30.2 C
Jakarta
Friday, May 16, 2025

Agenda Setting: Siapa Kuasai Cerita, Kuasai Opini

TEORI Agenda Setting yang dikembangkan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw menyoroti bagaimana media memiliki kekuatan dalam membentuk prioritas isu di benak publik.

Teori ini tidak mengklaim bahwa media memberi tahu masyarakat apa yang harus dipikirkan, melainkan isu apa yang penting untuk dipikirkan. Melalui seleksi, penekanan, dan pengulangan informasi tertentu, media mampu menetapkan agenda yang kemudian menjadi fokus utama perhatian publik.

Dalam konteks ini, media bertindak sebagai “gerbang” yang menentukan mana isu yang layak mendapat sorotan dan bagaimana isu tersebut disajikan kepada masyarakat.

Kasus yang melibatkan Polda Kalimantan Selatan dan UMKM bernama “Mama Khas Banjar” merupakan contoh nyata bagaimana agenda setting bekerja dalam ranah komunikasi massa, khususnya dalam dinamika media sosial.

Peristiwa ini berawal dari tindakan aparat kepolisian yang menjalankan penegakan hukum terhadap pelaku UMKM tersebut karena pelanggaran sejumlah persyaratan legal, seperti izin edar produk dan distribusi bahan pangan yang tidak sesuai ketentuan.

Penegakan hukum ini, jika dilihat dari aspek legal-formal, merupakan bagian dari tanggung jawab institusional untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen.

Namun, respons publik terhadap kasus ini menunjukkan pola yang menarik. Alih-alih fokus pada persoalan hukum dan keamanan pangan, sebagian besar narasi yang beredar di media sosial justru menggambarkan pelaku UMKM sebagai korban dari tindakan represif aparat.

Pelaku digambarkan sebagai sosok “ibu-ibu pejuang ekonomi keluarga” yang sedang berjuang menghidupi keluarganya di tengah himpitan ekonomi. Framing semacam ini memunculkan empati yang luas dari publik, sementara Kapolda Kalsel diposisikan sebagai pihak yang “menindas rakyat kecil”.

Dalam kerangka Agenda Setting, hal ini menunjukkan bahwa persepsi negatif terhadap Kapolda Kalsel tidak semata-mata dibentuk oleh fakta hukum, tetapi oleh cara isu ini dibingkai oleh media dan media sosial.

Narasi yang dominan diangkat bukanlah narasi hukum, melainkan narasi emosional dan sentimental. Media sosial, khususnya akun-akun dengan pengaruh besar atau influencers, memainkan peran penting dalam membingkai kasus ini sebagai bentuk ketidakadilan sosial. Mereka memilih untuk menyoroti penderitaan pelaku UMKM, alih-alih menyajikan kompleksitas hukum yang melatarbelakangi tindakan kepolisian.

Proses pembingkaian (framing) ini mengandung bias kognitif yang kuat. Ketika publik terus-menerus disuguhkan narasi emosional yang menyentuh sisi kemanusiaan, mereka cenderung mengabaikan aspek rasional dan faktual.

Akibatnya, opini publik terbentuk bukan berdasarkan analisis hukum atau pertimbangan objektif, melainkan oleh persepsi yang telah diarahkan oleh framing media. Di sinilah kekuatan agenda setting bekerja: media tidak harus memalsukan fakta, cukup dengan memilih fakta mana yang ditonjolkan dan mana yang diabaikan.

Sebagai contoh, dalam kasus ini sangat jarang ditemukan narasi yang membahas risiko kesehatan dari produk makanan yang tidak memiliki izin edar resmi. Padahal, aspek ini sangat penting dalam perlindungan konsumen.

Begitu pula, tidak banyak narasi yang menjelaskan bahwa proses hukum terhadap UMKM “Mama Khas Banjar” dilakukan melalui mekanisme yang berlaku secara sah dan prosedural. Yang lebih sering muncul adalah representasi visual dan verbal yang menempatkan pelaku UMKM sebagai simbol perlawanan rakyat kecil terhadap aparat.

Baca Juga :  Legasi Jokowi

Fenomena ini menunjukkan bagaimana media, terutama media sosial, memiliki kemampuan untuk membentuk lanskap persepsi publik secara cepat dan luas. Dalam era digital, setiap orang dapat menjadi gatekeeper, dan narasi emosional lebih mudah viral dibandingkan dengan narasi legal-formal.

