MAHKAMAH Konstitusi (MK) mengumumkan hasil putusan atas sejumlah gugatan pada Senin (16/10). Salah satunya, MK mengabulkan gugatan mengenai syarat usia minimal calon presiden dan wakilnya 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan itu merupakan respons atas permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai syarat usia minimal capres dan cawapres. Alasan MK mengabulkan karena batas usia tidak diatur secara tegas dalam konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pun didasari atas pengalaman berbagai negara yang memungkinkan kepala negara atau pemerintahan dimandatkan kepada tokoh berusia di bawah 40 tahun.
Putusan atas pertimbangan-pertimbangan tadi adalah hal yang patut diapresiasi. Ini akan memperluas peluang anak muda, yang akan menjadi bonus demografi di dua dekade ke depan, untuk berkancah di ruang politik. Kapasitas anak muda juga akan lebih diperhitungkan di ruang ini. Apalagi, mereka dianggap lebih relevan atau lebih mampu memahami semangat dan kebutuhan zaman generasinya.
Namun, yang patut disayangkan, gugatan itu baru diajukan menjelang Pemilu 2024. Bahkan, putusan atas gugatan tersebut baru diumumkan tiga hari menjelang pendaftaran capres-cawapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni 19 Oktober 2023. Tampak jelas, putusan MK semata-mata hanya bermanfaat untuk anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang sekarang menjadi wali kota Solo.
Putusan MK itu menjadi pintu masuk Gibran ke bursa Pilpres 2024. Apalagi, dia tengah digadang-gadang menjadi cawapres di koalisi Prabowo. Namun, terhalang syarat usia lantaran baru berusia 36 tahun.
Koalisi Prabowo terang-terangan mengatakan bahwa pihaknya menanti putusan MK terkait gugatan syarat usia capres-cawapres itu. Koalisi ini memang menjadikan Gibran sebagai salah satu kandidat cawapres, bahkan kandidat yang terkuat.
Tak lama setelah putusan MK diumumkan, elite Gerindra –salah satu parpol pengusung Prabowo sebagai capres– langsung mengadakan pertemuan di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta. Mereka berembuk soal peluang Gibran menjadi cawapres.
Bagi koalisi Prabowo, Gibran dianggap kandidat terkuat. Gibran dinilai representatif bagi kalangan anak muda. Berdasar data KPU per Juli 2023, komposisi pemilih muda generasi Z dan milenial mencapai 56 persen dari total 204 juta daftar pemilih tetap di Pemilu 2024.
Tak heran bila sosok Gibran diperhitungkan untuk memberi efek elektoral bagi Prabowo. Kendati demikian, Gibran belum masuk ke radar lembaga survei terkait elektabilitas cawapres. Namun, paling tidak, Gibran selaku wali kota Solo punya suara dari wilayah tersebut.
Faktor lain, Gibran menjadi kandidat cawapres terkuat lantaran ia merupakan anak Presiden Jokowi. Gibran dipersepsikan sebagai simbol Presiden Jokowi yang diharapkan meningkatkan elektoral Prabowo secara signifikan.
Nah, apakah Gibran mau melenggang ke bursa Pilpres 2024 dan menjadi cawapres Prabowo? Gibran yang mengaku sudah berkali-kali ditawari menjadi cawapres Prabowo berdalih belum cukup usia. Gibran selaku kader PDI Perjuangan juga masih menunggu arahan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Berbagai respons itu jelas tidak tegas. Gibran tak mengungkapkan dirinya menerima atau menolak tawaran jadi cawapres Prabowo. Perlu diingat pula, Gibran sempat ogah berpolitik. Namun, dia akhirnya ikut Pilkada 2020 dan kini menjadi wali kota Solo. Jadi, bagaimana pastinya Gibran menyikapi tawaran jadi cawapres?
Seandainya Gibran menerima tawaran jadi cawapres Prabowo, kekhawatiran akan dinasti politik semakin nyata. Apa yang diperjuangkan di masa awal Reformasi, seperti menolak korupsi, kolusi, dan nepotisme, malah jadi angan belaka. Pada gilirannya, hal ini akan mencederai dan mengancam demokrasi Indonesia.
Selain itu, alih-alih membuat anak muda mendukung Gibran melenggang di pilpres dan melirik ruang politik, justru kalangan ini lebih mungkin jadi antipati. Pasalnya, hampir pasti publik –termasuk generasi muda– akan memprotes keras fenomena dinasti politik.
Padahal, saat Gibran menjadi wali kota Solo, menantu Presiden Jokowi, yakni Bobby Nasution, menjadi wali kota Medan. Selain itu, Kaesang Pangarep (anak bungsu Jokowi) tiba-tiba jadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Bayangkan, apa yang mungkin terjadi bila Gibran menjadi wakil presiden. Publik jelas tak mungkin lupa pengalaman-pengalaman di masa Orde Baru. ’’Luka-luka’’ dari masa lalu itu masih membayangi Indonesia saat ini.
Bukan cuma itu, ada risiko besar yang harus dibayar oleh para elite. Sangat mungkin hubungan Jokowi dan Gibran dengan Prabowo, PDIP, hingga Megawati menjadi buruk. Belum bisa dipastikan bagaimana keberlangsungan pemerintahan pasca Pemilu 2024. Atas berbagai risiko itu, akan lebih baik bila Gibran menolak tawaran menjadi cawapres.
Satu hal yang juga perlu dicatat, putusan MK atas gugatan usia capres-cawapres sejatinya menyusul rentetan wacana yang lalu. Sebelumnya, ada wacana tunda pemilu hingga perpanjangan masa jabatan presiden.
Dinamika itu menyiratkan adanya pihak-pihak tertentu yang ingin melanggengkan kekuasaan setelah Presiden Jokowi lengser. Adapun mendorong Gibran bisa dimaknai sebagai cara terakhir untuk mewujudkan tujuan itu. Jadi, apakah kita mau menggadaikan demokrasi kita? (*)
*) Lutfia Harizuandini, Peneliti PARA Syndicate