27.3 C
Jakarta
Sunday, September 8, 2024

Mengakhiri Kekerasan pada Anak

Anak dalam keluarga mana pun merupakan salah satu anggota keluarga yang paling rentan menjadi korban penganiayaan dan penelantaran (Suyanto, 2019; Enriquez & Goldstein, 2020; Fisher, et al, 2020).

Contohnya pemukulan atau penyerangan fisik yang menimbulkan luka atau cakaran. Namun, perlu dipahami, tindak kekerasan terhadap anak juga bisa berbentuk pemberian makan yang tidak tepat untuk anak atau kurang gizi. Termasuk pula penelantaran pendidikan dan medis serta kekerasan medis.

Secara umum, kekerasan pada anak dibedakan menjadi empat jenis, yaitu kekerasan emosional, kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual (Lawson, AlamedaLawson & Byrnes, 2012).

Diperkirakan, 70 persen kasus kekerasan pada anak adalah kekerasan fisik. Sepertiganya mengalami cedera yang serius dan kemungkinan besar akan meninggal jika mereka kembali ke situasi kekerasan tanpa intervensi.

Temuan Studi

Studi yang dilakukan Suyanto dkk (2023) di Jawa Timur dengan mewawancarai 500 anak menemukan sebagian besar tindak kekerasan yang pernah dialami anak-anak adalah verbal abuse.

Sebanyak 60 persen (%) responden mengaku sering dimarahi dan bahkan dimaki orang tuanya. Dari 500 responden, hanya 9,8% yang mengaku tidak pernah dimarahi orang tuanya. Sementara 30,2% mengaku pernah dimarahi orang tuanya, namun intensitasnya jarang.

Studi tersebut menemukan cukup banyak responden yang mengalami abuse secara fisik. Mereka tidak hanya dicubit (15%) atau dikurangi uang jajannya (18,8%). Tetapi, yang tak kalah memprihatinkan, cukup banyak anak yang ternyata mengalami tindak kekerasan. Dari 500 anak yang diwawancarai, sebanyak 3,8% responden mengaku sering ditendang dan 11,4% mengaku terkadang ditendang orang tuanya.

Lalu, 14,6% responden mengaku sering dipukul orang tuanya memakai tangan dan 4% mengaku pernah disetrap. Dan 6,6% responden mengaku pernah dipukul pakai alat. Seperti kemoceng, sapu lidi, dan lain-lain untuk membuat anaknya tidak lagi nakal atau berani melawan orang tuanya. Juga ada 18,8% responden yang mengaku dikurangi uang jajannya ketika dinilai nakal oleh orang tuanya.

Baca Juga :  Cendekiawan Plin-plan

Di berbagai komunitas, kasus kekerasan pada anak masih dianggap sebagai bagian dari hak orang tua untuk mendidik anak-anak dengan cara mereka sendiri. Dianggap sebagai persoalan privat masing-masing keluarga.

Sehingga orang luar cenderung tidak berani ikut campur. Akibatnya, tindak kekerasan terhadap anak terus terjadi dari waktu ke waktu. Tapi tersembunyikan di balik tembok-tembok rumah yang membatasi amatan dan keterlibatan publik.

Di kalangan keluarga, di mana orang tua terlalu berpegang pada disiplin dan cara-cara yang represif dalam upaya penegakannya, mereka cenderung beranggapan bahwa memukul dan menghajar adalah sesuatu yang wajar untuk mendisiplinkan anak.

Mereka menganggap itu cara yang wajar dan sangat efektif untuk mendidik anak. Orang tua beralasan, mereka merasa sangat bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anaknya sesuai dengan keinginannya. Alasan lain, orang tua merasa harus selalu melakukan yang terbaik untuk anak-anak mereka.

Di sisi yang lain, ada orang tua yang secara sosial ekonomi tengah mengalami berbagai masalah dan tekanan ekonomi. Di antaranya karena kemiskinan, kehilangan pekerjaan atau menjadi korban PHK, orang tua yang marginal, kurang berpendidikan, dan orang tua yang tidak memiliki kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan keluarga serta lingkungan sosial di sekitarnya.

Di tengah situasi yang makin menjejas dan tekanan kebutuhan hidup yang mendesak, orang tua umumnya rawan terjerumus dalam kondisi stres alias tertekan mentalnya. Pada satu titik, ketika tekanan kebutuhan hidup tidak bisa ditunda, sementara anak-anak dalam keluarga kemudian dianggap membebani, kemungkinan terjadinya tindakan child abuse sangatlah besar.