Maka, tugas institusi negara seperti kepolisian menjadi semakin kompleks—tidak hanya menjalankan hukum, tetapi juga mengelola persepsi publik melalui strategi komunikasi yang efektif.

Perlu diakui bahwa dalam masyarakat yang semakin melek media, pembentukan opini publik tidak bisa dilepaskan dari dinamika komunikasi digital. Oleh karena itu, aparat penegak hukum perlu memahami bahwa transparansi dan kemampuan menjelaskan tindakan hukum kepada publik secara lugas dan empatik sangat penting.

Tidak cukup hanya bekerja sesuai prosedur, tetapi juga penting untuk menyampaikan alasan di balik tindakan hukum tersebut agar tidak terjadi kesenjangan antara fakta dan persepsi.

Sebagai penutup, teori Agenda Setting memberikan kerangka analisis yang sangat relevan dalam memahami mengapa kasus “Mama Khas Banjar” lebih banyak dipersepsikan sebagai bentuk kriminalisasi UMKM ketimbang penegakan hukum.

Ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga persoalan komunikasi dan bagaimana narasi dibentuk serta diterima oleh masyarakat. Maka, dalam dunia yang semakin dikuasai oleh informasi dan opini, siapa yang mengatur agenda—dialah yang mengatur kesadaran publik.

Pentingnya Literasi Media dan Peran Etika Komunikasi

Fenomena framing yang terjadi dalam kasus ini juga mengungkapkan pentingnya literasi media di kalangan masyarakat. Literasi media bukan hanya kemampuan untuk mengakses informasi, tetapi juga mencakup kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi informasi secara kritis.

Tanpa kemampuan ini, publik mudah terjebak dalam narasi tunggal yang emosional dan bias, tanpa mempertanyakan validitas sumber atau mempertimbangkan sudut pandang lain.

Dalam konteks ini, media sosial sebagai saluran utama penyebaran informasi telah menjadi medan tempur wacana yang penuh dengan agenda tersembunyi. Akun-akun tertentu bisa saja memiliki motivasi politis, ekonomi, atau bahkan sekadar ingin mencari sensasi dan popularitas dengan memanfaatkan emosi publik.

Ketika narasi yang dibentuk bertujuan untuk membangkitkan kemarahan kolektif, maka keadilan substantif sering kali dikorbankan demi keterlibatan (engagement) yang tinggi.

Aspek etika komunikasi juga menjadi sorotan penting. Media, baik arus utama maupun media sosial, memiliki tanggung jawab moral untuk menyajikan informasi secara berimbang.

Dalam kasus “Mama Khas Banjar”, kegagalan untuk mengangkat sisi hukum dan regulasi pangan sama artinya dengan menyesatkan publik secara tidak langsung. Ketika hanya satu sisi cerita yang ditampilkan, maka publik tidak diberi ruang untuk menilai secara utuh dan adil.

Kontekstualisasi dalam Penegakan Hukum di Era Digital

Kasus ini juga mengilustrasikan tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum di era digital. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menjalankan tugas secara profesional dan sesuai prosedur. Namun di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan opini publik yang dapat terbentuk hanya dalam hitungan jam melalui viralitas media sosial.

Baca Juga :  Hakim, Pejabat Negara Setengah Hati

Penegakan hukum yang menyasar pelaku UMKM sering kali memunculkan dilema antara aspek legalitas dan sensitivitas sosial. Jika dilakukan secara tegas, ada risiko dicap tidak manusiawi atau tidak berpihak pada rakyat kecil.

Jika dibiarkan, maka negara dianggap tidak hadir dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi lembaga penegak hukum untuk mengintegrasikan strategi komunikasi publik yang cerdas dan empatik dalam setiap kebijakan dan tindakan yang berpotensi menimbulkan kontroversi.

Salah satu pendekatan yang bisa diambil adalah komunikasi preventif—yaitu menjelaskan terlebih dahulu kepada masyarakat mengenai pentingnya kepatuhan hukum, dampak dari pelanggaran, serta alasan di balik tindakan hukum yang akan diambil.

Dengan begitu, tindakan hukum tidak datang secara tiba-tiba di mata publik, melainkan dipahami sebagai bagian dari proses panjang yang berbasis kepentingan umum.

