Site icon Prokalteng

Respons Aparat terhadap KKB

POLTAK PARTOGI NAINGGOLAN

POLTAK PARTOGI NAINGGOLAN

PERKEMBANGAN situasi di Papua makin mengundang perhatian publik. Tidak hanya karena aksi penyanderaan pilot Susi Air asal Selandia Baru. Namun juga aktivitas kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang kian agresif dan meminta lebih banyak korban tidak berdosa.

Aparat keamanan dari Polri dan TNI, bahkan dari satuan-satuan khusus seperti Raider Kostrad dan Sandi Yudha Kopassus, rawan menjadi korban serangan bersenjata kelompok separatis.

Perkembangan situasi ini menimbulkan pertanyaan: apakah kemampuan KKB meningkat? Atau aparat keamanan yang kinerjanya di lapangan terus mengalami kemerosotan dan di bawah standar? Sementara latihan mereka begitu hebat, dengan tingkat kesulitan dan risiko tinggi, terutama untuk bisa lolos perekrutan dan mendaatkan kualifikasi satuan khusus.

Banyak yang bisa dievaluasi terkait kinerja mereka dalam merespons konflik skala rendah, yang berurusan dengan sipil nonkombatan, terutama orang tua, perempuan, dan anak-anak.

 

Kebocoran Informasi

Muncul keheranan mengapa pasukan TNI yang dilengkapi alutsista memadai dalam melakukan pengintaian rutin sering menjadi korban KKB? Kasus terjadi tidak sekali, tetapi berulang. Ini di luar serbuan mereka yang mengklaim dirinya sebagai kelompok separatis Orang Asli Papua, yang dilancarkan ke pos-pos TNI yang menjaga fasilitas publik seperti puskesmas, menara telekomunikasi, dan objek vital lain di wilayah pedalaman.

Secara realistis, kapasitas dan kecakapan KKB sendiri dalam melancarkan perang generasi keempat dengan mengandalkan teknologi siber belum canggih dan sehebat TNI. Ketika tiba-tiba terjadi aksi penghadangan atau serangan dadakan di lapangan, tanpa sebelumnya dapat diantisipasi aparat keamanan, bisa dipastikan telah terjadi kebocoran informasi. Ini bisa diperhatikan ketika Kepala Binda Papua Brigjen TNI Putu Dani Nugraha Karya pada 25 April 2021 memimpin pengintaian di Beoga, Puncak Jaya, lalu menjadi sasaran empuk penembak runduk KKB dan tewas seketika.

Dugaan terjadinya kebocoran informasi sangat kuat karena sistem informasi TNI sudah tidak aman lagi dan rawan disadap musuh, pihak separatis Papua. Ini beralasan karena kasus penghadangan berulang, termasuk ke satuan tempur yang bertugas melakukan pencarian dan penyisiran ke wilayah operasi KKB dan lokasi penyembunyian pilot Susi Air yang disandera, yang berpindah-pindah.

Langkah awal yang diperlukan adalah melakukan koreksi atas kebocoran sistem informasi di seluruh polda dan kodam di kelima provinsi Papua. Baik di markas komando tempat penyusunan strategi maupun terhadap model dan praktik komunikasi yang telah dijalankan. Investigasi internal lewat intelijen masing-masing institusi harus dilaksanakan untuk memastikan sumber kebocoran rencana dan gelar operasi yang telah terjadi selama ini.

Koreksi Kebijakan

Muncul pertanyaan lain menyusul kegagalan aparat keamanan mengeliminasi kekuatan KKB, termasuk yang di hutan-hutan dan pegunungan yang sulit dijangkau. Padahal, pasukan elite TNI memiliki unit perang khusus untuk matra itu.

Kalaupun memiliki kesulitan dalam menguasai medan, bukankah perangkat nirawak (drone) dan kecerdasan buatan (AI) bisa digunakan, selain dapat mengurangi risiko korban? Ke mana perangkat perang generasi keempat ini? Bukankah di awal kampanye Pilpres 2014 Presiden Jokowi menjanjikan pemakaian perangkat perang modern ini di wilayah-wilayah yang sulit diawasi?

Harus dievaluasi, sudahkah tepat pengerahan satuan dalam jumlah besar, terutama teritorial, untuk mengejar KKB? Juga dipertanyakan, apakah untuk mengejar gerilyawan KKB, bersandar pada operasi satuan raider? Ke mana itu unit counter-insurgency Kopassus, yang para komandannya dilatih di Amerika Serikat (AS)?

Bukankah untuk mengatasi perang gerilya dan konflik skala rendah, Indonesia ahlinya, mengingat pengalaman dalam perang kemerdekaan dan mengatasi berbagai konflik daerah? Vietnam yang menggelar perang gerilya dan menaklukkan adikuasa AS pun belajar perang gerilya dari buku yang ditulis Jenderal A.H. Nasution.

Sungguh aneh tentu, Indonesia yang melahirkan doktrin perang gerilya tidak berdaya menghalau gerilyawan KKB di hutan dan pegunungan, yang dulu menjadi basis perlawanan Indonesia melawan Belanda. Sementara hutan Papua yang masih perawan di dasawarsa 1960 sudah dirambah pasukan Benny Moerdani dan Sintong Panjaitan.

Mengapa juga terdapat kecenderungan korban di pihak aparat semakin besar, sedangkan KKB kian nihil, sebagaimana yang terjadi dalam serangan penghadangan KKB terhadap TNI pada 15 April 2023? Akibatnya, 5 tewas, 4 hilang, dibawa lari ke hutan oleh KKB dan sisanya mengalami luka-luka atau dalam kondisi selamat.

Perkembangan geopolitik global akan membawa implikasi bagi situasi di Papua. Running text CNN pada 27 April 2023, yang mengungkap bahwa Presiden Biden mau ke PNG, cukup mengejutkan, mengenai relevansinya dengan kepentingan AS.

Terlebih lagi debat panas yang cukup panjang, yang telah berlangsung di sidang Majelis Tinggi Inggris, yang menyerukan PBB untuk segera melakukan intervensi politik. Setuju atau tidak, ini menunjukkan sukses diplomasi internasional kelompok separatis Papua untuk menyudutkan Indonesia.

Sebaliknya, sejalan dengan perkembangan geopolitik internasional yang kian berpihak kepadanya, KKB akan makin aktif di panggung internasional dengan gelar kombinasi strategi diplomasi dan aksi terbaru mereka di lapangan. Pemerintah, khususnya para diplomat Kemenlu, seharusnya dapat membaca perkembangan yang telah dan akan terjadi, dan jangan bersikap pasif terus. Sebab, pertaruhannya akan kian besar terhadap masa depan Papua. (*)

 

*) POLTAK PARTOGI NAINGGOLAN, Peneliti tata kelola dan konflik di BRIN

Exit mobile version