Baca Juga :  Risiko Bila Gibran Jadi Cawapres Prabowo

Diakui atau tidak, di masyarakat ada pandangan budaya yang masih meyakini bahwa tindak kekerasan adalah instrumen atau bagian dari cara mendidik atau mendomestifikasi anak.

Studi itu menemukan tidak sedikit orang tua yang masih menggunakan ancaman sanksi, pukulan, cubitan, tamparan, dan bahkan tendangan untuk mendisiplinkan perilaku anaknya yang dinilai nakal.

Di berbagai komunitas, sudah lazim terjadi anak dipukul agar dengan cepat menjadi patuh pada keinginan orang tuanya. Sementara orang tua pun tidak merasa bersalah melakukan tindak kekerasan karena hal itu diyakini memberi manfaat bagi anak-anaknya.

Dukungan Komunitas

Di berbagai daerah, kasus tindak kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang tua korban terus bermunculan, bahkan dalam skala yang makin mencemaskan. Ancaman hukuman hingga 20 tahun bagi pelaku tindak kekerasan terhadap anak, alih-alih menimbulkan efek jera, justru dalam kenyataan sama sekali tidak berpengaruh.

Tambahan ancaman hukuman sepertiga dari ancaman hukuman yang standar tampaknya tidak membuat pelaku jera.

Untuk mencapai target tahun 2030 benar-benar Indonesia bebas dari kasus tindak kekerasan terhadap anak, sekaligus memastikan agar tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga tidak terus bermunculan, pokok persoalannya memang bukan pada regulasi dan pendekatan legalistik yang sifatnya kuratif.

Untuk mencegah agar anak-anak tidak lagi menjadi korban tindak kekerasan orang tuanya, perlu penyuluhan dan pengembangan pendidikan parenting bagi calon orang tua.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah melibatkan peran serta kerabat dan masyarakat lokal menjadi bagian dari community support system. Mereka menjadi peduli dan mengawasi tindak-tanduk orang tua yang berpotensi menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anak. (*)

*) BAGONG SUYANTO, Guru Besar dan Dosen Sosiologi Anak FISIP Universitas Airlangga

Anak dalam keluarga mana pun merupakan salah satu anggota keluarga yang paling rentan menjadi korban penganiayaan dan penelantaran (Suyanto, 2019; Enriquez & Goldstein, 2020; Fisher, et al, 2020).

Contohnya pemukulan atau penyerangan fisik yang menimbulkan luka atau cakaran. Namun, perlu dipahami, tindak kekerasan terhadap anak juga bisa berbentuk pemberian makan yang tidak tepat untuk anak atau kurang gizi. Termasuk pula penelantaran pendidikan dan medis serta kekerasan medis.

Secara umum, kekerasan pada anak dibedakan menjadi empat jenis, yaitu kekerasan emosional, kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual (Lawson, AlamedaLawson & Byrnes, 2012).

Diperkirakan, 70 persen kasus kekerasan pada anak adalah kekerasan fisik. Sepertiganya mengalami cedera yang serius dan kemungkinan besar akan meninggal jika mereka kembali ke situasi kekerasan tanpa intervensi.

Temuan Studi

Studi yang dilakukan Suyanto dkk (2023) di Jawa Timur dengan mewawancarai 500 anak menemukan sebagian besar tindak kekerasan yang pernah dialami anak-anak adalah verbal abuse.

Sebanyak 60 persen (%) responden mengaku sering dimarahi dan bahkan dimaki orang tuanya. Dari 500 responden, hanya 9,8% yang mengaku tidak pernah dimarahi orang tuanya. Sementara 30,2% mengaku pernah dimarahi orang tuanya, namun intensitasnya jarang.

Studi tersebut menemukan cukup banyak responden yang mengalami abuse secara fisik. Mereka tidak hanya dicubit (15%) atau dikurangi uang jajannya (18,8%). Tetapi, yang tak kalah memprihatinkan, cukup banyak anak yang ternyata mengalami tindak kekerasan. Dari 500 anak yang diwawancarai, sebanyak 3,8% responden mengaku sering ditendang dan 11,4% mengaku terkadang ditendang orang tuanya.