Agenda Setting dan Relevansinya dalam Demokrasi Digital

Teori Agenda Setting tetap relevan hingga hari ini, terutama dalam demokrasi digital di mana warganet memiliki kekuatan besar untuk membentuk opini publik. Namun, dalam situasi seperti ini, publik bukan lagi semata-mata objek dari agenda media, melainkan juga aktor aktif yang ikut menentukan agenda melalui unggahan, komentar, dan kampanye digital.

Yang menjadi persoalan kemudian adalah ketika kekuatan ini digunakan tanpa kendali atau refleksi etis. Tindakan viral yang dilakukan atas dasar simpati bisa saja tidak mencerminkan kebenaran substantif. Bahkan dalam beberapa kasus, dapat mengganggu proses hukum yang sedang berjalan, menciptakan tekanan terhadap aparat, atau membentuk opini publik yang memicu polarisasi.

Karena itu, dalam konteks demokrasi, penting untuk menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab informasi. Ruang publik digital harus tetap dijaga agar tidak menjadi ajang manipulasi emosional yang merugikan prinsip keadilan dan hukum. Para pembuat konten, jurnalis, dan pengguna media sosial memiliki peran strategis dalam menjaga kualitas wacana publik agar tetap rasional, informatif, dan etis.

Kasus “Mama Khas Banjar” merupakan studi kasus yang penting dalam melihat bagaimana narasi terbentuk dan bagaimana persepsi publik dikendalikan oleh dinamika media.

Melalui lensa teori Agenda Setting, kita memahami bahwa kekuasaan media terletak pada kemampuannya untuk membentuk prioritas pemikiran masyarakat, bukan memaksakan isi pikiran mereka.

Dalam dunia yang makin kompleks dan penuh arus informasi, masyarakat perlu dibekali dengan kecakapan literasi media agar tidak mudah terprovokasi oleh framing sempit. Sementara itu, institusi publik, termasuk kepolisian, harus mampu berkomunikasi secara efektif dan transparan agar tidak kehilangan legitimasi hanya karena kalah dalam pertarungan narasi.

Demokrasi yang sehat tidak hanya ditandai oleh kebebasan berpendapat, tetapi juga oleh kedewasaan dalam mengelola informasi dan membangun opini publik yang adil serta berbasis fakta.(jpc)

TEORI Agenda Setting yang dikembangkan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw menyoroti bagaimana media memiliki kekuatan dalam membentuk prioritas isu di benak publik.

Teori ini tidak mengklaim bahwa media memberi tahu masyarakat apa yang harus dipikirkan, melainkan isu apa yang penting untuk dipikirkan. Melalui seleksi, penekanan, dan pengulangan informasi tertentu, media mampu menetapkan agenda yang kemudian menjadi fokus utama perhatian publik.

Dalam konteks ini, media bertindak sebagai “gerbang” yang menentukan mana isu yang layak mendapat sorotan dan bagaimana isu tersebut disajikan kepada masyarakat.

Kasus yang melibatkan Polda Kalimantan Selatan dan UMKM bernama “Mama Khas Banjar” merupakan contoh nyata bagaimana agenda setting bekerja dalam ranah komunikasi massa, khususnya dalam dinamika media sosial.

Peristiwa ini berawal dari tindakan aparat kepolisian yang menjalankan penegakan hukum terhadap pelaku UMKM tersebut karena pelanggaran sejumlah persyaratan legal, seperti izin edar produk dan distribusi bahan pangan yang tidak sesuai ketentuan.

Penegakan hukum ini, jika dilihat dari aspek legal-formal, merupakan bagian dari tanggung jawab institusional untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen.

Namun, respons publik terhadap kasus ini menunjukkan pola yang menarik. Alih-alih fokus pada persoalan hukum dan keamanan pangan, sebagian besar narasi yang beredar di media sosial justru menggambarkan pelaku UMKM sebagai korban dari tindakan represif aparat.

Pelaku digambarkan sebagai sosok “ibu-ibu pejuang ekonomi keluarga” yang sedang berjuang menghidupi keluarganya di tengah himpitan ekonomi. Framing semacam ini memunculkan empati yang luas dari publik, sementara Kapolda Kalsel diposisikan sebagai pihak yang “menindas rakyat kecil”.

Dalam kerangka Agenda Setting, hal ini menunjukkan bahwa persepsi negatif terhadap Kapolda Kalsel tidak semata-mata dibentuk oleh fakta hukum, tetapi oleh cara isu ini dibingkai oleh media dan media sosial.

