Site icon Prokalteng

Menguji Netralitas TNI dalam Pilpres

SAMTI WIRA WIBAWATI

MASA menjelang pilpresselalu menjadi pertaruhan netralitas aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karena sering kali menjadi wacana yang mengemuka di publik. Seperti yang pernah terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019, di mana terdapat beberapa kasus yang diduga mengindikasikan pelibatan bintara pembina desa (babinsa) untuk mengondisikan pilihan masyarakat.

Juga pengerahan purnawirawan TNI untuk condong pada satu calon tertentu yang berkontestasi saat itu.

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto juga menghadapi dinamika dari stabilitas keamanan nasional di tahun politik menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. Juga ada pekerjaan rumah yang belum tuntas dalam tubuh TNI terkait upaya reformasi birokrasi.

Semua perlu mendapat perhatian dari TNI sebagai komponen bangsa yang bersifat menentukan (first amongst equal). Apalagi jika panglima TNI dari angkatan darat, yang sering kali dinilai bisa memperluas ruang gerak komando. Karena mendominasi hingga 75 persen besaran luas wilayah berpenduduk di Indonesia.

Dalam kontestasi Pemilu 2024, kekhawatiran atas sulit tercapainya netralitas TNI menjadi lebih tinggi. Sebab, salah satu kandidat presiden, yakni Prabowo Subianto, berlatar belakang purnawirawan TNI bintang tiga yang juga menteri pertahanan RI aktif. Dia berpasangan dengan putra presiden RI yang juga aktif menjabat: Gibran Rakabuming Raka.

Bahkan, saat ini Gibran juga merupakan wali kota Solo aktif. Di samping itu, terdapat resistansi publik atas terbukanya jalan putra Presiden Jokowi itu untuk maju dalam Pilpres 2024 karena ada sangkut paut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batasan umur capres-cawapres.

Jajaran mantan perwira tinggi berbintang juga diketahui masuk dalam struktur tim kampanye nasional dari masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden. Seperti Kapten Timnas Anies-Muhaimin (Amin) Marsekal Madya (Purn) Muhammad Syaugi.

Juga mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa yang menjadi wakil ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Hal tersebut memunculkan kekhawatiran dari beberapa pihak atas kemungkinan munculnya ketidaknetralan dalam proses pemilu nanti.

Panglima TNI perlu memastikan langkah optimalisasi pengawasan dalam rangka mencapai makna netralitas TNI yang sesungguhnya agar tercapai. TNI yang merupakan bagian utuh dari sistem nasional ini perlu mematuhi amanat konstitusi dan prinsip dasar demokrasi, beserta wewenang dari TNI itu sendiri dengan batasan-batasan yang diatur dalam UU 34/2004.

Hal tersebut menjadi kunci dari berhasil atau tidaknya upaya reformasi TNI yang juga berlandasan pada Sapta Marga dan sumpah prajurit.

Dalam penyampaian visi dan misi, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menjabarkan visi patriot yang menekankan pada TNI yang profesional, responsif, integratif, modern, dan adaptif.

Sementara misi yang dituangkan dalam program kerja prioritas Jenderal Agus seputar profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara, kemampuan responsif terhadap perubahan lingkungan strategis, memantapkan kemampuan TNI yang integratif bersinergi dengan kementerian/lembaga, mengakselerasi upaya modernisasi alutsista, serta mewujudkan TNI yang adaptif dengan spektrum ancaman.

Dalam sesi pemaparan visi-misi yang terbuka, Jenderal Agus juga secara eksplisit menyebutkan upaya menjaga dinamika keamanan dalam negeri. Yakni terkait proses menjelang Pilpres 2024 dengan menjamin netralitas TNI melalui pemberian sanksi tegas kepada anggota TNI yang terbukti terlibat politik praktis menjelang pemilu.

Visi dan misi tersebut sejatinya tidak jauh berbeda dengan panglima-panglima TNI sebelumnya yang selalu menekankan pada profesionalisme TNI, netralitas TNI, upaya modernisasi alutsista TNI, akselerasi dari interoperabilitas tiga matra, serta mengoptimasi strategi Indonesia dalam lingkup keamanan internasional.

Di samping itu, tantangan selanjutnya yang akan dihadapi adalah hubungan sipil-militer di Indonesia. Selama ini pilpres sering kali menjadi arena pembuktian: apakah kondisi pembagian kewenangan yang tegas antara lapis otoritas politik yang dipegang oleh presiden dan lapis otoritas pertahanan negara yang dipegang oleh TNI sudah terimplementasi dengan baik atau belum.

Seperti dua sisi dalam satu koin mata uang, TNI harus menjalankan tugas dan kewenangan dalam menjamin keamanan nasional dan membangun kekuatan pertahanan sesuai kebijakan.

Namun di lain sisi juga harus menjalankan tugas dan kewenangan TNI yang secara integral hadir dari keputusan politik presiden. Dalam poros tersebut, rakyat menjadi variabel kunci keduanya.

Garis batasan yang ada harus jelas tegak berdiri di bawah garis komando panglima TNI, tidak peduli dari angkatan darat, laut, atau udara. Oleh karena itu, hitungan minggu saat Indonesia masuk dalam pesta demokrasi 14 Februari 2024 nanti akan menjadi salah satu contoh praktik upaya perkembangan reformasi TNI dari masa ke masa.

Keberhasilan hal tersebut juga akan sangat bergantung pada visi, intensi politik, juga komitmen dari pemerintah bersama perangkat TNI, terutama panglima, dalam menerapkan netralitas dan reformasi TNI.

Aktifnya Prabowo Subianto yang menjabat menteri pertahanan saat ini dianggap akan membuat batasan netralitas TNI menjadi kabur. Namun, konsekuensi logis jika Prabowo mundur dari Menhan, para calon presiden dan wakil presiden lainnya yang aktif menjabat menteri dan atau kepala daerah juga harus mundur.

Akhirnya, tarik-menarik kepentingan politik bisa terjadi. Dikhawatirkan hal tersebut justru memantik gesekan konflik di tingkat elite mengingat waktu pemilu yang semakin dekat. Oleh karena itu, tugas panglima TNI menjadi benar-benar teruji pada Pemilu 2024 yang tahapannya sedang berlangsung. (*)

 

*) SAMTI WIRA WIBAWATI, Alumnus Universitas Pertahanan, mahasiswi Doktoral HI Unpad, direktur riset Forum Strategis Diplomasi Pertahanan Indonesia, bekerja sebagai tenaga ahli DPR RI

Exit mobile version