Site icon Prokalteng

Pecah Rekor 44 Kementerian

EFFNU SUBIYANTO

Menjelang pelantikan presiden 20 Oktober 2024, ada hal yang tidak biasa. Tidak ada perbincangan kabinet zaken sebagaimana halnya berita yang mewarnai setiap rencana pelantikan presiden terpilih.

Pernyataan yang beredar, presiden terpilih Prabowo Subianto malah akan memboyong menteri kabinet Jokowi saat ini. Alasannya, para menteri itu sangat kapabel, kompeten, terbaik, dan terhebat. Prabowo pun tidak mempunyai alasan untuk mencari menteri baru.

Sinyalemen itu menguatkan pernyataan Prabowo sebelumnya bahwa pemerintahannya tidak mau kritik. Jelas sudah, tidak akan ada kejutan-kejutan baru dalam desain kabinet Prabowo-Gibran.

Penyusunan kabinet memang merupakan hak prerogatif presiden dan wakil presiden terpilih. Penulis hanya menyikapi kecepatan penyusunan dan jumlah ideal berdasar perbandingan. Hal itu penting karena posisi menteri adalah enabler untuk merealisasikan janji dalam kampanye calon presiden ke dalam program kerja bulanan dan tahunan.

Perlu diingat, sejak dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, Jokowi membutuhkan 6 hari untuk melantik kabinetnya yang terdiri atas 4 menteri koordinator (Menko) dan 34 menteri. Pada periode kedua, setelah dilantik pada 20 Oktober 2019, Jokowi membutuhkan 3 hari untuk menentukan 4 Menko dan 30 menteri.

Tahun ini diharapkan penyusunan kabinet lebih cepat. Jika berpanjang-panjang dan terjadi tarik ulur jatah menteri, bangsa Indonesia secara keseluruhan akan dirugikan. Padahal, saat ini jumlah menteri mencapai 32 orang, wakil menteri (21 orang), dan pejabat setingkat menteri (4 orang). Total ada 57 orang dalam jabatan tinggi setingkat menteri.

Tugas Berat Prabowo-Gibran

Sebelum memboyong menteri Jokowi ke dalam kabinet Prabowo, perlu dipikirkan antara yang prioritas dan yang tidak. Kondisi ekonomi Indonesia saat ini terpelanting karena empat kali mengalami deflasi sejak Mei sampai Agustus 2024.

Hanya tiga kali dalam sejarah, Indonesia mengalami deflasi pada 1999, 2020, dan kini 2024. Prabowo-Gibran mendapat tugas berat karena harus mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah pelemahan daya beli nasional dan situasi geopolitik yang makin tidak menentu.

Tugas kedua, menciptakan program yang memudahkan dan menyederhanakan pelayanan masyarakat. Tugas ketiga, memperbaiki neraca dagang yang selalu defisit. Keempat, menaikkan ekspor dengan menjadikan sektor manufaktur sebagai prioritas. Tugas terakhir, menstabilisasi harga-harga, terutama bahan pangan. Program makan siang gratis itu sebetulnya program sweetener, tetapi harus pula direalisasikan karena sudah dijanjikan.

Persoalan kabinet Indonesia sebetulnya terletak pada jumlahnya yang besar. Apalagi dengan tambahan jabatan wakil menteri. Ada 21 wakil menteri sehingga total kabinet Indonesia mencapai 57 orang.

Pada 2014, ketika Jokowi mempertahankan 34 pos jabatan menteri dari presiden sebelumnya, publik sudah mengkritisi jumlah kabinet yang gemuk. Pada 2019, jumlah menteri tetap 34 orang, tetapi malah ditambah wakil menteri (Wamen). Meski pos menteri sekarang berjumlah 34, jumlah itu memang sudah hasil ringkasan dari amanat UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara yang seharusnya menangani 43 item urusan pemerintahan. Jika ditambah pos Wamen, maknanya, tidak ada spirit efisiensi.

Kini semakin jelas pula bahwa Prabowo-Gibran akan menambah nomenklatur kementerian tidak lagi 34, tetapi menjadi 44 kementerian. Ada tambahan 10 menteri. Total anggota kabinet 2024–2029 akan mencapai 63 orang, belum termasuk pejabat setingkat menteri.

Sesuai Kebutuhan

Memang, tidak ada ketentuan jumlah menteri. Bahkan, pasal 6 UU Nomor 39/2008 dengan tegas menyatakan, untuk setiap urusan pemerintahan, tidak harus dibentuk satu kementerian terpisah. Prabowo-Gibran memang harus cermat memilah-milah kebutuhan karena ada beberapa tugas kementerian yang tumpang-tindih.

Menteri BUMN, misalnya, tumpang-tindih tugas dengan menteri perindustrian, menteri perdagangan, atau menteri investasi. Ciri khusus tumpang-tindih, misalnya, surat perizinan membutuhkan surat lintas kementerian yang bermacam-macam. Penyederhanaan prosedur yang menjadi jargon politik Presiden Jokowi pun sebetulnya belum tuntas.

Untuk mengatasi hal itu, yang dilakukan Jepang bisa menjadi teladan. Negara Sakura mempunyai 48 daftar urusan pemerintahan, tetapi hanya ada 19 menteri dan pejabat menteri sekarang. Secara teknis, setiap menteri merangkap jabatan untuk 3–5 urusan pemerintahan.

Bahkan, perdana menteri merangkap sebagai menteri keuangan, menteri negara urusan pelayanan keuangan, serta menteri in-charge atau ad interim untuk mengatasi tugas-tugas khusus. Misalnya, menanggulangi deflasi dan apresiasi mata uang yen.

Hal itu sama dengan yang dilakukan Singapura yang kini memiliki 19 pos menteri. Meski negara jiran itu tidak lebih luas dari DKI Jakarta, sebetulnya 19 menteri tersebut mengurusi 28 urusan pemerintahan. Demikian pula, Malaysia memiliki 34 pos menteri yang sebetulnya mengurusi 45 urusan pemerintahan. Indonesia tidak perlu meniru Jepang, Singapura, atau Malaysia dalam rangka governansi.

Untuk Indonesia, jumlah menteri ideal dengan berbasis luas wilayah dan jumlah penduduk sebetulnya paling sedikit 16 dan paling banyak 23 pos jabatan. Jumlah 57 menteri dan setingkat menteri seperti sekarang terkesan sebagai bentuk balas utang budi sehingga hasilnya tidak efektif dan maksimal. Inilah tantangan Prabowo-Gibran dalam menyusun kabinet mereka. Rakyat negeri ini rindu pada kabinet kerja yang langsung bisa kerja, tidak bingung sendiri menghadapi tumpukan masalah. (*)

*) EFFNU SUBIYANTO, Dosen dan peneliti UWKM Surabaya

 

Exit mobile version