Narasi yang dominan diangkat bukanlah narasi hukum, melainkan narasi emosional dan sentimental. Media sosial, khususnya akun-akun dengan pengaruh besar atau influencers, memainkan peran penting dalam membingkai kasus ini sebagai bentuk ketidakadilan sosial. Mereka memilih untuk menyoroti penderitaan pelaku UMKM, alih-alih menyajikan kompleksitas hukum yang melatarbelakangi tindakan kepolisian.

Proses pembingkaian (framing) ini mengandung bias kognitif yang kuat. Ketika publik terus-menerus disuguhkan narasi emosional yang menyentuh sisi kemanusiaan, mereka cenderung mengabaikan aspek rasional dan faktual.

Akibatnya, opini publik terbentuk bukan berdasarkan analisis hukum atau pertimbangan objektif, melainkan oleh persepsi yang telah diarahkan oleh framing media. Di sinilah kekuatan agenda setting bekerja: media tidak harus memalsukan fakta, cukup dengan memilih fakta mana yang ditonjolkan dan mana yang diabaikan.

Sebagai contoh, dalam kasus ini sangat jarang ditemukan narasi yang membahas risiko kesehatan dari produk makanan yang tidak memiliki izin edar resmi. Padahal, aspek ini sangat penting dalam perlindungan konsumen.

Begitu pula, tidak banyak narasi yang menjelaskan bahwa proses hukum terhadap UMKM “Mama Khas Banjar” dilakukan melalui mekanisme yang berlaku secara sah dan prosedural. Yang lebih sering muncul adalah representasi visual dan verbal yang menempatkan pelaku UMKM sebagai simbol perlawanan rakyat kecil terhadap aparat.

Baca Juga :  Legasi Jokowi

Fenomena ini menunjukkan bagaimana media, terutama media sosial, memiliki kemampuan untuk membentuk lanskap persepsi publik secara cepat dan luas. Dalam era digital, setiap orang dapat menjadi gatekeeper, dan narasi emosional lebih mudah viral dibandingkan dengan narasi legal-formal.

Maka, tugas institusi negara seperti kepolisian menjadi semakin kompleks—tidak hanya menjalankan hukum, tetapi juga mengelola persepsi publik melalui strategi komunikasi yang efektif.

Perlu diakui bahwa dalam masyarakat yang semakin melek media, pembentukan opini publik tidak bisa dilepaskan dari dinamika komunikasi digital. Oleh karena itu, aparat penegak hukum perlu memahami bahwa transparansi dan kemampuan menjelaskan tindakan hukum kepada publik secara lugas dan empatik sangat penting.

Tidak cukup hanya bekerja sesuai prosedur, tetapi juga penting untuk menyampaikan alasan di balik tindakan hukum tersebut agar tidak terjadi kesenjangan antara fakta dan persepsi.

Sebagai penutup, teori Agenda Setting memberikan kerangka analisis yang sangat relevan dalam memahami mengapa kasus “Mama Khas Banjar” lebih banyak dipersepsikan sebagai bentuk kriminalisasi UMKM ketimbang penegakan hukum.

Ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga persoalan komunikasi dan bagaimana narasi dibentuk serta diterima oleh masyarakat. Maka, dalam dunia yang semakin dikuasai oleh informasi dan opini, siapa yang mengatur agenda—dialah yang mengatur kesadaran publik.

Pentingnya Literasi Media dan Peran Etika Komunikasi

Fenomena framing yang terjadi dalam kasus ini juga mengungkapkan pentingnya literasi media di kalangan masyarakat. Literasi media bukan hanya kemampuan untuk mengakses informasi, tetapi juga mencakup kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi informasi secara kritis.

Tanpa kemampuan ini, publik mudah terjebak dalam narasi tunggal yang emosional dan bias, tanpa mempertanyakan validitas sumber atau mempertimbangkan sudut pandang lain.

Dalam konteks ini, media sosial sebagai saluran utama penyebaran informasi telah menjadi medan tempur wacana yang penuh dengan agenda tersembunyi. Akun-akun tertentu bisa saja memiliki motivasi politis, ekonomi, atau bahkan sekadar ingin mencari sensasi dan popularitas dengan memanfaatkan emosi publik.

