TURBULENSI Golkar kembali terjadi saat Ketua Umum Airlangga Hartarto (AH) mengundurkan diri. Dalam kondisi seperti itu, The Golkar Way sebagai karya monumental Akbar Tanjung dari disertasi doktoral di Universitas Gadjah Mada (UGM) layak dijadikan referensi oleh semua unsur pengurus di Golkar. Sebab, karya itu berisi kiat-kiat bagaimana Golkar keluar dari ’’turbulensi’’ politik di puncak kejayaan saat Orde Baru runtuh.
Pasca mundurnya Airlangga Hartarto, tafsir liar terus berspekulasi. Apa karena cawe-cawe Jokowi? Istana membantahnya. Ada yang berspekulasi karena persoalan kasus hukum, pihak Golkar juga membantahnya. Lalu, kenapa mundur?
Siapa sangka dari teduhnya pohon beringin Golkar, ternyata sedang diterpa angin ribut. Sang ketua umumnya harus minggir dari gelanggang politik. Dibaca dengan perspektif teori pilihan rasional (rational choice theory) James S. Coleman (1994) dalam The Foundation of Social Theory, mengasumsikan tindakan individu pada hakikatnya mengarah pada suatu tujuan yang ditentukan oleh nilai atau preferensi. Preferensi adalah pertimbangan atas cost dan reward yang kelak diperoleh.
Mundur bagi Airlangga Hartarto adalah pilihan yang rasional secara politik. Bila disimak dari pernyataan yang terucap, cost-nya tampak dari kalimat menjaga keutuhan Partai Golkar dalam rangka memastikan stabilitas transisi pemerintahan yang terjadi dalam waktu dekat.
Sementara reward-nya, Airlangga Hartarto telah mengantarkan kejayaan Golkar dengan capaian 102 kursi di DPR RI dan ribuan kursi di DPRD. Belum lagi berkontribusi besar dalam kemenangan pasangan Prabowo-Gibran.
Tekanan Politik
Dari kalimat-kalimat di atas, tampak ada tekanan politik hebat yang dihadapi Airlangga Hartarto. Bisa jadi disebabkan dua hal. Pertama, harus dipahami di tubuh Golkar itu banyak faksi. Misalnya, dari Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), dan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) yang berafiliasi internal organisasi.
Belum lagi kelompok atau individu yang bisa jadi telah berafiliasi dengan kepentingan eksternal. Sebab, bagaimanapun, Golkar adalah partai besar dan berpengaruh untuk mengelola pemerintahan ke depan. Maka, banyak kekuatan kepentingan yang akan menguasai Golkar atau setidaknya menumpang hidup di Golkar.
Kedua, banyak tampilnya kader Golkar di tingkat lokal dalam pilkada mendatang tidak bersama dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM), pengusung Prabowo-Gibran di tingkat nasional. Boleh jadi fenomena kedua itu juga berkontribusi membuat Airlangga Hartarto tertekan yang berujung pengunduran diri.
Dampak pada Pilkada
Tentu, mundurnya ketua umum parpol maupun organisasi adalah hal biasa. Sebenarnya tidak penting juga publik mempertaruhkan energinya untuk memperdebatkan mundurnya Airlangga Hartarto. Namun, yang jauh lebih penting didiskusikan adalah mundurnya Airlangga Hartarto di saat pilkada memasuki masa krusial pendaftaran, yakni 27–29 Agustus mendatang.
Penting didiskusikan untuk menyelamatkan hak konstitusional pemilih Golkar yang pada pemilu lalu meraih 23.208.653 suara. Suara rakyat itu menjadi dasar syarat wajib untuk mengajukan calon gubernur, bupati, dan wali kota dari Partai Golkar. Sekaligus menyelamatkan hak konstitusional calon kepala daerah yang tengah menunggu surat keputusan dari DPP Partai Golkar.
Berdasar Pasal 42 ayat 4, 5 dan 6 dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang menyatakan dalam pendaftaran gubernur, bupati, dan wali kota harus disertai ’’surat keputusan pengurus partai politik tingkat pusat tentang persetujuan atas calon yang diusulkan’’. Surat itu lazim disebut rekomendasi.
Untuk mendapat surat rekomendasi tidaklah mudah. Di samping calon harus memiliki popularitas dan elektabilitas kuat, ada prasyarat-prasyarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing parpol.
Rekomendasi dari Golkar yang sedang berdinamika itu penting dikawal agar tidak menghilangkan hak konstitusional pemilih maupun bakal calonnya. Sebab, rekomendasi yang lazimnya ditandatangani ketua umum dan Sekjen atau sebutan lainnya itu harus memiliki legalitas yang tercatat di Kemenkum HAM secara sah.
Dengan pengunduran diri AH, harus secepatnya dicarikan pengganti, lalu didaftarkan ke Kemenkum HAM untuk mendapatkan legalitasnya.
Pada posisi saat ini, berarti Golkar harus melakukan setidaknya dua langkah. Pertama, segera memilih ketua umum dan menyusun kepengurusan secara cepat. Pada konteks ini, Partai Golkar sebagai organisasi besar dan partai bersejarah tentu akan mengalami dinamikanya sendiri. Berbagai tarik-menarik kepentingan akan tersaji pada proses itu.
Boleh saja itu terjadi, tapi jangan terlalu lama dan jangan berkonflik. Misalnya, terjadi dualisme. Agar tidak mengganggu proses demokrasi di tingkat lokal dalam pilkada, khususnya masa pendaftaran. Kedua, secepatnya kepengurusan baru didaftarkan ke Kemenkum HAM agar tidak menjadi kendala dalam pendaftaran pasangan calonnya.
Golkar pada posisi seperti ini kiranya perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Termasuk penyelenggara pemilu dalam konteks penyelamatan hak konstitusional masyarakat dan bakal pasangan calon.
Caranya, ikut memberi penjelasan secara detail terkait ketentuan-ketentuan proses pilkada kepada Partai Golkar yang saat ini mengalami turbulensi di tengah kejayaannya. Wallahu a’lam bishawab… (*)
*) SUFYANTO, Peneliti utama di The Republic Institute dan dosen politik di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo