Beberapa pekan ini kita menyaksikan bencana hidrometeorologi melanda sejumlah wilayah di tanah air. November lalu, banjir bandang disertai tanah longsor menerjang kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara.
Sepekan berselang, banjir dari luapan sungai menggenangi sejumlah kecamatan di Malang Selatan, Jawa Timur. Terakhir, banjir bandang disertai tanah gerak dan longsor terjadi di Sukabumi, Jawa Barat. Intensitas hujan yang tinggi dalam durasi lama menjadi salah satu pemicu bencana tersebut.
Sejumlah faktor ditengarai menjadi penyebab tingginya curah hujan di tanah air belakangan ini. Pertama, saat ini angin yang bertiup didominasi angin monsun Asia. Kedua, di Samudra Pasifik ekuatorial berlangsung La Nina. Ketiga, fenomena Osilasi Madden Julian (MJO) alias aliran udara tropis yang membawa udara basah sedang melintasi wilayah Indonesia. Keempat, kemunculan sejumlah bibit siklon tropis di perairan selatan dan barat Indonesia.
Rupanya, negara lain tidak luput dari bencana hidrometeorologi. Apabila kita mengilas balik, pada pertengahan September lalu, hujan dengan intensitas lebat selama sepekan yang dipicu badai Boris mengakibatkan kawasan Eropa Tengah kebanjiran. Selanjutnya, masih pada bulan yang sama, Jepang diguyur hujan dengan rekor curah hujan tertinggi sehingga menimbulkan banjir dan tanah longsor di Prefektur Ishikawa.
Pada pengujung Oktober lalu, banjir bandang mengempas Valencia, Spanyol. Banjir bandang paling mematikan dalam sejarah modern Negeri Matador tersebut dipicu hujan deras selama 8 jam yang tingginya setara dengan hujan setahun.
Di kawasan Asia Tenggara, banjir juga mengepung Malaysia dan Thailand bagian selatan. Bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia tersebut membuka mata kita bahwa krisis iklim adalah nyata.
Korelasi
Korelasi perubahan iklim dengan peningkatan intensitas maupun frekuensi cuaca ekstrem bisa dijelaskan lewat tinjauan persamaan Clausius-Clapeyron. Secara sederhana, persamaan termodinamika yang berusia hampir dua abad tersebut menjelaskan, peningkatan suhu udara akan diiringi dengan peningkatan jumlah uap air yang mampu ditampung udara.
Secara matematis, peningkatan suhu global 1 derajat Celsius akan meningkatkan jumlah uap air yang ditampung atmosfer hingga 7 persen. Dengan kata lain, volume air hujan juga meningkat 7 persen. Namun, dalam beberapa kasus ditemukan peningkatan jumlah uap air hingga 14 persen.
Hal itu dapat dianalogikan dengan proses mendidihkan air. Apabila suhu perairan meningkat, air lebih mudah menguap. Akibatnya, makin banyak uap air yang terkandung di lapisan atmosfer.
Dengan melimpahnya pasokan uap air, makin banyak air yang diturunkan dalam wujud hujan. Selain itu, pemanasan global akan meningkatkan kekuatan badai. Sebab, uap air yang mengembun akan melepas sejumlah bahang sebagai ’’bahan bakar’’ badai.
Dalam laporan terbaru Copernicus Climate Change Service, tercatat sepanjang Januari hingga Oktober 2024, suhu rata-rata global meningkat 1,55 derajat Celsius jika dibandingkan dengan era pra-industri.
Nilai peningkatan suhu global tersebut memecahkan rekor tertinggi sebelumnya pada 2023, yakni sebesar 1,48 derajat Celsius. Padahal, perjanjian iklim Paris 2015 yang ditandatangani 196 negara menyepakati perlunya dunia membatasi kenaikan suhu rata-rata global hanya 1,5 derajat Celsius.
Adaptasi
Lantas, bagaimana langkah kita menghadapi krisis iklim yang tampak di depan mata? Geostorm, film Amerika Serikat yang dirilis pada 2017, mengisahkan rekayasa iklim pada masa depan. Dalam film tersebut, manusia memanfaatkan ’’Dutch Boy’’, suatu teknologi satelit canggih, untuk memprediksi dan mengendalikan cuaca ekstrem. Tentu saja, teknologi seperti itu hanya ada sebagai kisah fiksi ilmiah.
Saat ini, upaya yang diyakini efektif untuk meminimalkan dampak krisis iklim adalah adaptasi perubahan iklim. Adaptasi berarti melakukan serangkaian upaya penyesuaian terhadap dampak perubahan iklim.
Misalnya, untuk mengimbangi intensitas hujan yang makin tinggi, daerah resapan tidak boleh berkurang. Penanaman pohon maupun pembuatan sumur resapan juga perlu digalakkan.
Sementara itu, air hujan yang tidak dapat meresap ke dalam tanah akan melimpas ke permukaan sebagai aliran permukaan. Lantaran itu, sungai harus mampu menampung limpasan air tersebut.
Dengan demikian, sungai harus bebas dari pendangkalan akibat tumpukan sedimen maupun sampah. Tentu, upaya adaptasi perubahan iklim itu memerlukan aksi nyata kita bersama. (*)
*) FARIZKY HISYAM, Alumnus Jurusan Fisika Universitas Brawijaya