Ketika narasi yang dibentuk bertujuan untuk membangkitkan kemarahan kolektif, maka keadilan substantif sering kali dikorbankan demi keterlibatan (engagement) yang tinggi.

Aspek etika komunikasi juga menjadi sorotan penting. Media, baik arus utama maupun media sosial, memiliki tanggung jawab moral untuk menyajikan informasi secara berimbang.

Dalam kasus “Mama Khas Banjar”, kegagalan untuk mengangkat sisi hukum dan regulasi pangan sama artinya dengan menyesatkan publik secara tidak langsung. Ketika hanya satu sisi cerita yang ditampilkan, maka publik tidak diberi ruang untuk menilai secara utuh dan adil.

Kontekstualisasi dalam Penegakan Hukum di Era Digital

Kasus ini juga mengilustrasikan tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum di era digital. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menjalankan tugas secara profesional dan sesuai prosedur. Namun di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan opini publik yang dapat terbentuk hanya dalam hitungan jam melalui viralitas media sosial.

Baca Juga :  Hakim, Pejabat Negara Setengah Hati

Penegakan hukum yang menyasar pelaku UMKM sering kali memunculkan dilema antara aspek legalitas dan sensitivitas sosial. Jika dilakukan secara tegas, ada risiko dicap tidak manusiawi atau tidak berpihak pada rakyat kecil.

Jika dibiarkan, maka negara dianggap tidak hadir dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi lembaga penegak hukum untuk mengintegrasikan strategi komunikasi publik yang cerdas dan empatik dalam setiap kebijakan dan tindakan yang berpotensi menimbulkan kontroversi.

Salah satu pendekatan yang bisa diambil adalah komunikasi preventif—yaitu menjelaskan terlebih dahulu kepada masyarakat mengenai pentingnya kepatuhan hukum, dampak dari pelanggaran, serta alasan di balik tindakan hukum yang akan diambil.

Dengan begitu, tindakan hukum tidak datang secara tiba-tiba di mata publik, melainkan dipahami sebagai bagian dari proses panjang yang berbasis kepentingan umum.

Agenda Setting dan Relevansinya dalam Demokrasi Digital

Teori Agenda Setting tetap relevan hingga hari ini, terutama dalam demokrasi digital di mana warganet memiliki kekuatan besar untuk membentuk opini publik. Namun, dalam situasi seperti ini, publik bukan lagi semata-mata objek dari agenda media, melainkan juga aktor aktif yang ikut menentukan agenda melalui unggahan, komentar, dan kampanye digital.

Yang menjadi persoalan kemudian adalah ketika kekuatan ini digunakan tanpa kendali atau refleksi etis. Tindakan viral yang dilakukan atas dasar simpati bisa saja tidak mencerminkan kebenaran substantif. Bahkan dalam beberapa kasus, dapat mengganggu proses hukum yang sedang berjalan, menciptakan tekanan terhadap aparat, atau membentuk opini publik yang memicu polarisasi.

Karena itu, dalam konteks demokrasi, penting untuk menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab informasi. Ruang publik digital harus tetap dijaga agar tidak menjadi ajang manipulasi emosional yang merugikan prinsip keadilan dan hukum. Para pembuat konten, jurnalis, dan pengguna media sosial memiliki peran strategis dalam menjaga kualitas wacana publik agar tetap rasional, informatif, dan etis.

Kasus “Mama Khas Banjar” merupakan studi kasus yang penting dalam melihat bagaimana narasi terbentuk dan bagaimana persepsi publik dikendalikan oleh dinamika media.

Melalui lensa teori Agenda Setting, kita memahami bahwa kekuasaan media terletak pada kemampuannya untuk membentuk prioritas pemikiran masyarakat, bukan memaksakan isi pikiran mereka.

Dalam dunia yang makin kompleks dan penuh arus informasi, masyarakat perlu dibekali dengan kecakapan literasi media agar tidak mudah terprovokasi oleh framing sempit. Sementara itu, institusi publik, termasuk kepolisian, harus mampu berkomunikasi secara efektif dan transparan agar tidak kehilangan legitimasi hanya karena kalah dalam pertarungan narasi.

Demokrasi yang sehat tidak hanya ditandai oleh kebebasan berpendapat, tetapi juga oleh kedewasaan dalam mengelola informasi dan membangun opini publik yang adil serta berbasis fakta.(jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/