Merdeka dari Bandit
NAJAMUDDIN KHAIRUR RIJAL
MENDIANG Mancur Olson (1932–1998), seorang ilmuwan sosial University of Maryland dan ahli ekonomi yang berpengaruh di Amerika Serikat, dalam karyanya Power and Prosperity (2000) mengajukan pertanyaan retoris.
Mengapa setelah berakhirnya otoritarianisme, kemakmuran justru tidak kunjung dicapai? Bukankah otoritarianisme dilawan dan ditumbangkan dengan dalih menciptakan kesengsaraan dan penindasan, sementara reformasi politik digaungkan dengan janji kebebasan dan kesejahteraan.
Jika pertanyaan Olson di atas diperluas, mengapa setelah berakhirnya penjajahan yang menindas dan kemerdekaan telah diraih, apa yang didambakan sebagai kebebasan, keadilan, kemakmuran, tidak kunjung tercapai?
Pertanyaan di atas menjadi penting terutama jika dikaitkan dengan refleksi peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 yang baru saja kita lalui. Selama perjalanan panjang hingga 79 tahun, apakah cita-cita kemerdekaan, yakni mewujudkan Indonesia merdeka, berdaulat, adil, dan makmur, telah berhasil terwujud? Jawabannya tidak. Mengapa?
Dua Bandit
Olson memberikan jawaban bahwa biang kerok kesengsaraan suatu negara adalah karena berkuasanya dua bandit. Bandit pertama disebut sebagai roving bandits, bandit yang mengembara, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Bandit kedua namanya stationary bandits, bandit yang menetap di suatu negara.
Karakter bandit pertama, mereka memiliki kuasa kapital. Dengan modalitas uang yang dimiliki, mereka mengeruk kekayaan alam suatu negara atas nama investasi. Setelah kekayaan di wilayah tersebut habis dikuras, mereka berpindah mencari wilayah baru, melakukan investasi, dan mengeruk habis kekayaan alam yang terkandung di tanah itu. Begitu seterusnya.
Karakter bandit kedua, mereka umumnya memiliki kuasa politik, juga kuasa kapital. Bandit ini adalah rakyat asli negara tersebut. Tetapi, karena kerakusan atas kekuasaan, mereka melakukan segala cara untuk mengeruk kekayaan negara. Kuasa politiknya digunakan untuk mencapai kepentingan oligarki. Mereka menggadaikan nasionalismenya atas nama kepentingan golongan.
Bandit yang mengembara lebih atraktif dalam menerapkan aji mumpung. Mumpung datang dan punya akses, menjarah sepuasnya. Sementara bandit menetap mengambilnya pelan-pelan, tetapi daya rusaknya tidak kalah mengerikan. Bagaimanapun keduanya punya mindset untuk menjarah, persis seperti istilah bandit yang dilekatkan pada para pelaku kriminal, yang menjarah harta benda para korbannya.
Kiranya itu bisa menjadi jawaban mengapa setelah 79 tahun merdeka kita justru menyaksikan beragam permasalahan kebangsaan yang tidak kunjung selesai. Alih-alih menata jalan menuju terwujudnya cita-cita kemerdekaan, realitas politik hari-hari belakangan menunjukkan praktik perbanditan yang tidak berkesudahan. Kita masih dijajah, dijajah oleh dua bandit.
Satu menjajah kita dengan mengeruk aneka kekayaan alam dengan dalih pembangunan. Satu jenis bandit lagi menjajah kita dari dalam, memorak-porandakan sistem ketatanegaraan dan membajak konstitusi untuk kepentingan kelompoknya.
Bandit Demokrasi
Dalam beberapa waktu belakangan, kita dengan jelas dipertontonkan oleh praktik perbanditan yang membajak demokrasi. Para bandit demokrasi, yang juga bandit yang menetap, menggunakan kekuasaan dan pengaruh (power), uang (money), media, dan instrumen-instrumen lainnya untuk secara telanjang dan terang benderang membajak demokrasi demi kepentingan kelompok mereka.
Terbaru, para bandit demokrasi bekerja untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 berkaitan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik dan putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah.
Padahal, putusan tersebut bersifat final dan mengikat serta memberikan secercah harapan terwujudnya Pilkada 2024 yang lebih demokratis dalam rangka mencegah upaya sistematis menciptakan desain calon tunggal melawan kotak kosong pada pilkada di berbagai daerah.
Sehari kemudian, DPR dan pemerintah sepakat untuk mengabaikan dan mereduksi makna putusan MK tersebut melalui payung revisi Undang-Undang Pilkada yang superkilat, dengan mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu.
Padahal, revisi UU Pilkada tersebut sudah lama mengendap tidak dibahas DPR dan tidak ada urgensi mendesak yang menjadi dasar DPR untuk secara kilat membahasnya. Upaya menganulir putusan MK tersebut ditengarai semata-mata demi kepentingan kelompok tertentu.
Mekanisme check and balances dalam mekanisme ketatanegaraan kita juga telah lumpuh. Eksekutif, legislatif, yudikatif yang idealnya saling mengawal, semua sudah menjadi satu komplotan. Check and balances yang diharapkan berjalan dari aktor di luar tiga lembaga negara itu juga diam membisu, sebab sudah disuap dengan konsesi tambang, jabatan dan kedudukan, atau hal lain yang mematikan nalar dan suara kritis.
Pembajakan terhadap demokrasi dan pembangkangan terhadap konstitusi ini telah secara arogan dan vulgar dipertontonkan dalam setahun terakhir, sejak menjelang pemilu lalu. Kini, Indonesia yang telah kita jaga kemerdekaannya selama 79 tahun berada dalam ancaman bahaya otoritarianisme, praktik kolusi dan nepotisme, yang seakan mengembalikan kita pada era kolonialisme.
Negara ini telah dikuasai para bandit, sementara rakyat hanya terus menderita dan menyaksikan akrobatik politik yang penuh pengkhianatan, tidak bermoral, dan niretika.
Kekuatan yang tersisa adalah dari kelompok masyarakat sipil yang masih punya nurani dan empati pada kondisi negeri. Raungan suara Peringatan Darurat viral di aneka platform media sosial. Dengan latar biru disertai gambar garuda Pancasila berwarna putih, netizen ramai-ramai mengunggah untuk menggugah solidaritas bersama pada negeri.
Ada situasi kegentingan yang mendorong kelompok masyarakat sipil turun ke jalan mengawal konstitusi dan meneriakkan sisa-sisa harapan untuk Indonesia yang lebih baik.
Masyarakat sipil adalah pilar demokrasi yang tersisa. Kita berharap perjuangannya untuk menyelamatkan Indonesia berbuah manis. Kemerdekaan kita yang sesungguhnya adalah merdeka dari para bandit demokrasi ini. Jalan masih panjang, jika negara ini dikuasai oleh para bandit, maka mimpi Indonesia Emas 2045 hanyalah angan utopis. Kita semua harus berjuang untuk merdeka dari para bandit. Semoga. (*)
*) NAJAMUDDIN KHAIRUR RIJAL, Dosen hubungan internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, mengajar demokrasi & civil society