Lalu, 14,6% responden mengaku sering dipukul orang tuanya memakai tangan dan 4% mengaku pernah disetrap. Dan 6,6% responden mengaku pernah dipukul pakai alat. Seperti kemoceng, sapu lidi, dan lain-lain untuk membuat anaknya tidak lagi nakal atau berani melawan orang tuanya. Juga ada 18,8% responden yang mengaku dikurangi uang jajannya ketika dinilai nakal oleh orang tuanya.

Baca Juga :  Cendekiawan Plin-plan

Di berbagai komunitas, kasus kekerasan pada anak masih dianggap sebagai bagian dari hak orang tua untuk mendidik anak-anak dengan cara mereka sendiri. Dianggap sebagai persoalan privat masing-masing keluarga.

Sehingga orang luar cenderung tidak berani ikut campur. Akibatnya, tindak kekerasan terhadap anak terus terjadi dari waktu ke waktu. Tapi tersembunyikan di balik tembok-tembok rumah yang membatasi amatan dan keterlibatan publik.

Di kalangan keluarga, di mana orang tua terlalu berpegang pada disiplin dan cara-cara yang represif dalam upaya penegakannya, mereka cenderung beranggapan bahwa memukul dan menghajar adalah sesuatu yang wajar untuk mendisiplinkan anak.

Mereka menganggap itu cara yang wajar dan sangat efektif untuk mendidik anak. Orang tua beralasan, mereka merasa sangat bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anaknya sesuai dengan keinginannya. Alasan lain, orang tua merasa harus selalu melakukan yang terbaik untuk anak-anak mereka.

Di sisi yang lain, ada orang tua yang secara sosial ekonomi tengah mengalami berbagai masalah dan tekanan ekonomi. Di antaranya karena kemiskinan, kehilangan pekerjaan atau menjadi korban PHK, orang tua yang marginal, kurang berpendidikan, dan orang tua yang tidak memiliki kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan keluarga serta lingkungan sosial di sekitarnya.

Di tengah situasi yang makin menjejas dan tekanan kebutuhan hidup yang mendesak, orang tua umumnya rawan terjerumus dalam kondisi stres alias tertekan mentalnya. Pada satu titik, ketika tekanan kebutuhan hidup tidak bisa ditunda, sementara anak-anak dalam keluarga kemudian dianggap membebani, kemungkinan terjadinya tindakan child abuse sangatlah besar.

Baca Juga :  Risiko Bila Gibran Jadi Cawapres Prabowo

Diakui atau tidak, di masyarakat ada pandangan budaya yang masih meyakini bahwa tindak kekerasan adalah instrumen atau bagian dari cara mendidik atau mendomestifikasi anak.

Studi itu menemukan tidak sedikit orang tua yang masih menggunakan ancaman sanksi, pukulan, cubitan, tamparan, dan bahkan tendangan untuk mendisiplinkan perilaku anaknya yang dinilai nakal.

Di berbagai komunitas, sudah lazim terjadi anak dipukul agar dengan cepat menjadi patuh pada keinginan orang tuanya. Sementara orang tua pun tidak merasa bersalah melakukan tindak kekerasan karena hal itu diyakini memberi manfaat bagi anak-anaknya.

Dukungan Komunitas

Di berbagai daerah, kasus tindak kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang tua korban terus bermunculan, bahkan dalam skala yang makin mencemaskan. Ancaman hukuman hingga 20 tahun bagi pelaku tindak kekerasan terhadap anak, alih-alih menimbulkan efek jera, justru dalam kenyataan sama sekali tidak berpengaruh.

Tambahan ancaman hukuman sepertiga dari ancaman hukuman yang standar tampaknya tidak membuat pelaku jera.

Untuk mencapai target tahun 2030 benar-benar Indonesia bebas dari kasus tindak kekerasan terhadap anak, sekaligus memastikan agar tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga tidak terus bermunculan, pokok persoalannya memang bukan pada regulasi dan pendekatan legalistik yang sifatnya kuratif.

Untuk mencegah agar anak-anak tidak lagi menjadi korban tindak kekerasan orang tuanya, perlu penyuluhan dan pengembangan pendidikan parenting bagi calon orang tua.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah melibatkan peran serta kerabat dan masyarakat lokal menjadi bagian dari community support system. Mereka menjadi peduli dan mengawasi tindak-tanduk orang tua yang berpotensi menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anak. (*)

*) BAGONG SUYANTO, Guru Besar dan Dosen Sosiologi Anak FISIP Universitas Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru