Dian Yulie Reindrawati *)
BANYAK UNIVERSITAS saat ini meluluskan mahasiswanya. Dalam wisuda ke-254, tanggal 27 September dan 4 Oktober 2025, misalnya, Universitas Airlangga melepas total 4.179 wisudawan, sementara kampus lain juga menggelar prosesi serupa dengan jumlah lulusan yang tak kalah banyak.
Di tengah simbol kehormatan toga dan senyum kebahagiaan itu, ada tantangan perjalanan hidup setelah diwisuda. Para lulusan diharapkan mampu bekerja keras mencari dan menciptakan peluang di tengah keterbatasan lapangan kerja yang tersedia.
Tingginya angka pengangguran terdidik di Indonesia menjadi paradoks yang memerlukan perhatian serius dan solusi transformatif. Pendidikan vokasi, yang idealnya menjadi katalisator bagi kesiapan kerja generasi muda, belum sepenuhnya mampu menjalankan perannya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2025 menunjukkan tingkat pengangguran lulusan jenjang diploma mencapai 4,83 persen dan sarjana 5,25 persen. Ironisnya lagi, secara regional, Indonesia memiliki tingkat pengangguran tertinggi di ASEAN per Maret 2025, mencapai 4,76 persen atau setara 7,28 juta orang, jauh melampaui Filipina (3,7 persen) dan Vietnam (2,24 persen), menurut Trading Economics (2025).
Disparitas kompetensi lulusan dan kebutuhan pasar kerja ini menuntut Pemerintah—khususnya melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Tehnologi (Kemdiktisaintek)—untuk memprioritaskan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang adaptif dan siap bersaing.
Di sinilah Teaching Factory (TeFa) —sebagai salah satu implementasi program Asta Cita Pemerintahan Prabowo Gibran—yakni meningkatkan lapangan kerja dan kualitas tenaga kerja Indonesia, menawarkan landasan solutif.
TeFa dan Transformasi Pembelajaran Vokasi
TeFa mendefinisikan ulang pembelajaran vokasi menjadi sebuah konsep berbasis industri. Ini adalah proses “produksi” di lingkungan pendidikan yang mereplikasi aktivitas industri nyata melalui keselarasan mendalam antara institusi pendidikan dengan sektor industri.
Konsep ini bukan hanya menguntungkan mahasiswa dengan pendekatan “learning by doing”, tetapi juga menciptakan ruang kolaborasi yang saling menguntungkan bagi praktisi dan akademisi. Bagi industri, TeFa berfungsi sebagai upaya peningkatan kapasitas kelembagaan (Kemdikbud, 2020).
Penguatan pendidikan vokasi wajib melampaui sekadar kompetensi teknis; kurikulum harus turut mengembangkan kreativitas, inisiatif, dan kemandirian ekonomi mahasiswa (Miller, 2020). Di sinilah model turunan yang lebih progresif, yakni Tefapreneur, muncul sebagai solusi penguatan ganda: kompetensi dan kewirausahaan.
Tefapreneur sebagai Model Penguatan Ganda
Tefapreneur merupakan evolusi dari TeFa, di mana kegiatan produksi atau layanan jasa yang dilaksanakan sekolah adalah bagian integral dari proses belajar mengajar. Menurut Widiastuti (2017), ini berarti bahwa proses keahlian dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar bekerja sesungguhnya untuk menghasilkan produk yang memenuhi tuntutan pasar.
Produk berstandar industri inilah yang menjadi wahana efektif untuk mengembangkan diri sebagai seorang wirausaha.
Mahasiswa yang kompeten diharapkan memiliki pengetahuan hardskills yang mendalam sesuai dengan minat dan bakat mereka, bersama dengan kemampuan softskills seperti kerja tim, komunikasi, pemecahan masalah, kepemimpinan, dan kreativitas (Strang, 2022). Mereka juga diharapkan memiliki karakter yang baik, termasuk integritas, kerja keras, dan berpikir positif (Chowdhury, 2018).
Dengan demikian, Tefapreneur mengintegrasikan: Keterampilan Kinerja (Vocational Skill) dan Keterampilan Berkomunikasi (Soft Skill). Keterampilan ini krusial untuk bertahan di lingkungan kerja yang dinamis. Kompetensi Manajerial seperti mengelola orang lain, memuaskan pelanggan, dan pengelolaan keuangan.
Karakter Wirausaha yang vital, meliputi mempunyai visi dan tujuan yang jelas, bersedia mengambil risiko, berencana dan terorganisir, serta membangun hubungan baik dengan pelanggan.
Tefapreneur bukan sekadar menciptakan tenaga kerja terampil (job-training), melainkan menciptakan pencipta kerja (job creator). Dengan pengalaman langsung mengelola siklus produksi hingga pemasaran sesuai standar industri, lulusan akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan kemandirian yang dibutuhkan untuk berwirausaha.
Tefapreneur adalah kerangka logis dan ilmiah untuk merealisasikan tujuan ini. Model ini secara fundamental mengatasi masalah pengangguran terdidik dengan membekali lulusan dengan dua jalur karier yang kuat: menjadi tenaga kerja yang kompeten atau menjadi wirausaha yang mandiri.
Oleh karena itu, Pemerintah dan institusi pendidikan vokasi harus menjadikan Tefapreneur sebagai agenda utama. Ini dapat diwujudkan melalui: Penguatan Kemitraan Kunci (Link and Match): Memastikan industri terlibat aktif dalam menentukan standar kurikulum, menyediakan bahan baku, hingga menyerap hasil produksi TeFa. Alokasi Anggaran yang Spesifik: Mendukung pendanaan untuk operasional produksi TeFa dan pemasarannya agar berkelanjutan.
Pengembangan Kapasitas Dosen/Guru: Melatih para pengajar agar memiliki pola pikir bisnis (entrepreneurial mindset) dan kemampuan manajerial untuk menjalankan teaching factory secara efektif.
Implementasi Tefapreneur yang masif akan mengubah wajah pendidikan vokasi, menjadikannya institusi yang responsif terhadap tantangan ekonomi, dan pada akhirnya, secara signifikan menurunkan angka pengangguran nasional. Ini adalah investasi cerdas dalam SDM yang tidak hanya kompeten, tetapi juga berjiwa entrepreneur dan berdaya saing global.
*) Dekan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga Surabaya