAJI, Kepala BPS Kabupaten Lumajang